AJARI AKU MENARI ZAPIN
ini zaman telah jauh dari abad tigabelas
namun senyummu masih beraroma parsi
memagut mataku dengan ayun lengan
dan langkah mengiramakan sebentuk harap
bila kau sedia ajariaku menari zapin
meski damai dawai pada gambus
hampir putus
dan riuh ketukan marwas
bisa saja terampas
biarku dekap kompang itu sebelah tangan
sebelah lagi untuk membunyikan pagi
dengan rentak biasa
namun kau memintar entak kencet
sebagai jedah dari segala risaumu
perangkap wangimu tak terhindarkan, selalu
mendesiskan angan dadaku penuh deru
sedang angin tak henti kerlipkan kerudungmu
andai bisa ku selipkan mimpi di situ
tinggal hatiku leleuasa menggambar kenangan
pada sudut alis dan lesung pipimu
lalu esok kita buat lagi rentak sepulih
untuk memulai menulis kisah baru
2017
KICAU SERINDIT LENYAPKAN KELAM
senja ini tiba-tiba ingin kuselipkan namamu
pada bisu kalam dan diamnya bebatuan
ketika deru kendara sibuk menguyupi
jalan datuk kaya dengan aroma kelapa bakar
senja kemarin bayang gunung ranai terbenam
di telaga asin pelabuhan penagi yang terasing
lalu kicau serindit lenyapkan kelam
sendiri kusaksikan bulan bercermin di muara
senja esokkan kugenggam buih-buih
dengan peluh sendiri
di tepi pulau tujuh
di antara daratan dituju
segera lewati segala keterpojokan semu
dibendung buatan
di sudut selat lampa
ketenangan bersemayam pada daun-daun
akan terus disembunyikan amarah sendiri
danbiarkan ranting-ranting mati di ranggas senyumu
tumbuh kembali
bahkan di belukar penghianatan sekalipun
2017
SEPENGGAL DESEMBER
kita telah menulisi laut segenap buih
dan gelombang sejauh tualang ikan-ikan
di sepenggal desember yang pualam
ada ketika kita rindu pada dentum beduk subuh
pun pagi dalam warna sendu
ada ketika ingatan dirundung siulan burung-burung
hanya terdengar kala gugus embun
masih menghinggapi gunung-gunung
ada ketika kita bertanya
seberapa tebal tameng tercipta
dari aroma secangkir teh yang kau seduh
mampu menangkal hujam kenangan
bahkan setia menyimpan luka
ada ketika gerimis menjadi lancip dan di situ
kita tak bisa berlari dari senyap air mata
sebab cericita nak-anak ayam tak hanya
senandungkan keriangan
2016
KAU
kau kah itu, seseorang yang
memintaku memancing angin
dari rumah tinggi mimpiku siang tadi
kaulah itu, seseorang yang
bertanya berapa harga kicauan burung-burung
dalam sangkar pagi yang makin terhimpit
di sela-sela ketiak kota
kau yah itu, seseorang yang
berharap sebentar lagi gerimis bernyanyi
dan spectrum cahaya segera memancar
bagai kemilau fajar menerpa dedaunan
kau nah itu, seseorang yang
menggeliat kanangan
seperti tetes-tetes air terpantul dari dasar imaji
kau ah itu, dia yang
berkata sepertinya tak perlu lagi kita bertanya
di rimbunan mana para penyair
menemukan puisi bersembunyi
2016
TOROTAKON
dari tepi telaga buyat aku kembali menjala senyap
di bibirmu kabut pagi kian pucat
puncakmu tegak menaung
butiran padi dirundung
mendung
peluh petani risaukan intaian burung-burung
ketika musim panen menjelma ritual gigit jari
lambaian janur melemah di pucuk lidi
seperti denyut senja di rumah-rumah sepi
buruh panjat kelapa
membeli
santan kemasan di warung tetangga
membeli
keriangan menguap dari meja makan mereka
sekawanan mujair mendaulatku memahat
sejarahmu di kulit mafafa yang muram
aku mulai memulung helai-helai gabah
menancapkannya di pori-pori peradaban
di kakimu para penambang
menggali maut dari liang nafasnya sendiri
para penunjang kadang tumbang
dan tak bisa lari
aku yakin segenap kisah pernah termaktub
di pinggangmu
kelak menyembulkan namamu pada deret
kemegahan ambang, soputan, karangetang, dan klabat
agar kita tak lagi sibuk menakar
berapa harga sebuah kesetiaan
2016
SERPIHAN ANGAN DI KAFE OASIS
di sini senja tak hanya mendesis
ketika aku mulai mencatat setiap
getar pula getir mencair di pucuk irama
pada denting dawai cicin
pada ceruk parau suara enda
pada dentum tabuhan perkusi galang
pada cabikan lincah jemari chef yogi
pada sengalnafasina, aban, randi dan titing
panggung dua setengah kali dua setengah meter
dengan lantai dari serpihan angan
