Oleh: S. Ahmad ‘Amato’ Assagaf
Kita memiliki lebih banyak ekspektasi daripada informasi. Maksudnya, kita membentuk harapan yang tak jarang lebih besar daripada kenyataan yang disediakan pada kita sebagai landasannya. Bahkan kita suka mempersetankan kenyataan karena ingin bermimpi. Dan, dalam pikiran orang-orang tertentu, rakyat berhak bermimpi dan negara wajib mewujudkannya.
Persoalannya, ideologi mempertuhankan negara seperti ini, memasang ideal pada negara sebagai yang bisa menyelesaikan apapun jika pemegang kekuasaan negara punya kemauan, adalah omong kosong yang membuat rakyat semakin jauh dari kenyataan. Akibatnya, mimpi-mimpi itupun menjadi begitu mudah dipelintir menjadi jualan politik untuk meraih kekuasaan negara.
Pilihlah saya dan saya akan mewujudkan mimpimu. Peduli setan apapun yang kalian mimpikan, jika saya memegang kekuasaan, maka saya akan menggunakan negara sebagai permadani terbang yang akan membawa kalian ke surga.
Apa yang hilang dari seruan dan janji-janji seperti ini kecuali kebohongannya yang nampak nyata? Kenyataan.
Kita tidak harus berdebat untuk mendefinisikan “kenyataan” dalam tulisan ini, kita hanya perlu sadar bahwa apa yang berlaku dalam cara kerja negara sama sekali bukanlah cara kerja tuhan. Dan itulah yang dimaksud dengan kenyataan.
Para politisi yang ingin menguasai negara pun bukan calon dewa atau sejenis malaikat yang hanya butuh kekuasaan lalu bisa mengubah negeri ini menjadi makmur dalam sekali ucapan abrakadabra.
Bahwa ada banyak politisi yang menjanjikan abrakadabra itu adalah masalah lain, tapi bahwa ada banyak orang yang masih juga memercayai abrakadabra, itulah yang membikin miris.
Akibatnya, dalam politik kita hari ini, yang bertarung adalah strategi untuk menyiasati kenyataan berhadapan dengan ekspektasi yang tak lagi peduli pada kenyataan.
Pada pihak yang kedua ini ada kelas menengah yang melepaskan balon gas ke langit pada siang hari dan bermimpi bisa melihatnya singgah di bulan pada malam nanti. Juga ada kelas bawah yang memimpikan punya balon gas untuk dilepaskan agar bisa singgah di bulan.
Kelas menengah itu, tentu saja, tidak akan pernah menemukan balon mereka di bulan. Yang ada di bulan hari ini adalah Ma’ruf Amin, bukan balon gas mereka. Lalu mereka merasa kecewa dan, sebagian di antaranya merengek-rengek. Tidak terlalu mengherankan mengingat kelas menengah kita masih terhitung infantil.
Lain halnya dengan kelas bawahnya, mereka tentu saja tidak akan pernah punya balon gas karena program pembangunan Jokowi memberi mereka jalan dan jembatan yang tidak bisa melayang ke udara dan singgah di bulan. Walhasil, bagi sebagian mereka, pemerintahan Jokowi tidak memenuhi ekspektasi mereka untuk punya balon gas. Hingga tak terlalu mengherankan jika ada sebagian dari anak bangsa ini yang ingin mengganti Jokowi dengan para penjaja balon gas.
Seperti itulah kenyataan (politik) kita hari ini. Pertarungan antara mereka yang hendak menguasai negara dengan mereka yang sedang menyiasati langkah agar tetap bisa mengendalikan negara, membutuhkan langkah taktis dan strategis yang mesti bisa menyiasati kenyataan.
Di hadapan para pihak yang sedang bersaing ini, berdiri kelompok-kelompok dari kedua kelas kita, yang seolah tidak terlalu peduli dengan kenyataan. Tak ada yang salah dengan mimpi mereka untuk melihat balon mereka singgah di bulan. Toh mereka bisa membeli balon dan melepaskannya.
Itu masih jauh lebih baik dari kenyataan rakyat hari ini yang tengah dijanjikan balon agar bisa mereka terbangkan ke bulan. Persoalan dengan para politisi kita hari ini adalah, mereka menyembunyikan informasi dari rakyat bahwa yang mereka butuhkan bukan balon tapi kemakmuran atau, dalam bahasa yang lebih sosialistis, kesejahteraan.
Kemakmuran adalah Anda yang singgah di bulan, bukan hanya balon Anda. Sebagai mimpi, itu lebih terdengar bombastis daripada mimpi kelas menengah kita hari ini. Tapi, jika kita tahu bahwa itu adalah mimpi yang layak, kita juga tahu bahwa upaya untuk singgah di bulan adalah apa yang sekarang harus kita lakoni.
