MANADO, BARTA1.COM – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Manado menyampaikan sejauh ini konflik suku agama ras dan antar golongan (SARA) tidak terlalu signifikan jelang saat dan pasca pemilu.
“Hanya saja pasca terjadi peristiwa penghadangan terhadap penceramah di Bandara Sam Ratulangi Manado, ada peningkatan presentase terkait isu SARA di Manado,” ujar Koordinator Divisi Pengawasan, Hubungan Masyarakat dan Hubungan Antar Lembaga Bawaslu Manado, Taufik Bilfaqih saat Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Manado kerjasama dengan Gerakan Cinta Damai Sulut (GCDS), di Kantor DPD RI Perwakilan Sulut, Kamis (13/12/2018).
Diskusi yang dimoderatori Taufani (akademisi IAIN Manado), juga menghadirkan pemantik akademi UKIT Tomohon, Denni Pinontoan dan Ketua AJI Manado, Yinthzhe Lynvia Gunde bertema: Pemilu, Media dan Keragaman, dihadiri aktivis mahasiswa, jurnalis, tokoh agama dan masyarakat.
Taufik menyebutkan Manado peringkat ketiga daerah rawan konflik di Sulut berdasarkan pengalaman pemilu lalu. Urutan pertama adalah Bolaang Mongondouw Raya dan posisi kedua Minahasa. “Untuk Manado wilayah Kecamatan Tuminting paling tinggi konflik,” bebernya.
Dia pun mengajak peserta diskusi untuk memahami sistem kerja Bawaslu dalam melakukan Pengawasan. Sebagaimana dalam amanat UU Pemilu, Bawaslu mengutamakan pencegahan agar terciptanya suasana pemilu yang bermartabat. Jika semua komponen ikut terlibat, maka bukan tidak mungkin penindakan pelanggaran akan terhindar.
Ia menambahkan, media sosial (medsos) menjadi penyebab tertinggi konflik pra pemilu. Setelah medsos adalah televisi koran dan radio. “Padahal pemilu bukan hanya soal menang dan kalah, tapi butuh peranan penting untuk menjaga kualitas demokrasi. Ada konflik, pra pemilu, saat pemilu, dan pasca pemilu. Ini yang harus kita antisipasi. Salah satu pemicunya adalah aktivitas di media sosial yang mempengaruhi publik. Dan ingat Sulut masuk 15 daerah yang punya potensi konflik,” ujar Taufik.
Ketua AJI Manado, Yinthze Lynvia Mandey, mengatakan banyak jurnalis di Sulut yang suka berkampanye di medsos. “Mengapa mereka suka melakukan itu padahal mereka seorang jurnalis? Seharusnya jurnalis itu bersikap independen,” katanya.
Sebagai jurnalis memang tidak boleh mencamtumkan pilihan politik. Dan itu yang harus dihindari. Karena akan perpengaruh terhadap pandangan masyarakat dalam profesionalis seorang jurnalis. “Tidak bisa dipungkiri adanya medsos banyak informasi yang menjadi bias. Ini menjadi pekerjaan berat bagi pers dan jurnalis karena harus menangkal berita hoax di media,” papar Lynvia.
Dosen UKIT Tomohon, Denny Pinontoan mengatakan isu yang dibahas ini sebagai upaya manusia dalam mengatur hidupnya dan juga mengelola sumber daya dan ruang yang ada. “Kalau ada persoalan harusnya ada cara mengatasi masalah itu.
Indonesia sebagai bangsa bersepakat mendirikan negara bukan berdasar pada hukum agama tertentu, tapi bersepakat mendirikan Indonesia pada cita-cita bersama. Dibutuhkan satu mekanisme yang konstitusional dan demokratis,” ujarnya.
Peliput : Agustinus Hari
Discussion about this post