Sejumlah lembaga telah mengirim surat terbuka ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI terkait lolosnya beberapa eks narapidana kasus korupsi, yang namanya terakomodir dalam daftar calon legislatif di daerah. Keputusan pengawas Pemilu telah menafikan Peraturan KPU Nomor 14 dan 20 tahun 2018.
Perdebatan tentang larangan mantan napi korupsi harusnya selesai saat Kementerian Hukum dan HAM mengundangkan Peraturan KPU No. 14 dan 20 tentang Pencalonan Calon Anggota Legislatif, yang dicantumkan dalam lembaran berita negara No. 834 sehingga PKPU menjadi sah dan berlaku mengikat.
Demikian surat terbuka yang ikut dikirim ke redaksi barta1, Jumat (31/8/2018) oleh beberapa lembaga independen; Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih, Indonesia Corruption Watch (ICW), Kode Inisiatif, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Netgrit, Pemuda Muhammadiyah, Banten Bersih, Rumah Kebangsaan, Madrasah Antikorupsi, Lingkar Madani (Lima), Indonesia Budget Center (IBC), Aliansi Masyarakat Sipil untuk Perempuan Politik (Ansipol) serta Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA).
Lembaga-lembaga tersebut memaknai perdebatan panjang pada saat perumusan Peraturan KPU sebagai perdebatan kritis yang sudah sepatutnya melatarbelakangi perumusan peraturan.
“Namun ketika Peraturan KPU telah sah dan diundangkan, tidak seharusnya dan tidak sepatutnya Bawaslu mengabaikan Peraturan KPU dalam memutus sengketa pencalonan pemilu,” jelas mereka.
Pasal 76 ayat 1 UU Pemilu telah mengatur bahwa dalam hal Peraturan KPU diduga bertentangan dengan UU pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA). Ketentuan yang sama diatur dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Artinya, Bawaslu seharusnya tidak potong kompas dan menarik simpulan sendiri dikarenakan koreksi atas Peraturan KPU bukan ranah dan wewenang Bawaslu. Sedangkan hingga saat ini, belum ada putusan MA yang menyebutkan Peraturan KPU bertentangan dengan UU.
Putusan pengawas pemilu di enam daerah, yaitu Aceh, Toraja Utara, Sulawesi Utara, Pare-Pare, Rembang dan Bulukumba terhadap sengketa pencalonan mantan napi korupsi secara terang-benderang tidak menjadikan Peraturan KPU tentang Pencalonan sebagai rujukan.
Padahal, Peraturan KPU sebagaimana diatur dalam pasal 8 ayat 2 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
“Bawaslu justru diamanatkan mengawasi pelaksanaan Peraturan KPU, sebagaimana disebut dalam pasal 93 huruf l UU Pemilu. Bawaslu sebagai tulang punggung pengawasan pemilu seharusnya memastikan bahwa tidak ada mantan narapidana kasus korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba yang diloloskan sebagai calon anggota legislatif oleh KPU,” kata sejumlah lembaga tadi.
Pun demikian, masih besar harapan agar Bawaslu RI segera menjalankan kewenangannya meluruskan kekeliruan dengan mengoreksi dan memberikan rekomendasi putusan Bawaslu daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 95 huruf h UU Pemilu.
Harapan dan tuntutan mereka ini tidak hanya berangkat dari semangat untuk memiliki legislatif yang lebih baik dan bersih, tetapi juga demi adanya kepastian hukum dalam pencalonan anggota legislatif pemilu 2019.
“Kami yakin, Bawaslu RI mempunyai semangat yang sama dan memahami bahwa Peraturan KPU tentang Pencalonan masih sah dan berlaku, sepanjang tidak dikoreksi oleh MA,” tutup mereka.
Tersangka Korupsi
di Pilkada 2018
Tren penindakan kasus korupsi 2017 yang disusun oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan pemerintahan daerah adalah lembaga dengan jumlah kasus korupsi terbanyak. Tercatat ada 267 kasus dengan 378 tersangka dan kerugian negara Rp 1,3 Triliun. Data ini menegaskan korupsi pemerintahan daerah masih menjadi persoalan besar. Untuk membenahinya dibutuhkan kepala daerah yang berkompetensi serta berintegritas.
Dari sepuluh nama terduga tersangka korupsi yang berkontestasi pada 27 Juli 2018, tiga orang terpilih. Mereka adalah Ahmad Hidayat Mus sebagai Gubernur Maluku Utara, Syahri Mulyo sebagai Bupati Tulungagung, dan Nemehia Wospakrik sebagai Wakil Bupati Biak Numfor.
