Oleh : Adi Tucunan
Sebuah insiden di awal tahun 2019 yang memakan korban ratusan anak dan orang dewasa, memukul telak kepercayaan publik dan logika masyarakat kota Manado dengan data kasus Demam Berdarah Dengue (DBD).
Disebut memukul telak kepercayaan publik karena masyarakat kita banyak yang menjadi korban akibat kegagalan sebuah kota yang diberi kepercayaan kolaboratif menata infrastruktur dan tata kotanya lebih bersih; dan memukul logika karena masyarakat Manado sebagian besar adalah orang terpelajar dan memiliki sosial ekonomi yang baik, tapi lumpuh bernalar menjaga lingkungannya tetap sehat.
Sebuah ironi, masyarakat kota Manado yang berpikiran terbuka dan terpelajar, seharusnya mampu melakukan upaya preventif terhadap persoalan seperti ini tapi nyatanya gagal menjalankan perilaku ekologi yang bermartabat, sehingga mendapat predikat salah satu kota terkotor di Indonesia dan secara rutin mengalami endemis DBD. Pertanyaan sederhananya, mengapa insiden demam berdarah terus terjadi di kota ini bahkan mencapai Kasus Luar Biasa (KLB)?
Saya memandang masalah ini bukan sekedar masalah kesehatan semata, tapi pada kompleksitas yang lebih luas di semua sektor, di mana berbagai persoalan terlibat di dalamnya. Masalah politik adalah persoalan utama di mana kurangnya goodwill dari Pemerintah dengan semua kebijakan yang dibuatnya untuk mengeradikasi DBD secara komprehensif.
Pemerintah seharusnya memiliki payung hukum yang kuat untuk mendesak semua stakeholder terkait untuk mencegah terjadinya kekacauan dalam ekologi sehingga mempengaruhi kesehatan masyarakat dengan munculnya masalah DBD seperti sekarang ini.
Regulasi yang tegas harus dibuat untuk mengawal kondisi lingkungan sekitar rumah di kota Manado lebih terjaga di mana masyarakat didesak untuk melihat kondisi sekitarnya. Koordinasi di dalam aparat kota sampai kelurahan harus kuat, dengan memainkan ‘politik anggaran’ yang lebih transparan dan akuntabel yang diporsikan untuk eradikasi DBD, mengingat daerah ini sudah menjadi endemis DBD.
Dari sisi infrastruktur dan tata kota, seharusnya Manado menjadi lebih ramah lingkungan, dengan mendesain health and clean city secara lebih baik. Dengan pembangunan infrastruktur yang lebih pro lingkungan, otomatis masyarakat dengan sendirinya dipaksa untuk menjaga lingkungan sekitarnya agar tidak menjadi sarang tempat berkembangbiaknya nyamuk aedes aegypti.
Predikat salah satu kota terkotor di Indonesia yang disematkan pada kota Manado adalah gambaran rapuhnya sistem ekologi kota dengan fasilitas dan perilaku masyarakat yang bermasalah tentu saja, sehingga berakibat pada gagalnya Pemerintah bersama masyarakat memainkan peran menjaga kota lebih bersih dan indah.
Beberapa tahun lalu memang Manado pernah berturut-turut mendapat Adipura sebagai predikat salah satu kota terbersih, tapi entah kenapa predikat ini bukannya konsisten dipertahankan tapi malahan mengalami degradasi. Apakah predikat sebelumnya hanya sebuah slogan yang didapat dengan mudah atau akal-akalan pemerintah untuk sebuah popularitas ataukah ini ketidak-konsistenan dalam menjalankan pemerintahan?
Kultur sebagian masyarakat kota Manado yang tidak peduli dengan lingkungan sekitar, membiarkan air tergenang dan penampungan air yang kurang diperhatikan, adalah salah satu penyebab nyamuk penyebab DBD sering muncul kembali. Perilaku masyarakat menjadi sangat penting untuk disoroti.
