Laurens Koster Bohang tak hanya lewat begitu saja dalam dunia susastra Indonesia. Kendati catatan tentang dirinya relatif sedikit, tapi dia adalah “Kawan dan guru kita,” tulis Sutan Sjahrir dalam suratnya pada Amal Hamzah, 21 Oktober 1943.
Chairil Anwar belum menjadi siapa-siapa saat berjumpa Laurens Koster Bohang. Nama terakhir adalah redaktur buku berbahasa Melayu dan administrator naskah Poedjangga Baroe. Bohang adalah magnet bagi para sastrawan muda, demikian tim penulis Chairil Anwar Bagimu Negeri Menyediakan Api (2016), seri buku saku Tempo, menyebut dia.
Pujangga berdarah Sangihe itu tidak banyak menciptakan karya. Hasan Aspahani dalam bukunya Chairil Anwar: Sebuah Biografi, menyatakan banyak pemuda dari Sulawesi Utara sering berkumpul di meja kerja Bohang. Ketika pertama tiba di Batavia dia tak bisa bahasa Indonesia, tapi fasih berbahasa Belanda dan sering mencampurnya dengan bahasa Manado.
Pertemuan Bohang dengan Chairil, si Binatang Jalang, terjadi tak sengaja, sekitar tahun 1942. Ketika disuruh pamannya Sutan Sjahrir untuk menghadiri resepsi pernikahan adik perempuan dari seorang kerabat bernama Takdir, di kantor redaksi Poedjangga Baroe.
Sebagai pujangga muda, “Chairil masa itu belum percaya diri dan belum terkenal,” kata Hasan Aspahani.
Tak butuh waktu lama bagi Chairil dan Bohang menjadi dekat. Jarak usia yang terpaut jauh, 12 tahun telah membuat hubungan mereka lebih dari sekadar abang dan adik.
Chairil tiba di Batavia 2 tahun sebelumnya, setelah pernikahan ibunya Saleha dan ayahnya Toeloes kandas. Dia ikut ibunya ke kota yang jadi pusat segala kesibukkan itu. Chairil dan Saleha kemudian tinggal di Menteng, menumpang di rumah Sutan Sjahrir, Bung Kecil yang kemudian menjadi Perdana Menteri pertama Indonesia.
Seri Buku Saku Tempo menulis, banyak sastrawan di masa itu menganggap Bohang adalah filsuf, sahabat dan maha guru. Gambaran itu dimungkinkan terefleksi salah satunya dari kepiawaian Bohang menafsir puisi-puisi Amir Hamzah, raja di era Pujangga Baru.
Bohang dalam eseinya merumuskan pembagian waktu atas sajak-sajak Amir Hamzah. Amris Leonardi Sihombing dalam blog pribadinya menjelaskan, Bohang telah membaginya dalam 3 masa; masa pertama di Jakarta, tahun 1928-1930 terlahir sajak-sajak Cempaka Putih sampai Hang Tuah. Dalam masa kencana di Solo, tahun 1930-1933 terbitlah sajak-sajak Hang Tuah sampai Berlagu Hatiku.
“Kembali di Jakarta, tahun 1933-29 November 1937, adalah masa bergejolak, masa memutuskan cinta, masa gelap. Masa inilah menurut Bohang terlahir sajak-sajak Berlagu Hatiku Hingga Akhir,” urai Sihombing.
Dekat di Batavia
Kilasan cerita tentang Bohang dan Chairil Anwar pernah disampaikan sastrawan besar Nusa Utara, Jan Engelbert Tatengkeng, dalam sebuah kuliah umum di hadapan dosen dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Hasanudin, 40 April 1966. Tatengkeng menghubungkan satu dari tiga surat Bohang bertanggal 24 Juni 1943 yang terpublikasi di Almanak Seni (1957), menyatakan Bohang dan ‘kawannya’ kerap wara-wiri di Masjid Luar Batang, Pasar Ikan, Batavia.
Kecocokan disebut Tatengkeng dengan sajak-sajak ciptaan Chairil yang mengandung pengalaman yang sama; Di Mesjid (29 Mei 1943), serta Kawanku dan Aku (5 Juni 1943).
“Dari persekitaran tanggal surat Bohang dan sajak-sajak Chairil, keduanya bisa menulis dari peristiwa sama yang mereka alami: mengembara menjelajahi Batavia,” ujar Tatengkeng dalam Chairil Anwar Bagimu Negeri Menyediakan Api.
Dia tidak ragu menyebut persahabatan Bohang dan Chairil merupakan proses latihan bagi Chairil untuk mengucapkan renungan hidup dalam bentuk yang paling cocok dengan “bakatnya”. Sajak Kawanku dan Aku teridentifikasi memang dibuat Chairil Anwar untuk Laurens Koster Bohang. Peneliti sastra berdarah Belanda Andries Teew dalam bukunya Modern Indonesian Literature, menjelaskan hal itu bukan kebetulan,
“Tapi karena Bohang memang erat pergaulannya dengan para seniman muda,” kata Teew.
Kawanku dan Aku menurut Teew terklasifikasi sebagai karya unggulan sang penyair besar itu. Chairil memanfaatkan secara penuh setiap kata, morfem, bunyi, unsur tata bahasa, struktur sajak dan unsur makna. Teew mengatakan, segala sesuatu dalam sajak itu disemantikkan.
Kami sama pejalan larut, Menembus Kabut
Hujan mengucur badan, Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan
Darahku mengental pekat. Aku tumpat-pedat
Siapa berkata? Kawanku hanya rangka saja
Karma dera mengelucak tenaga
Dia bertanya jam berapa? Sudah larut sekali
Hilang tenggelam segala makna dan gerak tak punya arti
Hubungan antara keduanya, menurut Seri Buku Saku Tempo, telah membuat Chairil menemukan mentor yang memengaruhi jalan pikirannya di kemudian hari.
Bohang meninggal 14 Februari 1945, di usia muda, 32 tahun. Untuk sang mentor, lagi Chairil Anwar menuliskan sebuah puisi bertajuk Kepada Penyair Bohang. Dua sajak menjadi bukti kekaguman Chairil Anwar pada Bohang. Chairil menyusul kepergian guru dan sahabatnya itu, 4 tahun kemudian. (*)
Penulis: Ady Putong
Discussion about this post