“Seseorang yang tidak berani
mempertaruhkan hidupnya, tidak akan
mencapai hakekat kesadaran diri yang mandiri”
— Hegel —
Talaud adalah negeri ikan. Itu yang dipahami Sri Wahyumi kecil sejak ia masih di Essang, bersama ayah dan ibunya, dan kemudian menjadi akar penting dalam membentuk kesadaran dirinya mencintai laut. Sebagai anak kepulauan, ia tidak asing dengan gelegak hidup para nelayan yang berteman angin, bersahabatkan ombak. Ia di sana bersama mereka. Dari akar kecintaannya itulah di kemudian waktu menjadi pemicu semangatnya membangun sektor perikanan di kabupaten yang dipimpinnya.
Sri Wahyumi Maria Manalip belum jadi bupati ketika pemandangan ironis ini terjadi. Puluhan tahun masyarakat kepulauan ini ternyata sempat bergantung pada pasokan ikan –terutama ikan asin— dari pulau tetangganya, Sangihe.
Mardonis Damura, pengusaha ikan asin (ikan garam) di Tahuna, Sangihe. Dalam suatu percakapan dengan penulis pada 1998 di rumahnya, Apeng Simbeka, Mardonis mengatakan setiap bulannya, ia memasok 3 sampai 5 ton ikan asin ke pedagang di Talaud, terutama di Kota Lirung dan Beo. Menurut kisah Mardonis, orang-orang Talaud saat itu lebih suka bertani dari pada berprofesi nelayan. Ini sebabnya, kata dia, Talaud menjadi pasar ikan asin yang menguntungkan.
Kisah Mardonis itu, bisa jadi sebuah ironi bagi daerah yang memiliki laut seluas 1.288,94 km2 tersebut. Namun sejatinya, –pada umumnya daerah-daerah kepulauan– Indonesia pernah kehilangan laut di era kolonial hingga masa Orde Baru, ketika Indonesia sebagai negara kepulauan dijadikan negeri agraris.
Bangsa para pelaut ini dipaksa bergantung hidup pada bentangan daratan yang terbatas. Sementara laut yang terhampar luas dengan pantai yang membentang sepanjang 95.181 km, kedua terpanjang di dunia setelah Kanada, luput dipandang sebagai sumber kakayaan dan berkah. Kejayaan kultur maritim pun nyaris punah, dan laut dipandang sebagai pemisah, bukan penyatuh antar suku bangsa.
–Tentang hal ini, pernah dikritik habis Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, dan mendapatkan publikasi luas dari berbagai situs berita. Saat berbicara di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 12 April 2018, Menteri Susi mengatakan Indonesia lahir secara geografik sudah jadi bangsa maritim karena 70% wilayah kita lautan. Tapi 70 tahun merdeka, kita selalu didoktrin sebagai bangsa pertanian. Kita lupa kita dikelilingi 3 kali wilayah laut yang lebih luas daripada daratan.–
Tapi tahukah anda hal terindah saat menyisir laut kepulauan Talaud? Sepanjang tahun kawasan laut utara ini disemaraki pemandangan takjub dan fantastik dari hempasan tuna. Lebih ke utara lagi, ke kawasan pulau-pulau Nanusa, anda akan berjumpa “Mane’e”, di pulau Intata, sebuah tradisi menangkap ikan hanya dengan janur kelapa oleh orang-orang Kakorotan. Semua itu menggambarkan betapa kayanya potensi perikanan Talaud.
Data potensi lestari sektor perikanan kawasan perbatasan ini pertahun sebagaimana papar Dinas Perikanan Sangihe Talaud, sekitar 100 ribu ton. Sementara 80 persen tuna di pelabuhan perikanan Filipina, ungkap mendiang Hopni Ratungalo, berasal dari laut Talaud. Dalam percakapan dengan penulis pada akhir 2011, Hopni, seorang Pegawai Negeri Sipil di Talaud, yang juga berkiprah di dunia usaha penangkapan ikan dengan mengoperasikan sejumlah armadanya dari desa Bowombaru menceritakan, pelabuhan perikanan di Gensan, Filipina, sangat bergantung pada pasokan ikan dari area tangkapan di Kabupaten Talaud. “Dan itu lebih besar berasal dari hasil aktifitas illegal fishing,” kata dia.
Seiring era reformasi Indonesia, paradigma kelautan dan maritim pun kecang berhembus. Tapi mengubah pola pikir masyarakat yang terlanjur lekat dalam kultur agraris dalam kurun ratusan tahun bukanlah pekerjaan mudah. Sementara kawasan daratan lambatlaun telah menjadi ruang terbatas dan sempit sebagai lahan meraih peruntungan. Menoleh ke laut menjadi pilihan.
