Lahir di Larantuka, Flores Timur, tak membuat Makagiansar kehilangan kesangirannya. Menelusuri jejak dan kiprah kehidupannya, dapat dimulai dari bebera frasa ungkapan tua:
“Hundugu mapia nakatuno ĕlo
Tutumpe sarang bawĕlo
Mĕpĕtatuwo biahe
Kepetatei laharape
Sombo ndai sombo
Sombo apang daluasĕ
Daluasĕ I saluluang banua
Nakaraki pato liung winawa
Nakatowo daroa barau amang”
Sastra “Kaketau Wisara” dalam tradisi Sangihe Talaud di atas, seakan cermin bening yang memantulkan sejatinya jati diri manusia Nusa utara, sebagaimana juga tersirat dalam jejak biografi putra Tabukan, Prof. Dr. Max Makaminan Makagiansar, MA, PhD.
Di pulau Sangihe, ia dikenang secara monumental lewat sebuah patung di jalan utama agak menurun saat memasuki perkampungan Naha. Di sana kita akan bersua patung setengah badan. Tinggi patung mencapai sekitar tiga depa orang dewasa, sedangkan tinggi tembok sekitar satu depa lebih sedikit.
Pada tembok bagian depan tidak ada tulisan apa-apa. Sekadar gambaran awal pengenalan mengenai patung ini. Nanti dari jarak dekat, kita pasti dapat melihat garis-garis di raut wajah patung itu, yang kemudian diketahui bahwa inilah patung setengah badan Prof. Dr. Max Makaminan Makagiansar, MA, PhD.
Garis-garis pada raut wajah yang terukir, memancarkan simbol kewibawaan orang Sangihe. Bahwa Prof Makaginsar adalah seorang tokoh dunia, pemikir; seorang negarawan sejati di zamannya. Perhatikan juga gaya rambutnya, disisir penuh ke atas dengan sangat rapih sebagai gambaran kaum terpelajar di era dia.
Kendati kedua orang tuanya berasal dari Sangihe, Prof Makagiansar lahir di Larantuka. Ia berkarir di BPPN dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Barangkali Makagiansar adalah salah satu dari sedikit orang Sangihe yang mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri pada masa itu; mulai dari University of Virginia, Woodrow Wilson School of Foreign Affairs (USA), John Hopkins University, School of Advanced International Studies (USA), dan Harvard University, Graduate School of Arts and Sciences (USA). Bahkan merupakan satu-satunya orang Sangihe yang berkarir di United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
UNESCO berdiri sejak Perang Dunia II bergejolak. UNESCO didirikan karena keresahan pemerintah berbagai negara terhadap sistem pendidikan saat Perang Dunia II. Secara bertahap, negara demi negara bergabung dengan UNESCO demi solidaritas intelektual. Tak terkecuali Indonesia, juga ikut bergabung menjadi anggota UNESCO.
Indonesia resmi bergabung menjadi anggota UNESCO pada 27 Mei 1950. Sejak itu Indonesia memiliki misi di UNESCO dengan menempatkan duta di badan bentukan PBB yang bergerak di bidang keilmuan, pendidikan, dan kebudayaan itu.
Sejak bergabung di lembaga itu, Indonesia terlibat dalam UNESCO melalui beberapa program yang dilaksanakan. Dikutip dari sejumlah sumber, Indonesia ingin mencapai hal-hal beriktu ini di UNESCO:
(1) Meningkatkan citra positif Indonesia di UNESCO. Program ini dilaksanakan dengan menyelenggarakan beberapa kegiatan, di antaranya: (a) Menggiatkan partisipasi Indonesia dalam pertemuan dan kegiatan UNESCO; (b) Menyebarkan informasi atas kegiatan UNESCO kepada pejabat sekaligus instansi di Indonesia; (c) Merekomendasikan terkait program dan kegiatan UNESCO terhadap pemangku kepentingan program UNESCO; (d) Melakukan diseminasi informasi di berbagai forum UNESCO mengenai Indonesia; (e) Aktif mengikuti pertemuan secara internasional yang diselenggarakan UNESCO; (f) Menggelar dan melancarkan kunjungan pejabat Indonesia ke markas besar UNESCO di Paris sekaligus pejabat UNESCO ke Indonesia; dan (g) Menujukkan citra budaya besar yang dimiliki Indonesia.
