Betapa sulitnya menghentikan pengrusakan lingkungan. Tanah yang digerus, pohon yang ditebang, politik perekonomian global yang mengendali pengambil-alihan sumber daya alam tanpa henti, perlahan tapi niscaya telah mencipta ketidakseimbangan antara lingkungan dan makhluk yang hidup di dalamnya.
Misi penyelamatan lingkungan tak hanya sekedar lewat perubahan regulasi. Nilai-nilai kearifan budaya harus terus diingat, seperti halnya falsafah Sasahara dan Sasalili milik bangsa Nusa Utara, yang mengajak manusia untuk mau berdamai dengan alam.
Ada pemahaman bahwa regulasi tentang lingkungan tidak berkait sama sekali dengan kearifan lokal. Percaya atau tidak —sering regulasi lingkungan memang tidak memihak alam itu sendiri. Aturan yang diciptakan manusia diintervensi dengan keinginan menguasai. Kearifan Sasahara dan Sasalili menentang itu semua. Esensi filosofis milik orang Sangihe dan Talaud di bentang pulau-pulau Nusa Utara ini cuma punya niat untuk meminta manusia dan alamnya hidup berdampingan.
Pelaku budaya cum penyair Iverdixon Tinungki dalam wawancara beberapa waktu lalu menyebut Sasahara dan Sasalili adalah dua kultur besar yang menjadi falsafah hidup secara umum orang Sangihe dan Talaud. Sasahara adalah budaya laut, sedangkan Sasalili bentuk budaya darat atau pulau.
“Budaya laut dan daratan ini diturun-temurunkan lintas generasi dalam bentuk sastra puisi atau sasambo dan kisah-kisah legenda lewat tuturan dari orang tua ke anak, anak ke cucu dan seterusnya, orang Nusa Utara berpegang teguh pada budaya Sasahara dan Sasalili,” cetus Iver, sapaan akrab lelaki yang juga jurnalis ini.
Rakyat enam kerajaan besar di Nusa Utara masa silam menjadikan Sasahara dan Sasalili sebagai acuan hidup mereka. Ini semula sikap hidup yang membentuk budaya. Sasahara dan Sasalili secara filosofis mengatur prinsip-prinsip sosial, perekonomian, politik, namun paling terutama adalah hubungan dengan alam.
“Sasahara memiliki etika-etika yang menentukan bagaimana manusia bersikap, seperti halnya untuk menangkap ikan sebagai mata pencaharian utama orang Nusa Utara ada maniti atau ba jubi yang dianggap paling tepat karena dengan cara itu tidak banyak ikan yang ditangkap, hanya sasarannya saja. Kendati bertentangan dengan prinsip perekonomian tapi nelayan diajarkan tidak serakah dan kemudian merusak ekosistem dalam laut,” jelas Iver.
Juga ada larangan untuk tidak mencuci belanga di pantai langsung dengan air laut. Teorinya, arang bekas pembakaran dari belanga tentu bisa merusak ekosistem karang dan sekitarnya. Dalam tutur Sasalili, mitos berbentuk larangan yang menjadi kepercayaan ikut mengajak manusia mengenal alam. Di masa kini hal seperti itu sering dianggap tahayul, padahal ada unsur rasionalnya.
Di Siau masyarakatnya menggali tanah dan menimbun kulit pala. Limbah ini tidak dibakar, seperti pemahaman kebanyakan, sebab dikhawatirkan akan menimbulkan kebakaran hutan bila dibiarkan. Limbah alami ini pada akhirnya menjadi kompos yang menggemburkan tanah, apalagi kala bercampur dengan abu vulkanik Gunung Karangetang.
Orang Sangihe juga menelungkupkan batok kelapa bila sudah diminum airnya. Batok kelapa yang dibiarkan menengadah ke atas, menurut Iver, dianggap poso dan pelakunya diyakini akan sakit. Padahal rasionalnya, bila batok kelapa menampung air hujan tentu menjadi wadah perkembangbiakkan jentik nyamuk. Bila terus dibiarkan, tentu saja yang di sekitar akan terserang demam akibat gigitan nyamuk.
Kearifan lokal lainnya adalah aturan menebang pohon untuk pembukaan lahan baru. Dalam langgam budaya Nusa Utara, ada tutur yang harus diucap pada pohon yang akan ditebang. Setiap pohon diyakini ada tuan atau memiliki kehidupannya sendiri. Menurut Iverdixon dengan bertutur maka manusia meminta izin pada alam untuk mengambil hasilnya. “Tak setiap saat orang Sangihe bisa menebang pohon, ini cuma bisa dilakukan pada masa-masa tertentu terutama saat bulan mati, bila menebang tapi tidak jelas peruntukkannya juga diyakini pelaku akan sakit,” terang dia.
Orang Sangihe memperkirakan pada bulan mati hujan akan turun, maka pohon yang ditebang harus diganti dengan tanaman yang baru. Saat hujan tanaman akan tumbuh lebih subur. Berbeda bila menebang pada musim kemarau maka tanaman pengganti tidak cepat bertumbuh, sementara pembukaan lahan baru terus dilakukan. Ini sama artinya melakukan pengrusakan lingkungan, mengambil tanpa memperhitungkan imbasnya pada alam. “Sedangkan untuk membangun rumah, tidak menggunakan batu bata karena itu artinya harus menggerus tanah. Masyarakat mencampur kapur dari karang dan kerikil. Penambangan karang dan pembukaan lahan diatur secara adat dan ada semacam dewan adat yang biasanya menunjuk mana yang bisa diambil atau ditebang dan mana yang tidak boleh,” tutur Iver.
