Dampak kemiskinan memang selalu mengejutkan! Jelang Hari Kemerdekaan RI ke 73 tahun, Wakil Gubernur Sulawesi Utara Steven Kandouw mengungkap sebuah catatan ironis dimana 60 persen pekerja seks komersial di daerah Papua berasal dari Sulut. “Selain sebagai korban perdagangan manusia, banyak pula di antaranya yang dengan sadar dan atas kemauan sendiri melakoni pekerjaan itu. Sementara keluarga dan orang tua tutup mata dengan alasan ekonomi,” ungkap Kandauw saat Rapat Koordinasi Perlindungan Wanita di Ruang F.J Tumbelaka, Kantor Gubernur Sulut, Selasa (14/8/18).
Leonardo Axsel Galatang punya kredo: “Kemiskinan adalah hartaku”. Singkatnya, karya-karya susastra – terutama puisi dan drama—salah satu sastrawan terkemuka Sulawesi Utara ini lebih banyak bercerita tentang realitas kemiskinan di tengah masyarakatnya. Kredo itu menjadi semacam isyarat seakan-akan pekatnya warna kemiskinan yang melilit bangsa Indonesia selang 73 tahun menyebabkan makna kemerdekaan sulit didefinisikan.
Beberapa petani kelapa di Minahasa kepada BARTA1.COM belum lama, mendefinisikan kemerdekaan adalah ketika harga kopra saat ini bisa naik dari Rp 4.000 per kilogram, agar mereka bisa menikmati kesejahteraan dari hasil olahan perkebunannya.
Lantas bagaimana definisi kemerdekaan dari 29.500 KK yang terusir dari lokasi pemukiman di pesisir Manado, sebagaimana hasil penelitian Pusat Data dan Informasi Kiara (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) akhir tahun 2016, sejak program pengembangan dan pembangunan wilayah pantai Manado sebagai Water Front City ditajah pada 1990-an di atas area reklamasi seluas 150 hektaritu? Bukankah: kaum pemilik capital diuntungkan, sedangkan puluhan ribu nelayan dibuntungkan?
Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) di awal tahun 2018 boleh sedikit menghiduriang karena tingkat kemiskinan di Sulut berada pada angka 7,9 % menjadikan Sulut sebagai daerah dengan tingkat kemiskinan terendah di Pulau Sulawesi. Bahkan angka ini jauh lebih rendah dari rata-rata nasional sebesar 10,12 %. Namun Data Badan Pusat Statistik Sulawesi Utara menyebutkan garis kemiskinan di Sulut per Maret 2018 sebesar 344 418 dari jumlah penduduk2 461 028 jiwa.
Kabupaten Kepulauan Sitaro juga punya cerita lain. Kelimpahan sumber daya alam tak berarti kemakmuran di sana. Di kabupaten berpenduduk 66.958 jiwa ini, rumah-rumah penduduk yang berdiri di dinding gunung berapi Karangetang, tampak bagai kotak bisu mengisyaratkan sisi muram kehidupan. Kendati jauh di bawah terhampar pemandang ironis, beludru hijau pohon-pohon pala yang subur. Lalu, laut biru diselingi pulau-pulau kabupaten Sitaro yang tampak indah.
Harga pala telah lama anjlok. Ada 6.735 orang benar-benar hidup di bawah garis kemiskinan (Data PKH Sitaro). Dalam 10 tahun terakhir menurut Statistik Kabupaten Sitaro angka kemiskinan rata-rata masih bertengger di atas 11 persen.
Ada cerita pada Februari 1953 saat Presiden Soekarno berkunjung pertama kali ke Siau. Sang Proklamator ini menjuluki kepulauan itu sebagai negeri ringgit. Pada masa itu bagi Bung Karno, Siau adalah salah satu barometer kemakmuran Indonesia karena limpahan kekayaan alam, terutama keunggulan komoditas pala yang menjadi sumber peruntungan bagi masyarakat di sana.