Dan Sri Wahyumi Maria Manalip cukup berani mematok target produksi ikan Tuna sebesar 500 ton perhari sejak 2014. Ia bertekat membawa Talaud meraih peruntungan dari laut. Ia mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan melakukan lobi ke berbagai pihak terutama Pemerintah Pusat untuk mendukung program pemerintah Talaud dalam memajukan sektor perikanan.
Awalnya, banyak kalangan pesimis dengan program unggulan yang disasar perempuan pertama yang menduduki kursi Bupati Kabupaten Kepulauan Talaud itu. Namun sebagai anak kepulauan sekaligus anak perbatasan, Sri Wahyumi tahu makna laut bagi negeri yang dipimpinnya. Ia terus gigih membuat perubahan dari Talaud yang muram menjadi kabupaten perbatasan yang bersinar. Dan menggantang harap di aras laut menjadi salah satu pilihannya.
“Temanku angin, sahabatku ombak,” ucap Sri Wahyumi pada suatu ketika kepada awak media yang mukim di negeri perbatasan itu. Sebuah ucapan bersayap, namun mengandung makna yang dalam. Sebuah falsafa hidup yang dipetiknya dari realitas keseharian hidupnya, sekaligus realitas hidup nelayan negerinya. Negeri berjuluk “Porodisa” bermakna surga. Karena, masa lalu orang-orang Talaud adalah masa lalu laut sebagai ruang hidup, rumah yang berkelimpahan berkat, ikan-ikan yang menari di celah karang, arus yang menempah jiwa para pemberani. Dan di situlah Sri Wahyumi lahir, dengan masa kecil bersahabatkan angin, bertemankan ombak.
Dan, para jurnalis perbatasan tahu persis daya tarung Sri Wahyumi. “Sekali melangkah, ia tak surut selangkah,” ungkap Denny Dalihade memetaforkan. Program percepatan pembangunan kelautan dan perikanan terus digenjotnya. Pada 2017 sebagaimana data di Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Talaud, target produksi tersebut mulai berjalan lancar dan terus naik.
Upaya perempuan tangguh ini pun menuai respon. Pekan kedua Agustus 2018, PT Perikanan Nusantara (Persero) atau Perinus menanda tangani kerjasama di Bidang Perikanandan dengan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud.
“Wilayah Kabupaten Talaud adalah sentra pulau terluar yang perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Oleh karena itu, kerja sama ini menjadi penting karena banyak potensi yang dapat dikembangkan di wilayah tersebut,” kata Direktur Perikanan Nusantara Dendi Agung Gumilang, di Jakarta, kutip Merdeka.com.
Perinus diberikan kepercayaan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk menyiapkan dan mengoperasionalkan unit pengelolaan ikan (UPI) yang berlokasi di SKPT, serta akan mengolah sarana dan prasarana ikan serta gudang beku terintegrasi.
“Jadi, KKP itu melakukan investasi di Kepulauan Talaud, beberapa pembangunan cold storage dan bantuan kapal, nah Perinus itu pemenang lelang untuk mengelola Integratate Cold Storage (ICS). Selain di situ, ada beberapa aset daerah yang saat ini sudah dibangun tapi tidak berfungsi. Nah nanti kami yang memperbaiki supaya bisa berfungsi,” ungkap Gumilang. Selain kerja sama di bidang sarana prasarana tersebut, Perinus juga memberikan beberapa pelatihan kepada nelayan Talaud agar hasil tangkapan ikannya dapat lebih baik lagi.
Semenjak mematok langkah awal ke aras laut, Bupati yang dikenal sebagai pribadi yang berani bertarung dengan berbagai keterbatasan dan pembatasan ini sangat yakin dengan potensi perairan Kabupaten Talaud. Ia ingin kawasan penghasil Ikan Tuna, Tongkol dan Cakalang terbesar tersebut bangkit menjadi sentra perikanan. Ia berharap sector perikanan memberikan dampak maksimal bagi daerah Talaud yang dipimpinya.
Di era pemerintahan Jokowi-JK dengan Nawacitanya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memiliki program yang diberi nama Program Pengembangan Kawasan Kelautan dan Perikanan Terintegrasi (PK2PT). Dan beruntung, dari hasil perjuangan Sri Wahyumi melobi Pemerintah Pusat, Talaud masuk dalam 5 kawasan yang jadi sasaran program tersebut.