menjadi oase setia menampung selaksa imaji
tiang penyangganya dari potongan totara
selalu membara semburkan aksara
berulang-ulang panggung ini
dihentak disentak uwin
namun kutahu penyair berkalung taring
bersarung hening itu
tak punya niat mencederai malam
diahanya ingin menebarkan bahagia
padepokan amato sudah bertandang
hanya membawa kentongan bukan pedang
menyesap kopi hitam berabad-abad hitamnya
karena di tebal kacamatanya terselip kisah
pun luka dipikulnya kemana-mana
bahkan ketika orang-orang memikul keranda
bung benny ramdani sang senator juga
pernah singgah dan mencicipi empuknya
kursi panggung tanpa bantal
tak risaukan microfon sesekali berulah
tak risih menyanyikan kisah wakil rakyat
ambing pria merdeka tanpa logika
tak merasa perlu naik ke panggung
cukup di depan pintu
sebatang rokok segelas kopi
agar dunia tetap begitu
lucu
di kafe ini aku yakin
serpihan angan kan terus membuncah
hingga lekat malam berbuah pelangi
2016
*) Jamal Rahman Iroth. Bila fotografi melukis dengan cahaya, maka puisi melukis dengan kata-kata. Dua kemampuan ini dimiliki Jamal sekaligus. Di Sulawesi Utara, ia dikenal sebagai fotografer professional sekaligus penyair produktif. Karya fotografinya diterbitkan dalam sejumlah buku, majalah, dan media massalainnya, demikianpuisinya. Dalam proses berkarya, dua talenta dimilikinya ini saling mempengaruhi, saling berartikulasi. Lewat karya fotografinya kita disuguhkan zona instingtif yang begitu intim dengan perasaan sunyi, kehampaan, kerinduan, dan gelombang hasrat libidinal, juga kegembiraan.
Lewat puisinya kita diajak menjelajahi wilayah fotografi berupa landscape, taferil, komposi, warna, dan cahaya. Jamal berpuisi dengan merayakan pengalaman personalnya di area yang dipenuhi energipsikis, yang menurut Carl Gustav Jung, lebih banyak disebabkan adanya suasana ketidakpuasan emosional, sekaligus meringkus pembaca ke dalam pengalamannya sendiri, dan berhasil menampilkan ekspresiartistik yang menandai keberadaban. Dengan berpuisi ia menjelajahi-diri. Menyelami diri sendiri untuk mencari bahasanya sendiri dan realitasnya sendiri.
Dengan kehadiran bahasa dan realitasn yaitu, ia memaknai hidupnya sendiri.
Penyair yang rajin manggung baca puisi kemana-mana ini, bermukim di Bolaang MongondowTimur (Boltim), Sulawesi Utara. Lahir di Minahasa Utara, 9 Desember 1979. Ayahnya dari Gorontalo, dan IbuMinahasa. Jamal –sapaan akrabnya—anak bungsu dari 4 bersaudara. Lulusan Madrasah Aliyah Negeri Manado, pernah kuliah 4 Semester di STAIN Manado, Jurusan Tarbiyah (1998). Selain menulis puisi, ia juga menyutradarai teaterdan film. Pernah bekerja sebagai jurnalis radio dan koran harian di Manado. Kini sebagai Ketua KPU Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim).
Karya-karya puisinya yang telah diterbitkan: Exodus ke Tanah Harapan (Foto dan Puisi), penerbit Walhi 2006. Buyat, Hari terus Berdenyut (Foto dan Puisi), Banana Publisher 2008. Antologi bersama “Metamorfosis”, Penerbit Teras Budaya, 2015. Antologi bersama “Palagan Sastra”, Penerbit Teras Budaya, 2016. Kumpulan puisi tunggal “Torotakon”, Teras Budaya, 2017. Senja Melandai di Limboto, Teras Budaya 2017. Natuna, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017.
Selain menulis, penyair yang juga dikenal sebagai penggiat Ruma Sastra Boltim ini aktif dalam berbagai pementasan dan pembacaan puisi, di antaranya: Peserta Temu Sastrawan Nasional; Bale Sastra Jakarta 2012. Bintang Tamu Baca Puisi pada Pembukaan Kantor Penghubung Komisi Yudisial Sulawesi Utara 2014. Bintang Tamu Baca Puisi pada Festival Maleo, di Manado Town Square 2015. Penampil utama dalam Festival Konservasi, BKSDA Sulut, di Mega Mall Manado, 2016. Baca Puisi pada HUT NU di Bolaang Mongondow Timur Januari 2017. Baca Puisi di HUT ke 7, Spot Photographers Indonesia 2017. Baca Puisi di Balai BahasaSulut. Baca Puisi dibeberapa kota di Provinsi Gorontalo. Sebagai Duta Sastra dalam program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ke Natuna.
Penulis: IverdixonTinungki
Discussion about this post