Hanya saja, untuk mewujudkan mimpi itu, kita harus tetap lekat berpijak pada kenyataan. Dan dalam kenyataannya, mewujudkan mimpi, apapun mimpi itu, tidak semudah dan sesederhana melepaskan balon gas agar terbang ke langit.
Sedemikian sehingga kita harus bisa membuka mata pada kenyataan terlebih dahulu, menetapkan langkah di tataran itu, sebelum tinggal landas (untuk meminjam istilah dari ideologi Orde Baru yang kini sedang bangkit) menuju bulan.
Karenanya, kenapa kita tidak bisa melihat bahwa pilihan politik Jokowi, dalam negosiasi yang berat dengan para aktor koalisinya, untuk memilih Ma’ruf Amin adalah bagian dari upaya menyiasati kenyataan?
Kenapa tidak terpikir oleh kita bahwa kultur konservatif dan politik identitas yang kini meraja di sekitar kita membutuhkan paling tidak seorang Cicero untuk menghadapinya, jika bukannya seorang Robespierre?
Ringkasnya, kenapa tidak pernah terpikir oleh kita bahwa untuk menerbangkan rakyat ke bulan tidak semudah mimpi kelas menengah menerbangkan balon gas?
Ada belitan kenyataan politik yang membutuhkan kebajikan politik yang perlu dilakoni dengan arif untuk mengurainya. Dan politisi, Jokowi atau siapapun, bukan manusia setengah dewa dalam lakon itu.
Ada kompromi yang harus disepakati demi kemenangan yang lebih besar. Semacam membiarkan kuda terbunuh oleh musuh demi memberi jalan pada benteng untuk mengejar skakmat.
Dan ini bukan pembelaan atas pilihan Jokowi tapi pembelaan atas akal sehat dalam menghadapi kenyataan politik kita hari ini.
Anda ingin bicara soal menjinakkan kultur konservatif dan politik identitas? Kenyataan bahwa apa yang sedang terjadi saat ini adalah hasil dari suatu upaya panjang dan tak kenal lelah untuk menyebarkan kultur dan bentuk politik itu di tengah masyarakat.
Dan saat upaya itu tengah mereka lakukan, Anda ada di mana? Anda tampaknya sedang meniup balon untuk diterbangkan ke udara.
Lalu saat kultur dan bentuk politik itu menguat, Anda baru bicara soal upaya mencegahnya. Dengan apa? Dengan sekali lagi menerbangkan balon gas ke udara? Jokowi, seperti juga para politisi yang tergabung dalam partai-partai pendukungnya, terutama partai NasDem, sadar bahwa caranya bukan begitu.
Jika kultur konservatif dan politik identitas adalah musuh kita hari ini, dan jika musuh itu sudah begitu tangguh dan membahayakan (anak-anak TK yang mengenakan cadar dan membawa senjata mainan), maka cara terbaik yang bisa kita lakukan adalah menjaganya lebih dekat pada kita.
Jokowi, juga para politisi yang tergabung dalam partai-partai pendukungnya, tentu tidak akan mengatakan hal ini pada Anda karena satu dan lain alasan.
Tapi mungkin juga persoalan kita dengan kultur konservatif dan politik identitas memang tidak hanya itu. Mungkin kita tidak harus memusuhinya, bahkan mungkin keduanya sudah merupakan bagian dari kenyataan kultural dan politik bangsa ini.
Dan jika memang seperti itu kenyataannya, kenapa kita tidak berpikir untuk hidup bersamanya dalam cara yang tidak saling mengganggu? Jika bukannya saling menguntungkan.
Apapun sajalah, pilihan yang ada di hadapan Jokowi hari ini adalah mencegah lawannya berkuasa, seperti juga pilihan lawannya untuk mengganti Jokowi duduk di tampuk kekuasaan. Dan telah merupakan logika internal politik untuk merebut kemenangan.
Tidak harus dengan cara apapun, tapi jelas harus dengan cara terbaik yang mungkin dilakukan.
Dan, secara sambil lalu namun tak kurang penting, kitapun harus ingat bahwa ini bukan pertarungan antara klan Stark melawan klan Lannister atau klan Targaryen melawan klan Baratheon, seperti dalam cerita The Song of Ice and Fire. Ini adalah pertarungan demokratis antara dua kubu politik yang berasal dari klan yang sama, klan Republik Indonesia.
Artinya, jika esok nanti Jokowi tak terpilih kembali karena rakyat menentukan begitu, kita harus bisa menerimanya dengan lapang dada.
Tapi jika hari ini segenap pendukung Jokowi bekerja keras untuk memenangkan sang petahana, itu karena mereka percaya bahwa memenangkan sebuah harapan, sebentuk mimpi, adalah upaya yang hanya bisa ditempuh dengan kerja politik yang jauh lebih sulit dan penuh siasat dari sekadar menerbangkan balon gas. (*)
Manado, Agustus 2018
Discussion about this post