MANADO, BARTA1 — Diskursus boleh tidaknya mantan narapidana koruptor ikut pencalonan legislatif tahun depan, terus bergulir sembari menunggu keputusan Mahkamah Agung atas masalah tersebut.
Salah satu pembahasan menyangkut eks napi koruptor di Pemilu 2019 dilakukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih dalam diskusi bersama di kantor Indonesian Corruption Watch (ICW) baru-baru ini, di Jakarta.
Duduk sebagai narasumber, Bivitri Susanti; Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jantera, Hadar Nafis Gumay; Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Titi Anggraini; Perludem, Donal Fariz (ICW) serta Charles Simabura; Pengajar Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Andalas
Para pihak menyatakan sangat mengapresiasi parpol yang saat ini menyatakan tidak akan mencalonkan mantan narapidana korupsi, meskipun sudah dimenangkan dalam proses sengketa di Bawaslu. Tidak hanya bentuk patuh hukum, komitmen partai ini juga patut dimaknai sebagai wujud konkret dari semangat antikorupsi partai.
“Adanya partai politik yang masih memaksakan pencalonan mantan napi korupsi, adalah salah satu bentuk ketidakkonsistenan partai. Karena mereka menandatangani pakta integritas tidak akan mencalonkan mantan narapidana korupsi, mantan kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba,” kata mereka, lewat rilis ke redaksi Barta1, Minggu (09/09/2018).
“Dan parpol siap dengan sanksi bahwa jika masih mencalonkan akan ditetapkan tidak memenuhi syarat. Masing-masing pimpinan partai politik sesuai tingkatan sudah menekan pakta integritas tersebut diatas materai. Namun, ketika mereka masih menggugat, ini adalah jelas bentuk inkonsistensi yang mengkhianati masyarakat,” jelas kelompok ini.
(baca juga: Menghadang Mantan Napi Korupsi di Pemilu 2019)
Mengenai hal ini, mereka berharap partai lain menyusul untuk komit tidak mencalonkan mantan napi korupsi dan tindak kejahatan serius lainnya. Tiga lembaga penyelenggara Pemilu harusnya menjadi satu unit kesatuan dalam penyelenggaraan pemilu, dengan tujuan untuk menyukseskan penyelenggaraa pemilu.
Diketahui, pertemuan tripartit penyelenggara pemilu, yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP menghasilkan dua kesepakatan penting. Pertama, ketiga lembaga sepakat menunggu putusan uji materi Peraturan KPU tentang pencalonan anggota legislatif di Mahkamah Agung (MA). Kedua, meminta partai politik untuk tetap pada komitmen tidak mencalonkan mantan napi korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba untuk menjadi caleg pemilu 2019 meski gugatan mereka telah dikabulkan oleh Bawaslu.
Kesepakatan forum tripartit yang menyerahkan pada MA kemudian membuat perdebatan bergulir pada “Bagaimana MA sebaiknya merespon?”. Banyak pihak mengatakan pembatasan hak harus dilakukan melalui UU, bukan peraturan perundang-undangan seperti PKPU. PKPU juga dianggap bertentangan dengan Putusan MK No. 42/PUU-XIII/2015.
Mengenai hal ini, menurut narasumber, hal penting yang penting diperhatikan, pertama, PKPU berada dalam koridor di bawah UU. PKPU sudah melewati proses penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana mestinya. Bahkan, PKPU telah melewati proses harmonisasi dengan UU Pemilu dan diundangkan oleh KemenkumHAM. Ada banyak peraturan yang hingga saat ini belum diundangkah oleh KemenkumHAM karena tidak sesuai dengan UU diatasnya, dan masih melalui proses harmonisasi;
Kedua, PKPU Nomor 20 tahun 2018 mengatur pencalonan partai, dengan melarang partai menyertakan mantan napi kejahatan seksual terhadap anak, bandar narkoba, dan korupsi sebagai caleg dalam pasal 4 ayat 3.
Ketiga, putusan MK yang memberikan kesempatan kembali kepada mantan napi korupsi boleh maju kembali dalam sebuah kontestasi pemilihan adalah terkait pemilihan kepala daerah (pilkada). Belum ada ada satupun putusan MK yang memutuskan terkait pembatasan hak untuk menjadi calon anggota legislatif. Ini tidak boleh langsung dipersamakan, karena objeknya berbeda. Putusan MK yang sering dirujuk oleh Bawaslu selama ini, seluruhnya berkaitan dengan pemilihan kepala daerah. Sementara konteks Peraturan KPU No. 14 Tahun 2018 dan Peratura KPU No. 20 Tahun 2018 mengatur mengenai konteks pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Keempat, selain itu, hingga hari ini, masih ada TAP MPR No. XI/MPR/1998 Tetang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, memandatkan kepada penyelenggara negara untuk jujur, adil, terbuka, dan terpercaya serta mampu membebaskan diri dari praktik KKN. Hal yang sama juga diatur di dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraa Negara yang bersih dan bebas dari KKN.
Selain mengenai dugaan pertentangan dengan UU Pemilu, MA juga harus melihat parahnya fenomena korupsi legislatif dan dorongan publik terhadap larangan ini. Dalam pembentukan UU, seringkali keinginan rakyat tidak sejalan dengan keinginan pembentuk UU. Ada semangat progresif dalam larangan ini yang perlu didukung.
MA sebelumnya telah pernah mengeluarkan peraturan MA progresif, misalnya mengenai bagaimana memeriksa korban kejahatan seksual. MA tidak menunggu pembahasan UU terkait selesai di DPR.
“Kami berharap MA tidak lagi hanya menggunakan konteks legal semata. Tetapi melihat substansi demokrasi, terkait dengan kebutuhan negara kita, yakni calon pejabat publik yang bersih dan berintegritas. Dan apa yang dilarang dalam PKPU merupakan ikhtiar kecil untuk mengarah kesana,” ujar mereka. (*)
Penulis: Ady Putong
Discussion about this post