Tanah besar di tepi Sungai Ranoiapo itu sejatinya adalah mas kawin yang diberikan Damopolii, sang ‘Punu Molantud’ atau pemimpin negeri Totabuan, kepada istrinya Uwe Renden, perempuan cantik anak penguasa Tareran. Tanah itu kemudian menjadi pemicu perang antara Mongondouw dan Malesung. Dalam perang inilah kisah Tarumetor dan ksatria 9 bayangan mencuat.
Situs tomininews mengisahkan, Damopolii menjadi penguasa Tanah Totabuan antara tahun 1480-1510. Dia mewarisi tahtanya dari sang ayah, Yayubangkai. Nama terakhir ini adalah putra bungsu Mokodoludut; raja pertama Bolaang Mongondouw yang konon berayahkan malaikat. Damapolii sering juga disebut dengan nama lainnya, Kinalang.
Damopolii senang mengembara. Tak heran dia menikahi dua perempuan Minahasa. Pada perkawinan kedua dia meminang Uwe Renden atau Teteon. Perempuan jelita dari Suku Tountemboan itu adalah anak dari Tiwow-Karangan, penguasa pertama Pakasaan Tounkimbut di sekitar Tareran. Memang berbeda dengan bangsa Totabuan, di Minahasa atau tanah Malesung tak ada sistem kerajaan. Para pemimpin dibagi pada masing-masing walak.
Sebagai mas kawin, Damapolii menyerahkan tanah besar ke Pakasaan Tounkimbut. Kawasan dimaksud memang benar-benar luas karena mencakup wilayah Amurang, Motoling hingga Modoinding yang sekarang menjadi wilayah Minahasa Selatan, serta sebagian wilayah Ratahan di Minahasa Tenggara sekarang, tulis David Mumekh dalam blognya remboken-minahasa-kawanuaku.blogspot.com. Tanah besar itu akhirnya memicu sengketa antara orang Mongondouw dan Malesung.
David Mumekh menulis, pemberian hadiah itu ternyata tidak sepenuhnya disetujui oleh rakyat yang dipimpin Damopolii. Di akhir tahun 1500-an, munculah Ramokian sebagai Raja Bolaang Mongondouw yang mengklaim kepemilikan tanah besar di pesisir Sungai Ranoiapo. Ramokian kemudian masuk ke Tanah Besar melalui sisi sungai Molompar lalu menduduki kembali seluruh wilayah Tanah Besar itu dari Pakasaan Tounkimbut dan Tountemboan.
Palagan berlangsung antara kaum Pasan-Wangko yang menghuni wilayah Belang dan Ratahan dengan pasukan Ramokian. Penduduk di Tanah Besar mulai terpukul dan berpindah tempat untuk menghindari tekanan Ramokian yang meminta upeti. Mereka mundur hingga ke pegunungan dan bercampur baur dengan Pakasaan Toulour di wilayah-wilayah Remboken, Kakas dan Tondano.
Tak menunggu lama, perang tak hanya terpusat di Tanah Besar. Ramokian kini menginvasi wilayah pemukiman Pakasaan Toulour di pesisir Danau Tondano. Dalam catatan J.G.F Riedel, maka majulah Wengkang dan Ra’aniw, pemimpin Kakas, menghalau pasukan Ramokian di Panasen. Perang berkobar begitu dahsyat hingga menewaskan seorang Tona’as Malesung bernama Ka’at. Dia adalah ayah tiri dari pemimpin Rimambok (Remboken), Tona’as Retor.
Sembilan Bayang-bayang
Retor tengah tapa di atas batu besar Sasapuan, di Kampung Leleko, ketika mendengar kabar kematian Ka’at. Yang terjadi kemudian adalah sebuah epik. Seraya menghadap ke Panasen, Tarumetor memekik “I yayat u santi…” acungkan pedangmu! Semboyan legendaris yang membangkitkan semangat bangsa Minahasa hingga kini.
Tulis David Mumekh, sambil melonjak-lonjak mirip penari Kabasaran, teriakan Retor mengundang kehadiran 8 Tona’as lain dari Remboken; Kembi (Kambil), Pakele, Sumayou (Sumoyop), Kawengian, Koagouw, Sumarauw, Kowaas dan Sendouw. Melihat Retor tengah menari sambil mengacungkan pedang di batu Sasapuan, mereka menyebutnya Tarumetor. Tempat itu kemudian disebut Patalingaan.
Kesembilan Tona’as ini sering disebut ‘9 bayang-bayang’ oleh pasukan perang Malesung karena mampu bergerak cepat dan bagaikan bayangan yang tak dapat ditebas parang dan tak dapat ditembus tikaman tombak. Setelah menyusun strategi di Sasapuan, kesembilan bayangan maju memerangi pasukan Ramokian di Kapataran.
Sementara pasukan Malesung yang telah bersatu, disebut Minaesa atau Minahasa, dipimpin oleh kepala-kepala dari Suku Tountemboan yaitu Koemeang, Porong, Lampas, Waani; Suku Tounsea (Tountewoh) yaitu: Lengkong Wuaya, Ramber; Suku Toundano (Tourikeran) yaitu: dotu Gerungan; Kakas (Kina’kas) yaitu: Wengkang; Suku Toumbulu (Mayesu) yaitu: Pelealu, Wangka, Tekelingan. Jumlah seluruhnya limabelas pemimpin, kata Boèng Dotulong lewat blognya toudano-minahasa.blogspot.com.
Dalam bukunya “Hikajatnya Tuwah Tanah Minahasa” karya tahun 1862, J.G.F Riedel menggambarkan serangan Retor Si Tarumetor dan kawan-kawannya itu telah menjadikan amuk dan huru-hara besar, menenggelamkan kapal-kapal dan perahu-perahu pasukan Ramokian. Tarumetor juga yang memenggal Ramokian dan kepalanya tersimpan di Rumah Loji di Remboken. Perang berakhir dan pasukan Ramokian mundur kembali hingga Tanah Totabuan.
Selanjutnya pada 21 September 1694, telah dibuat suatu kesepakatan antara kepala-kepala Walak dan Pakasaan Minahasa dengan Raja Bolaang Mongondow, Jacobus Manoppo, di mana Tanjung Poigar ditetapkan sebagai batas wilayah Minahasa dan Bolaang Mongondow.
Kemudian 12 Maret 1907, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 30, dengan menetapkan batas wilayah Minahasa dan Bolaang Mongondow adalah Sungai Poigar, Gunung Muntoi dan Danau Modoinding (Danau Moat) masuk menjadi milik Minahasa. (*)
Penulis: Ady Putong
Discussion about this post