Orang Minahasa pada umumnya mengenal Tinutuan sebagai kuliner sangat khas berbahan beras, umbi-umbian dan aneka macam sayuran. Bagi sub etnis Tonsawang, makanan bergizi itu bernama Mopulut. Bahannya kurang lebih sama, namun nilai filosofinya bermakna dalam untuk masyarakat yang menginginkan kehidupan aman, damai dan sejahtera di tengah persatuan tanpa perbedaan.
Semangat penyatuan memang telah terbawa pada keturunan orang Minahasa semenjak demokrasi berproses pada musyawarah di Watu Pinawetengan. Tak hanya menyatukan visi untuk menjaga tanahnya dari berbagai ancaman, semangat itu pula mengalir dalam berbagai sendi kehidupan.
Keinginan sub etnis Tonsawang untuk hidup bersama sembari menjaga Kamtibmas kurang lebih tercermin dari Mopulut. Laiknya Tinutuan, Mopulut juga diolah dari daun pepaya, daun gedi, kangkung, sayur pakis dan labu. Buburnya dari tepung sagu ditambah minyak. Sedangkan bumbunya batang bawang, daun kunyit dan kemangi. Asupan gizi kedua kuliner ini bernilai tinggi.
Filosofinya adalah keragaman di tengah masyarakat, sama halnya dengan bermacam bahan sayuran yang dicampur menjadi satu, merupakan hal krusial untuk menjalin tali persaudaraan. Semua bahan bernilai sama, membentuk rasa yang nikmat di lidah dan mengeyangkan. Artinya sub etnis Tonsawang tidak memandang perbedaan, semuanya memiliki hak yang dalam menjalani kehidupan. Dan semua bisa berkontribusi untuk saling membangun, memanusiakan manusia lain.
Sub etnis Tonsawang tersebar di Kabupaten Minahasa Tenggara. Lokasi mukimnya secara spesifik berada di desa-desa Kecamatan Tombatu Raya, seperti Desa Kali, Betelen, Silian, Kuyanga, Ranoketang, Esandom, Mundung, Molompar, Wonarangian, Lobu dan Ranoketang. Klan keluarga terbesar dari Tonsawang bernama marga Kindangen, Gosal, Rondonuwu, Maengel dan Munaiseche. Dalam membangun peradaban di masa kini, sub etnis Tonsawang juga berupaya memutus semua persoalan yang rawan memicu terjadinya masalah Kamtibmas.
“Lewat tradisi dan budaya dari para ‘orang tua’ yang masih kita gunakan sampaikan sekarang adalah beribadah dengan menggunakan bahasa daerah. Penggunaan Bahasa ini biasanya dilakukan dalam minggu ke lima peribadatan di gereja. Bagi umat Kristen tata ibadah yang menggunakan bahasa daerah dan para pelayan khusus semuanya mengenakan baju adat. Sehingga dalam khotbah-pun menggunakan bahasa daerah yang didalamnya berisi wejangan-wejangan,” kata Julius Tiwow, tokoh budaya dari Tonsawang dalam wawancara beberapa waktu lalu.
Lelaki ini pernah menjadi Ketua Jemaat GMIM Imanuel Tombatu I, pernah pula menjadi anggota DPRD Kabupaten Minahasa semasa Minahasa Tenggara belum dimekarkan.
Dalam berbagai kesempatan, pemerintah bersama dengan tokoh adat dan masyarakat secara bergantian bicara soal adat dan istiadat kebiasaan positif yang bisa dikembangkan untuk menangkal semua persoalan di masyarakat yang dianggap mengganggu Kamtibmas. Dulu, hukum adat Tonsawang memaksa pelanggarnya diarak keliling kampung.
Ini tak lain supaya timbul rasa jera pada pelaku tidak lagi melanggar norma-norma sosial. Masyarakat yang melihat hal itu juga akan timbul tanda awas agar tak melakukan kesalahan yang sama. Tapi sekarang hukuman tersebut sudah tak bisa lagi diterapkan karena ada rasa sungkan.
Selain itu masyarakat percaya pada hukum positif yang dijaga oleh aparat keamanan. Tiwow melanjutkan, peran tokoh agama dan masyarakat penting dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk hidup sesuai firman dan aturan. Di sisi yang sama etos kerja atau semangat orang Tonswang untuk hidup rukun dan damai masih tinggi.
Sejumlah faktor yang bisa memicu persoalan Kamtibmas salah satunya karena gaya hidup yang tak mau bekerja. Ini bisa menimbulkan kasus percurian, kata Tiwow. Selain itu persoalan klasik seperti kejahatan yang dipicu minuman keras sering terjadi di sejumlah desa. Masalah ini juga dihadapi seantero Minahasa.
Karenanya selain nasihat dari lintas tokoh agama, tua-tua di kampung, Tiwow mengatakan peran orang tua ikut penting. “Kami selalu mengingatkan orang tua agar bisa menjalankan fungsi didikan pada anak-anaknya dengan semaksimal mungkin, jangan sampai karena kesibukan bekerja sehingga waktu untuk anak jadi terkikis.”
Di masa lalu orang Tonsawang atau Toundanouw merupakan anak suku Minahasa yang tinggal di sebelah selatan Gunung Soputan dan sekitar Danau Bulilin. Toundanouw terambil dari dua kata yakni tou yang artinya orang dan dano yang artinya air.
Dari kisah turun temurun, sub etnis Tonsawang pernah memiliki seorang Tona’as perempuan bernama Ratu Oki. Dia adalah pemimpin walak yang terkenal berani menghadapi para penjajah dari Eropa. Satu Jiwa dan semangat tolong-menolong yang kental tertanam sejak lama di kalangan sub etnis Tonsawang selanjutnya teridentifikasi pada budaya maando atau mapalus untuk membiayai perkawinan, membuat rumah hingga menyediakan perabot rumah baru atau Maramba. (**)
Editor:
Ady Putong
Discussion about this post