Pemberian Tuhan
Dalam kultur Sasahara dan Sasalili, bagi orang Nanusa —kawasan gugus-gugus pulau di Talaud— menghormati lingkungan terakomodasi dalam bentuk kepasrahan bahwa alam adalah pemberian Sang Maha Pencipta. Kasenangan Rumewo, pelaku budaya dari Karatung Nanusa, bercerita soal peristiwa tsunami bertahun-tahun silam yang menghantam kepulauan mereka.
“Pasca-tsunami tak banyak yang tersisa. Pengungsi kemudian kembali ke kampungnya untuk melakukan penataan kembali baik tempat tinggal hingga lahan perkebunan yang sudah hancur,” sebut tokoh senior yang sering menjadi pembicara dalam acara-acara gelaran Taman Budaya Provinsi Sulut.
Nalar orang Nanusa bahwa alam hanyalah titipan diimplementasikan dalam penataan kembali ruang hidup mereka. Seingat Kasenangan, masa itu pembagian lahan tinggal dilakukan dengan bijak. Warga menghormati batas tanah satu dengan yang lain, tidak saling merebut. Saat menyadari bahwa tanah adalah bagian dari alam, maka tentunya bagian itu harus dihormati agar alam tidak lagi murka dengan air pasangnya.
“Begitu juga ketika pembukaan lahan dan pembagiannya, masyarakat Karakatung tidak saling klaim itu kita punya, di sana ngana punya, tapi semua merespon peristiwa alam dengan ini bentuk kepasrahan bahwa apa yang dipercayakan Tuhan untuk dikelola manusia harus diperlakukan dengan baik.”
Proses penanaman kembali pohoh-pohon yang rusak adalah tanggung jawab seluruh elemen masyarakat. Tidak heran kata Kasenangan, kendati kala itu umurnya masih relatif belia namun dia ikut bekerja menanam pohon.
“Semua melakukan itu, tua-muda, budaya orang Talaud untuk menghormati alam yang hidup berdampingan dengan manusia telah bersemayam dalam diri sejak kami kecil,” cetusnya.
Falsafah Sasahara dan Sasalili terus diingat dan dipraktikkan, kendati di masa kini orang Sangihe dan Talaud telah berdiaspora ke seluruh penjuru. Adalah tradisi bertutur dan menyanyi atau mebio yang menjadi keharusan bagi warga Nusa Utara untuk terus mengingat kearifan budayanya.
“Mebio dilakukan turun-temurun, dengan begini di mana saja orang Sangihe mereka tidak lupa pada budayanya, terutama menyangkut nilai-nilai hidup yang terkandung dalam falsafah Sasahara dan Sasalili,” kata Iverdixon.
Tradisi mebio mengajak orang Nusa Utara berpegang tegung pada budayanya, seperti syair berikut;
dumalreng su apeng nanging manendeng banuang (berjalan di pantai purnama memikul budaya daerahnya)
banuang datulangi solre tamasole (karena budaya itu milik Tuhan) buntuang takumakibang, iamang ianang magenda (dicabut tak akan tercerabut, dalam lapar pun tak akan goyah)
putung suhiwang duata langi (ayah dan anak mengambil semangat di pangkuan Tuhan pemilik semesta alam).
Sasambo itu lanjut Iver diartikan, berjalan ke manapun orang Nusa Utara tetap hidup dalam budaya, dalam keadaan apa pun tidak mudah goyah. Dalam kemiskinan tidak tergoda melakukan hal yang jahat, karena seluruh keturunan Nusa Utara hidup dalam budaya yang dipandang sebagai karunia Tuhan.
Sedangkan diktum menyoal lingkungan dalam ranah mebio, ditutur seperti ini; ketang manu mengkilo sudah dorokang. Ini adalah sarkasme yang berarti manusia tidak sama seperti ayam yang buang hajat di tempat tidurnya.
Lewat tuturan budaya yang turun-temurun itu, orang Nusa Utara dalam setiap generasi yang kini semakin berdiaspora terus memelihara kecintaan dan sikap hidup berdampingan dengan alam. Tuturan yang disampaikan sejak kanak pun menjadikan masyarakat Sangihe dan Talaud jadi paham bagaimana memperlakukan lingkungan, kendati itu dengan cara-cara yang sederhana.
Berada di kawasan tinggal etnis Nusa Utara di Manado, jelas akan terlihat bahwa kebersihan lingkungan adalah sikap hidup keseharian. Lingkungan mereka kelihatan lebih bersih dan asri, lebih nyaman untuk ditinggali. Bagaimana harusnya menangani sampah adalah kearifan yang ditanamkan pada anak Sangihe-Talaud sejak kecil.
Karakter cinta lingkungan sejak dini itu, setidaknya ditegaskan dalam teori kepribadian yang dicetuskan Dr Gardner Murphy (1895-1979). Pakar yang mengintegrasikan berbagai bidang ilmu itu menganggap masa kanak-kanak sebagai masa yang sangat menentukan dalam perkembangan seseorang. Kanalisasi atau proses yang memberi jalan tersalurnya motif atau konsentrasi energi dalam tingkah laku, pada masa kanak-kanak tetap berpengaruh untuk masa-masa selanjutnya.
Sementara filosofi dalam Sasahara dan Sasalili sejatinya bisa menjadi pengisi ruang kosong yang isinya telah hilang saat manusia lupa bagaimana seharusnya memperlakukan alam. Manusia sudah lupa, bahwa mengambil terlalu banyak akan kehilangan banyak pula. (*)
Penulis: Ady Putong
Discussion about this post