(2) Menambah kerja sama multilateral, dilakukan dengan kegiatan berikut ini: (a) Melaksanakan pendekatan terhadap cluster group seperti ASPAC, G77, ASEAN, OIC, Circle of Delegates, serta European Commission; (b) Melaksanakan pendekatan terhadap funding agency misalnya OECD, individual country grants, Official Development Assistance; dan (c) Melaksanakan pendekatan terhadap HRC, WIPO, IUFOST, WTO.
(3) Meningkatkan manfaat UNESCO bagi Indonesia, dengan beberapa kegiatan, yaitu: (a) Mengupayakan kepentingan Indonesia dalam Participation Program dan World Heritage Site; (b) Mengupayakan kepentingan Indonesia pada pencalonan Award, Fellowship dan Scholarship; (c) Menambah upaya koordinasi dengan UNESCO Regional Office Jakarta dengan markas besar UNESCO di Paris; (d) Mengupayakan Regional Centers yang berada di Indonesia; dan (e) Aktif berperan sekaligus berkampanye dalam memenangkan pencalonan pada subsidiary organs UNESCO.
(4) Melaksanakan pemberdayaan internal KWRI UNESCO, dilaksanakan melalui beberapa kegiatan, meliputi: (a) Menambah kapasistas staf KWRI UNESCO dengan cara training, outsourcing, serta peremajaan; (b) Membenahi infrastruktur seperti penggantian dan penghapusan inventaris yang rusak sekaligus penataan ruang kerja; dan (c) Menjalankan sinergisme secara lebih baik bersama KBRI Paris dan instansi terkait di Jakarta.
Jejak Indonesia di UNESCO tidak terlepas atas peran tokoh-tokoh Indonesia. Mereka adalah akademisi dan pemikir, sekaligus menjad pejabat utama yang didaulat untuk berkarir di lembaga nasional maupun internasional dengan prestasi-prestasi gemilang.
Ada beberapa tokoh di Indonesia yang pernah bekerja di sekretariat pusat UNESCO di Paris, termasuk di antaranya Prof. Makagiansar. Ia pernah diamanahi atas dua jabatan di UNESCO yaitu Assistant Director General (ADG) for Culture UNESCO dan Direktur UNESCO Regional Office Bangkok.
Meskipun lahir di luar daerah dari lingkup nasional hingga internasional, tetapi Prof. Makagiansar pada akhirnya kembali ke haribaan tanah leluhurnya. Patung Prof. Makagiansar ditetak di tanah leluhur, di Sangihe.
Bagi orang Indonesia yang sudah duduk kuliah tahun 80-an hingga 90-an pasti kenal sosok ini. Sebab Prof. Dr. Max Makaminan Makagiansar, MA, PhD, pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti).
Pada tahun 2014, ia menjabat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) yang sebelumnya berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan saat ini digabung ke Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek dan Dikti). Waktu itu Prof Dr Ing BJ Habibie sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek), sahabat dan rekan kerja dari Prof Makagiansar.
’’BJ Habibie secara sengaja mendorong dua mahaguru besar Prof Ahmad Amiruddin dan Prof Makagiansar ke Danau Unhas Tamalanrea,” demikian tulisan di Identitas, surat kabar kampus Unhas, terbitan akhir bulan Mei 1991. Identitas adalah media cetak (koran) mahasiswa yang terbit sejak 1974 di Unhas dan termasuk satu media kampus yang masih eksis hingga saat ini.
Ketika Prof Dr Basri Hasanuddin, MA menjabat Rektor Unhas, BJ Habibie berkunjung ke Universitas Hassanudin, Makassar, tahun 1974. Waktu itu masih menjabat Menteri Negara Riset dan Teknologi merangkap Kepala Badan Penenelitian dan Pengembangan Teknologi (BPPT). Habibie didampingi dua profesor. Salah satunya adalah Prof Dr Makaminan Makagiansar dan seorang lainnya adalah Ahmad Amiruddin –yang akrab dia sapa Mas Ahmad.
Kedatangan Habibie ke Unhas bermaksud menunaikan hajat kedua profesor. Kisahnya, Makagiansar ketika itu menjabat Dirjen Pendidikan Tinggi dan Ahmad Amiruddin menjabat Rektor Unhas, berjalan-jalan ke Universitas Paris III Prancis.
“Mir, kalau kamu bangun kampus baru, buat juga danau seperti ini,“ tiba-tiba saja Pak Makagiansar berkata kepada Pak Amir saat melintas di dekat sebuah danau di kampus itu.
“Nanti, kalau danaunya sudah selesai, kita sama-sama nyemplung dalam pakaian kerja,” sambung Makagiansar, tanpa menunggu respon Amiruddin.
