MANADO, BARTA1.COM – Indonesia dikenal dunia sebagai negara dengan tingkat toleransi beragama dan keberagaman sosial yang tinggi. Namun, Deutsche Welle (DW) Akademie Jerman menangkap harmonisasi sosial itu terancam hilang setelah melihat kondisi dalam beberapa tahun terakhir.
DW kemudian bekerjasama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menggelar pelatihan dengan mengusung tema “Keimanan dan media: sebuah dialog antar agama bagi jurnalis Indonesia”, sejak Jumat hingga Minggu (26-28/10/2018). Pelatihan itu diikuti 25 jurnalis terpilih dari berbagai platform media di Manado, Kotamobagu, Makassar, Jember dan Bandung.
“Pelatihan ini akan melatih meningkatkan peran dan tanggung jawab jurnalis, juga media, untuk mengurangi ketegangan atau konflik di masyarakat atas dasar perbedaan agama,” kata Ayu Purwaningsih, trainer DW Akademie.
Selain itu, pelatihan ini untuk memperluas pengetahuan jurnalis tentang dasar konstitusi, politik, dan modal sosial pluralime beragama di Indonesia. “Juga meningkatkan standar etika profesional dari jurnalisme sensitivitas konflik agar tidak menurunkan berita yang bias,” ujarnya.
Pelatih DW Akademie Jerman, Sheila Mc Myrosekar menantang peserta untuk menghasilkan karya jurnalistik berdasarkan kode etik dan standar profesionalisme jelang Pemilu 2019. Selain itu, juga harus dibekali pengetahuan dan kemampuan untuk mencari fakta di tengah kondisi sosial dan politik yang terus memanas serta tantangan ekstremisme beragama.
“Dengan pelatihan ini juga merupakan kesempatan untuk menjalin hubungan jangka panjang antarjurnalis dari berbagai latar belakang agama,” kata Sheila.
Direktur Executive Program AJI Indonesia, Hesthi Murthi menambahkan, pelatihan ini bertujuan agar jurnalis lebih sensisitif dan tidak bias ketika meliput isu-isu konflik karena perbedaan agama dan etnis, gender dan mampu menawarkan solusi perdamaian. “Peserta diharapkan bisa memiliki pemahaman komprehensif mengenai isu-isu keberagaman,” kata Hesthi.
Denny Pinontoan, Dosen Fakultas Theologi Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT) yang menjadi narasumber diskusi mengingatkan kepada jurnalis, konstruksi masyarakat majemuk, artinya bukan hanya dua agama saja, melainkan ada keragaman yang lain.
“Keragamanan agama tidak bisa dilepaskan dari keragaman etnis, tapi juga keragaman pilihan politik, bahkan untuk hal yang sangat sensitif seperti orientasi seks,” ujarnya.
Dia berharap, dengan adanya pelatihan ini, jurnalis memahami kompleksitas keragaman itu. Sehingga ketika jurnalis melakukan peliputan dan penulisan isu sensitif dapat memilih kata yang tepat. “Menstrukturkan satu narasi dengan menyadari apakah akan ada kelompok yang akan tersinggung dengan berita itu atau sebaliknya,” ujarnya.
Peserta pelatihan ini juga diingatkan tentang kode etik dan kode perilaku yang dibawakan Yoseph E Ikanubun dari Majelis Etik AJI Manado dan ahli pers Dewan Pers. “Ada sejumlah pasal yang mengatur kita untuk menghargai keberagaman, perbedaan dalam masyarakat. Misalnya Kode Perilaku pasal 46, Kode Etik Pasal 5 dan 15 ada juga di Anggaran Dasar AJI pasal 6-10,” tandas Ikanubun.
Penulis : Agustinus Hari
Discussion about this post