Untuk menggenjot sektor ini 91 unit armada tangkap didatangkan pemerintah. Pembenahan kawasan pembangunan sentra kelautan dan perikanan terpadu juga dilakukan di Desa Salibabu. Pembangunan alih status pangkalan pendaratan ikan menjadi pelabuhan perikanan pantai, sudah dibangun sejak 2015 hingga tuntas di 2016.
Pada 2017 kawasan ini sudah memiliki tempat pelelangan ikan cool storage, ice flake skala besar, balai dan rumah nelayan 50 unit. Talaud, kini siap bersaing dengan daerah lain di sector perikanan dan kelautan. Sektor perikanan Talaud pun dilirik investor kelas dunia, di antaranya dari Tiongkok, Zhang Zhi Xiang.
“Inilah yang kami cari. Setelah melihat secara langsung, kami tertarik. Daerah ini memiliki berbagai potensi yang sangat menjanjikan terutama di sektor kelautan dan perikanan yang potensial dikembangkan,” ujar Investor Zhang Zhi Xiang saat berkunjung ke Talaud.
Investor Tiongkok tersebut menyasar produk ikan Tuna Talaud. Mereka berencana memberikan kapal-kapal pengangkut ikan ke Talaud dengan mengenakan bendera Indonesia. Jika terwujud, hal ini tentunya mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Talaud, lebih luas lagi Sulawesi Utara.
Sementara itu, untuk memacu pembangunan sektor perikanan dan kelautan Kabupaten Talaud, Pemerintah pusat telah merumuskan kebijakan dan strategi pengembangan pulau kecil terluar, melalui Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, termasuk penyusunan rencana Zonasi serta master-plan pulau-pulau terluar (PPKT) di Pulau Miangas, Marampit dan Kakorotan.
Direktur Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau Kecil Kementrian Kelautan dan Perikanan DR Krisna Samudra M.Si, mengatakan, kawasan kelautan dan perikanan yang terintegrasi adalah konsep pembangunan kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan pendekatan dan sistem manajemen kawasan dengan prinsip integrasi, efisiensi, kualitas dan akselerasi tinggi dengan tetap berpedoman pada UU Nomor 27 Tahun 2007, sebagaimana telah dirubah terakhir menjadi UU no 1 Tahun 2014 yang mengatur tentang pengelolaan pulau pulau kecil terluar.
Kepedulian dari pemerintah pusat lewat Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia terhadap Kabupaten Talaud ini semakin tampak nyata lewat kunjungan Ibu Susi Pudjiastuti sebagai Mentri KDP dalam menghadiri hajatan budaya sekaligus eko wisata bahari Mane’e yang berlangsung di negeri Porodisa, di negeri dimana ikan-ikan nyaman berumah itu.
Terebosan demi terobosan terus dilakukan Bupati Sri Wahyumi. Dia tak saja fokus pada penaikan angka produksi perikanan, tapi juga nasib para nelayan. Sejak Oktober 2015, di Desa Dalum, pulau Salibabu, Bupati Sri Wahyumi mulai membangun perumahan bagi nelayan. Dimulai dengan 50 unit rumah senilai Rp.7 Miliar, dari program seribu kampung nelayan mandiri, tangguh, indah dan maju (Sekaya Maritim).
“Pembangunan perumahan nelayan ini bertujuan untuk mewujudkan kawasan pemukiman yang lebih baik guna melindungi keselamatan nelayan dan keamanan keluarganya, dengan terlebih dahulu menjadikan tempat tinggal yang layak bagi masyarakat nelayan itu sendiri”, ungkap Sri Wahyumi ketika itu.
Di Desa Dulum, bisa jadi, mata para peteman angin dan pesahabat ombak yang disebut nelayan itu menatapnya. Mereka mengerti apa yang sedang diperjuangkan perempuan pemimpin Talaud itu. Mereka benar-benar menyadari, laut adalah masa depan daerah dan bangsa. Dan pemimpin yang berdiri di depan mereka itu, telah melakukan apa yang paling bisa ia lakukan untuk daerah yang disebutnya sebagai kampung halamannya sendiri. Mereka terharu.
Buah dari kerja keras yang tak mengenal letih ini, memberinya sejumlah perhargaan, termasuk lawatannya ke Amerika Serikat pada 2017, menghadiri program International Visitor Leadership Program (IVLP), karena Pemerintah AS menilai Sri Wahyumi sebagai pemimpin yang sukses dalam pembangunan ekonomi kemaritiman dan lingkungan di daerah yang dipimpinya. Namun di lain sisi, di dalam negeri, lawan prestisius ke AS ini membuahkan ganjaran penonaktifannya selama 3 bulan dari jabatan Bupati. (***)
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post