Ahmad Hidayat Mus dan Syahri Mulyo ditetapkan KPK pada 2018, menjelang diselenggarakannya Pilkada 2018. Keduanya saat ini tengah ditahan sehingga tidak dapat aktif mempersiapkan diri sebagai kepala daerah.
Sedangkan Nehemia Wospakrik diduga telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Biak Numfor sejak tahun 2011 atas dugaan korupsi perjalanan dinas Ketua DPRD Biak Numfor tahun anggaran 2010. Pada saat itu, ia menjabat sebagai Ketua DPRD Biak Numfor. Artinya, sudah delapan tahun kasus ini belum tuntas penyelesaian penanganan perkaranya. Nehemia juga ikut dan terpilih dalam Pemilu Legislatif 2014.
Sehubungan dengan kasus Nehemia, Indonesian Corruption Watch (ICW) lewat rilisnya ke redaksi barta1 Kamis (30/8/2018) menyatakan telah menyampaikan surat permohonan untuk mengklarifikasi dan mendorong adanya koordinasi dan supervisi penanganan perkara kepada KPK dan Dirtipikor Mabes Polri.
Surat resmi disampaikan pada 28 Agustus 2018. Berdasarkan keterangan pihak Mabes Polri, proses hukum terhadap kasus tersebut masih berjalan dan Polres Biak Numfor masih mengumpulkan alat bukti.
Ketiga kepala daerah terpilih yang diduga berstatus tersangka ini akan tetap dilantik sebagai kepala daerah, merujuk pada pasal 164 dan 165 UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Bahkan, Kemendagri akan tetap melakukan pelantikan meski tersangka telah ditahan. Kemendagri akan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum untuk pelantikan tersebut.
Terpilihnya orang bermasalah dalam Pilkada patut dimaknai sebagai persoalan yang dapat menghambat kemajuan daerah. Adakalanya masyarakat tidak mengetahui rekam jejak buruk atau terbatas pilihannya pada pilkada sehingga tetap memilih tersangka korupsi.
Terlebih lagi pada aktor yang diduga telah lama ditetapkan sebagai tersangka. Pertanyaannya, mengapa partai politik masih mencalonkan tersangka kasus korupsi? Mengapa penanganan kasus di Polres Biak Numfor berlangsung begitu lama?
“Dalam Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana Pasal 17 ayat (1) dijelaskan bahwa sebelum melakukan penyidikan, penyidik wajib membuat rencana penyidikan. Dari tujuh hal rencana penyidikan yang wajib dibuat oleh penyidik, salah satu yang dimuat yaitu waktu penyelesaian penyidikan berdasarkan bobot perkara agar penyidikan dapat berjalan profesional, efektif, dan efisien,” kata ICW.
Terdapat kriteria perkara berdasarkan tingkat kesulitan, yaitu perkara mudah, sedang, sulit, dan sangat sulit. Setiap Kepolisian di tingkat daerah memiliki tingkat kesulitan yang beragam. Tingkat Mabes Polri dan Polda menangani perkara sulit dan sangat sulit. Tingkat Polres menangani perkara mudah, sedang, dan sulit. Sedangkan tingkat Polsek menangani perkara mudah dan sedang.
Namun dari seluruh kriteria penanangan perkara berdasarkan tingkat kesulitan, waktu penyelesaiannya tidak cukup jelas. Misal, dalam Peraturan a quo Pasal 18 ayat (3) huruf h dijelaskan bahwa waktu penyidikan memerlukan cukup waktu, tapi tidak dijelaskan berapa lama waktu yang dibutuhkan. Hal ini yang membuat penyelesaian perkara di Kepolisian tidak terlalu jelas seperti yang terjadi di Polres Biak Numfor.
ICW mendorong Kemendagri dengan berkoordinasi dengan KPK menangguhkan pelantikan Ahmad Hidayat Mus sebagai Gubernur Maluku Utara dan Syahri Mulyo sebagai Bupati Tulungagung. Juga KPK mempercepat penyelesaian penanganan kasus korupsi Ahmad Hidayat Mus dan Syahri Mulyo agar keduanya tidak lagi tercatat sebagai kepala daerah
Polres Biak Numfor untuk segera menyelesaikan penanganan kasus dugaan korupsi perjalanan dinas ketua DPRD Biak Numfor TA 2010 yang telah kurang lebih delapan tahun tidak tuntas. Selanjutnya Kepolisian dan KPK RI melakukan koordinasi dan supervisi penanganan perkara kasus dugaan korupsi perjalanan dinas ketua DPRD Biak Numfor TA 2010 di Polres Biak Numfor.
Kapolri juga diminta untuk melakukan revisi terhadap Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 agar manajemen perkara dapat berjalan secara professional, efektif dan efisien. (*)
Penulis: Ady Putong
Discussion about this post