Itu sebabnya Kementerian Kesehatan membuat program seperti Jumantik (Juru Pemantau Jentik) dan digerakkan di seluruh wilayah Indonesia. Sekarang tergantung pemerintah kota atau daerah, mau menjalankan program yang demikian baik ini atau tidak. Karena biasanya, program Pemerintah Pusat, kadangkala terbengkalai di daerah atau tidak ditindaklanjuti karena berbagai alasan yang daerah buat.
Sebenarnya Jumantik itu adalah upaya pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan kalangan masyarakat untuk bertanggungjawab dengan lingkungan kesehatannya dalam rangka mengendalikan DBD. Tapi sekali lagi, ini hanya bisa berhasil, kalau kesadaran masyarakat sudah menjadi lebih baik dan mereka menjadi peduli kalau satu nyawa manusia adalah penting.
Masyarakat yang berparadigma lemah tentang lingkungan kesehatannya, ditambah Pemerintah yang tidak kuat dan serius menjalankan kebijakan dan program yang sudah ada, merupakan kombinasi kegagalan yang sempurna bagi sebuah kota yang dijuluki kota terkotor dan menimbulkan insidens DBD.
Kerjasama lintas sektor adalah sebuah keniscayaan untuk mengatasi insidens DBD ini. Pemerintah harus bahu membahu dengan sektor swasta dan LSM untuk menggalang kesadaran masyarakat. Pemerintah sebagai fasilitator perlu membangun infrastruktur dan fasilitas yang memadai, swasta bergerak dalam menyebarkan informasi lewat media digital serta mempengaruhi publik melalui kampanye hidup sehat mendukung Germas yang dicanangkan Kemenkes dan LSM berperan untuk memobilisir dan memberdayakan masyarakat secara konsisten, sampai semuanya berjalan sebagaimana yang diharapkan dan tidak perlu lagi selalu diingatkan terus menerus karena sudah tertanam dalam kebiasaan dan menjadi pola hidup masyarakat.
Pemerintah dan masyarakat tidak boleh lagi berkiblat pada paradigma kuratif atau paradigma sakit kalau tidak ingin DBD selalu mendatangi kota Manado. Jangan selalu beranggapan baru akan memperbaiki sesuatu jika itu sudah terjadi dan menyebabkan kematian, itu pemikiran fatal karena kita terbiasa dengan mengantisipasi sesuatu kalau ada hal yang buruk terjadi.
Dalam jangka panjang, paradigma pencegahan selalu jauh lebih efektif mengatasi persoalan DBD ini, tetapi itu belum merasuki sendi-sendi birokrasi kita termasuk kesehatan. Sesungguhnya, sangat menyedihkan mengetahui jika semua program yang baik tidak bisa dijalankan, hanya karena buruknya cara pandang birokrat dan masyarakat kita melihat berbagai persoalan kesehatan ini.
Keterlibatan tokoh masyarakat dan agama, sangat diharapkan dalam mengatasi setiap insidens DBD sebelum itu terjadi, karena masyarakat cenderung lebih percaya kepada para tokoh tersebut dibanding pemerintah. Jadi para tokoh agama dan masyarakat di setiap kesempatan acara yang mereka selenggarakan, harus menyinggung dan mengajak masyarakat untuk menjadikan kasus DBD sebagai persoalan bersama bukan hanya persoalan orang kesehatan saja.
Kita tidak ingin predikat salah satu kota terkotor di Indonesia, menciderai reputasi warga kota Manado sebagai warga yang berpendidikan tinggi, berpikiran terbuka dan berbudaya mapalus. Tentu kita semua mengharapkan, angka harapan hidup masyarakat kota Manado menjadi lebih tinggi lagi, dengan kemampuan mengatasi persoalan penyakit infeksi ini dengan seksama dan jangka panjang secara berkelanjutan, bukan hanya nanti ada kasus DBD baru menjalankan program.
Semuanya akan terlambat, jika kita tidak mengubah paradigma kita dan tidak berkolaborasi bahu membahu mendorong clean and green city terwujud. Penyakit DBD tidak akan sering muncul dan masif, jika kita mengubah sudut pandang dan perilaku kita menjadi lebih sehat. SEMOGA!
Adi Tucunan, Staf Pengajar FKM Unsrat Manado
Discussion about this post