Manado, Barta1.com – Reformasi 1998 membawa harapan bahwa dominasi militer dalam kehidupan sipil dapat terkurangi, yang diperkuat dalam UU (Undang – undang ) TNI (Tentara Nasional Indonesia) no. 34 tahun 2004. Di mana ada pembatasan peran TNI dalam bidang pertahanan serta menghapus peran mereka dalam politik.

Namun, kenyataannya saat ini praktik Dwifungsi ABRI masih tetap berlangsung dalam bentuk yang terselubung. Di mana adanya, revisi UU TNI no. 34 tahun 2004 yang justru menghapus batasan – batasan tersebut sehingga membuka peluang untuk mencampuri kehidupan sipil dan melegalkan praktik – praktik dwifungsi ABRI.

Dari hal di atas ini, puluhan massa aksi yang tergabung dalam Sulut Bergerak menilai terjadinya cacat formil pada penyusunan revisi UU TNI ini.
Pertama, proses yang dilewati tidak sesuai dengan rangkaian standar pembentukan RUU.
UU TNI pada awalnya tidak termasuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas), tetapi karena terdapat surat Presiden RI (Supres) Nomor R12/Pres/02/2025 menjadi terdaftar dalam Prolegnas prioritas 2025 dan dikebut tanpa alasan yang jelas. Hal ini bertentangan dengan prinsip perencanaan perundang – undangan yang harus dilakukan secara terencana, terpadu, dan sistematis.
Kedua, tidak melibatkan meaningful participation
Proses perumusan RUU tidak melibatkan partisipasi yang berarti dari seluruh elemen masyarakat. Pendapat dan partisipasi rakyat jelas diabaikan dengan dilakukannya proses pembahasan diluar gedung DPR (tertutup dalam hotel) tanpa alasan yang jelas. Kritik dari berbagai elemen masyarakat yang menyoroti legislasi pun diabaikan. Hal ini dapat dilihat dari adanya supers terkait pembahasan RUU TNI – Polri.
Kemudian berkaitan dengan dampak bagi demokrasi dan supremasi sipil dari sebuah selebaran bertuliskan “Apa Yang Salah Dengan RUU TNI ?.”
Dampaknya itu adalah, sebagai berikut :
Meningkatnya represifltas terhadap masyarakat.
Masyarakat memiliki hak untuk mengkritik pemerintah. Namun, apabila militer dimerdekakan untuk melakukan fungsi keamanan negara, ada potensi bahwa fungsi militer tersebut dapat digunakan sebagai langkah represif melawan masyarakat dengan dalil “keamanan.”
Selanjutnya, ada militerisasi birokrasi.Militer dapat menjadi aktor utama dalam pengambilan keputusan. Di mana dapat menyebabkan tergesernya peran teknokrat dan aparatur sipil negara. Hal ini dapat menghambat profesionalisme dan akuntabilitas.
Berikutnya penyalahgunaan kekuasaan.
Presiden memberikan kewenangan penuh dalam mengarahkan dan mengawasi kekuatan militer. Namun, revisi UU TNI 2024 berpotensi melemahkan prinsip ini, dengan menghapus kewenangan Presiden dalam pengarahan dan penggunaan kekuatan TNI sehingga dapat membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan.
Kekecewaan terlihat pada massa aksi Sulut bergerak, ketika mengetahui revisi RUU TNI sudah diketuk oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani pada Paripurna tadi pagi, Kamis (20/03/2025), tepatnya pukul 9.00 WIB (Waktu Indonesia Barat).
Orator Sulut Bergerak, Brayen Diadon, pada aksinya meminta pimpinan dan anggota DPRD Provinsi Sulut untuk segera membuat rekomendasi ke DPR RI, mendorong pencabutan kembali RUU TNI yang sudah diketuk.
“Keputusan ini akan berdampak pada demokrasi, dan mungkin akan selalu terjadi tindakan kriminalisasi,” tegasnya di samping api yang dinyalakan oleh massa aksi.
Bahkan ada beberapa massa aksi menyebut, bahwa di dalam gedung DPRD Provinsi Sulut tidak ada anggotanya, hanya ada Sekwan, mengingat semua katanya mengikuti reses.
“Di DPRD Provinsi Sulut ini ada 4 Komisi, kemudian tidak ada satu pun di dalam, semua mengikuti reses. Kami datang mau menyampaikan aspirasi, namun di dalam hanya sekwan, penghianatan ini,” tegas seorang orator sembari menyebut blokade saja jalan di depan DPRD Provinsi Sulut ini.
Sesudah memblokade jalan, Taufik Poli, salah satu orator mengarahkan massa aksi untuk masuk ke Gedung DPRD Provinsi Sulut, guna menduduki ruang paripurna.
Saat massa aksi mau memaksa masuk, terjadi saling dorong dengan pihak kepolisian pada pintu utama menuju Ruang Paripurna. Tak kunjung diizinkan masuk, akhirnya para demonstran mencoba memaksa masuk di 2 pintu masuk yang berbeda, ada yang mengikuti bagian bawah pintu depan, sebagiannya masuk melalui samping, sehingga terlihat beberapa fasilitas terjadi kerusakan.
Ketika menguasai ruang resepsionis sekaligus tunggu itu, terlihat massa aksi mulai menempelkan berbagai selebaran secara nasional bertuliskan “Kembalikan Militer ke Barak. Tolak RUU TNI”, kemudian terlihat gambar Presiden Soeharto dan Prabowo berdekatan dengan tulisan “Siapapun yang melupakan kediktatoran Orde Baru akan dikutuk kediktatoran Orde yang paling baru.”
Kemudian dilengkapi dengan tulisan “kayak kurang kerjaan aja, ngambil kerjaan double job.”(*)Peliput: Meikel Pontolondo
Discussion about this post