Namun Agustus 2018 cerita lama itu jauh berbalik arah, harga pala Siau bertengger di angka terendah antara Rp. 52.000. – Rp. 55.000. per kilogram (kg), fuli Rp. 132.000 per kg. Harga itu jauh terpaut dengan harga ideal pala Indonesia Rp 75.000 – Rp 85.000 per kg, fuli berkisar Rp 180.000 – Rp 200.000 per kg.
Di Sitaro banyak kampung terpencil dan masih terabaikan. Aksesibilitas yang buruk, sanitasi, hajat hidup masyarakat, dan keadaan ekonomi yang membutuhkan sentuhan yang sungguh-sungguh dari pemerintah kabupaten kepulauan ini.
Kendati belum terpilih dalam Pilkada Kabupaten Kepulauan Sitaro pada 27 Juni 2018 lalu, Kandidat besutan Partai Golkar Alfrets Ronald Takarendehang SE Ak mengatakan tantangan para pemimpin masa kini adalah persoalan kemiskinan. Sebab, kata dia, dari data sejumlah lembaga penelitian diantaranya Oxfam dan INFID, dimana kekayaan 4 orang terkaya Indonesia sama dengan gabungan kekayaan 40 persen atau 100 juta penduduk termiskin Indonesia.
“Sitaro negeri yang indah. Dan kaya dengan sumber daya alam. Sayangnya, potensi pembangunan itu tak tergarap untuk mensejahterakan rakyat,” keluhnya.
Merenungi Kemiskinan
Kepala BPS Suhariyanto dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta pada Senin (16/7/2018) mengatakan persentase kemiskinan di Indonesia pada Maret 2018 adalah 9,82 persen.
Berdasarkan data yang diperoleh BPS, penurunan kemiskinan hampir terjadi di seluruh pulau di Indonesia. Apabila dirinci lebih lanjut, penduduk miskin paling banyak masih terdapat di Pulau Jawa dengan jumlah 13,34 juta jiwa (8,94 persen).
Sementara di Pulau Sumatera ada 5,98 juta jiwa (10,39 persen), Pulau Sulawesi ada 2,06 juta jiwa (10,64 persen), Pulau Bali dan Nusa Tenggara ada 2,05 juta jiwa (14,02 persen), Pulau Maluku dan Papua ada 1,53 juta jiwa (21,20 persen), dan di Pulau Kalimantan ada 980 ribu jiwa (6,09 persen).
BPS juga menemukan bahwa disparitas kemiskinan antara masyarakat di perkotaan dan pedesaan masih tinggi. Pada Maret 2018, persentase penduduk miskin di kota ada 7,02 persen, sementara yang ada di pedesaan besarannya hampir dua kali lipatnya, yakni 13,20 persen.
“Kemiskinan merupakan problematika kemanusiaan yang telah mendunia dan hingga kini masih menjadi isu sentral di belahan bumi manapun. Kemiskinan adalah suatu keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan,” tulis Syahrati, S.HI MSi, Dosen Institut Agama Islam (IAI) Al-Aziziyah Samalanga, Bireuen.
Dalam artikelnya di situs serambinews, Syahrati mengatakan kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan juga disebabkan oleh ketidakmampuan mengakses sumber-sumber permodalan, juga karena infrastruktur yang belum mendukung untuk dimanfaatkan masyarakat memperbaiki kehidupannya. Selain itu karena SDM, SDA, sistem, dan juga tidak terlepas dari sosok pemimpin. Janji-janji manis masa kampanye untuk megentaskan kemiskinan, hanyalah tinggal janji yang tak pernah ditepati.
Kemiskinan kata dia, harus diakui memang terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia, bahkan hampir seluruh energi dihabiskan hanya untuk mengurus persoalan kemiskinan. Pertanyaannya, mengapa masalah kemiskinan seakantak pernah selesai, sehingga rasanya tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan?
Kemiskinan lanjutnya, telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus perpindahan dari desa ke kota dengan tujuan memperbaiki kehidupan, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas.
Di usia 73 tahun, kemerdekaan bangsa Indonesia rasanya memang belum bisa dirasakan oleh semua pihak. “Masalah kemiskinan satu bukti nyata bahwa kita belum sepenuhnya merdeka,” simpul budayawan, Amato Assagaf. (*)
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post