Dibutuhkan kekuatan se-ikhlas perspektif politik kebudayaan ala Rinny Tamuntuan untuk terus menjaga detak nadi kehidupan aneka budaya Sangihe ke masa depan–
Dalam sebuah diskusi terbatas bersama generasi muda Sangihe di Manado, belum lama, seseorang bertanya kepada saya: Apa kesan terpenting yang dapat ditangkap dalam kepemimpinan dr. Rinny Tamuntuan di Sangihe selaku pejabat Bupati selama kurang lebih 2 tahun?
Untuk menjawab pertanyaan itu saya awali dengan mengutip perspektif sastrawan Jerman Johann Wolfgang von Goethe dalam mengapresiasi kekayaan budaya dunia timur.
Goethe pernah menulis sebuah bait tentang dunia Timur: “Dort , im reinen und rechten! Will ich menslichen geschelecthen! In des ursprungs tiefe dringen” (ke sanalah, ke kesucian dan kesalehan, aku kan kembali ke asal mula ras manusia).
Namun apa yang terjadi. Ameliorasi ala Goethe tentang pandangan para peziarah Eropa yang selalu merindukan Timur dan kembali ke Timur tak serta merta mengubah konstruktivisme Timur yang terbentuk dalam perspektif alam pemikiran Eropa sebagai sebuah dunia sebagaimana digambarkan Brilman bagi Sangihe Talaud yaitu sebuah dunia yang dipenuhi penyembahan kepada hal-hal gaib, mistik bahkan kehidupan kafir.
Sebagai bagian dari belahan timur dalam kebudayan dunia, Sangihe digambarkan sebagai sebuah dunia eksotis orientalis yang dibentuk lewat cara pandang sarjana Eropa yang selama berabad-abad telah menghegemoni dunia Timur.
Edward Said dalam “Orientalisme” menyebut bagi Eropa, Timur merupakan koloni-koloni Eropa yang terbesar, terkaya, dan tertua, serta sumber peradaban, bahasa, juga saingan budaya. Bahkan dalam imaji mereka, Timur sebagai “dunia yang lain”.
Mengacu dan merefleksi lekuk sejarah masa lampau itu, saya harus menyebut mantan pejabat Bupati Sangihe, dr Rinny Tamutuan bagi saya tak sekadar “Bunda Masamper” sebagaimana gelar adat yang dianugerahkan padanya oleh masyarakat Sangihe.
Lebih Jauh dari itu, ia adalah “Bunda Kebudayaan” Sangihe Talaud!
Hanya dalam masa 2 tahun kepemimpinannya, ia berhasil mengimplementasikan strategi politik kebudayaan dengan mempatenkan sejumlah kekayaan intelektuan kumunal masyarakat Sangihe Talaud, di antaranya Masamper, musik Tagonggong, musik Oli dan aneka kekayaan budaya Sangihe lainnya lewat pencatatan di Direktorat Kekayaan Intelektual Kemenkumham.
Hal tersebut tidak dilakukan para pemimpin Sangihe sebelumnya!
Namun baru dalam kepemimpinan Rinny Tamuntuan salaku pejabat Bupati, pemerintah Sangihe punya ‘political will’ dalam memposisikan kebudayaan masyarakat Sangihe Talaud dalam peta kebudayaan nasional, bahkan peta kebudayaan dunia.
Itu sebabnya bagi saya, ia adalah gambaran pemimpin ideal era modern yang tak saja cakap dalam mengoperasikan kerja birokrasi serta pembangunan infrastruktur fisik, namun punya pemahaman yang utuh tentang pentingnya pengingklinasian suatu karya kebudayaan komunal masyarakat sebagai bagian penting dalam pembangunan yang sesungguhnya.
Karena sejatinya, sesuatu yang adilihung di Sangihe tak lain adalah keberadaan masyarakatnya yang tumbuh merayakan sekaligus mengkritisi kehidupan lewat beragam karya kebudayaannya.
Mereka memiliki apa yang disebut filsuf Hans Georg Gadamer sebagai dunia makna dari masa lalu yang selalu dapat dihadirkan kembali sebagai penuntun jalan dalam mewujudkan masa depan mereka.
Maka barangkali tidak berlebihan bila saya punya harapan lebih pada pasangan Rinny Tamuntuan-Mario Seliang, yang diusung PDI Perjuangan sebagai Calon Bupati dan Wakil Bupati Sangihe dalam Pilkada Sangihe 2024.
Kehadiran mereka dalam kontestasi politik tersebut setidaknya membersitkan harapan di mana kehidupan budaya Sangihe akan mendapatkan sinar terindahnya kembali. (*)
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post