Sepuluh tahun berlalu, kisah kunjungan melintasi sebuah danau di Universitas Paris III harus ditunaikan. Bertepatan dengan Prof Basri Hasanuddin, hajat itu pun diwujudkan. Empat guru besar menuju Danau Unhas, tepat pada bagian di sebelah timur panggung di belakang Gedung Iptek Unhas, sudah terbangun jembatan kecil menjorok ke danau.
Ada Prof Makagiansar, Ahmad Amiruddin Amir, yang diikuti BJ Habibie. Basri Hasanuddin melangkah di belakang BJ Habibie. Tepat di dekat ujung papan jembatan, BJ Habibie yang tetap mengenakan topi bundar seperti ketika bertamu ke Unhas tahun 1974, mendorong Makagiansar yang memeluk Amiruddin di sebelah kanannya.
Brum prakkk…., keduanya nyemplung ke danau, tetapi dari jarak yang cukup dekat diawasi beberapa anggota SAR Unhas yang siaga satu dengan satu unit speedboat dengan mesin dalam posisi hidup guna berjaga-jaga.
Prof Makagiansar adalah orang Sangihe yang hebat dan mendunia. Mengikuti studi di Lemhanas, Diploma (1964 – 1965), lalu ia mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri, yaitu di University of Virginia, Woodrow Wilson School of Foreign Affairs (USA), as a special student (1953–1954), John Hopkins University, School of Advanced International Studies (USA), Master of Arts (M.A.) in International Relations (1954–1955), juga di Harvard University, Graduate School of Arts and Sciences (USA), Doctor of Philosophy (Ph.D.) in Education (1958 – 1960).
Menjadi Ketua BPPN
Dari kliping Antara, dapat disimak sekilas deskripsi jejak karir Prof Makagiansar. Setelah duduk sebagai anggota pimpinan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB, UNESCO, ia terpilih sebagai ketua Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN).
Untuk menjadi orang nomor satu di BPPN tidak mudah. Prosesnya sangat alot. Makagiansar terpilih sebagai Ketua BPPPN harus melalui rapat pleno yang berlangsung dua hari penuh. Segera setelah terpilih, Makagiansar dilantik oleh Presiden Soeharto di Jakarta pada tanggal 6 Desember 1989.
Pada Sidang Pleno BPPN itu, peserta turut memilih Letjen. Purn. Soetanto Wirjoprasonto (mantan Sekjen Depdikbud) dan Prof. Dr. Moegiadi, M.A, masing-masing sebagai Wakil Ketua dan Sekretaris BPPN.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan telah menguraikan latar belakang penugasan BPPN pada pembukaan sidang pleno yang dihadiri 16 anggota BPPN serta para pejabat eselon satu Depdikbud.
Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1989, yang merupakan perwujudan dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 48).
BPPN mempunyai tugas untuk memberikan pendapat, saran, usul, dan nasehat atau pemikiran kepada Pemerintah dalam kebijakan penyelenggaraan dan pengelolaan sistem pendidikan nasional. Di samping itu, BPPN mempunyai peranan penting dalam menyalurkan aspirasi masyarakat umum, kepentingan bangsa dan negara berkenaan dengan masalah-masalah pendidikan
BPPN, sesuai dengan keputusan Presiden No. 30 Tahun 1989 adalah forum konsultasi yang bersifat non-struktural sehingga badan itu tidak merupakan perpanjangan fungsi eksekutif Mendikbud. Jumlah anggota BPPN menurut Keppres tercatat 17 orang, tetapi Prof. Dr. Syarif Tayeb telah meninggal dunia sebelum dilantik Presiden.
Dikatakan, BPPN langsung bekerja menyusun program kerja jangka pendek, dengan merujuk pada Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Keppres No. 30 Tahun 1989, pesan Presiden pada pelantikan anggota BPPN serta harapan dan aspirasi masyarakat.
Saldo Konsep Makagiansar
Sub judul ini dikutip penuh dari tulisan berjudul sama yang dipublis majalah Tempo, edisi 26/06/ tanggal 1976-08-28/halaman 14/rubrik: PDK. Waktu itu Prof. Makagiansar menyerahkan jabatan Dirjen Pendidikan Tinggi kepada Prof. Dr. Doddy Achdiat Tsina Amidjaja.
Acara serah terima jabatan Dirjen Dikti dilaksanakan di Hotel Sahid Jaya. Ia tak dapat menahan perasaan ketika membaca Memorandum Akhir Jabatan setebal 65 halaman.
“Tidak ada kata lain yang mampu dan tepat untuk kami ucapkan kepada bapak kecuali terima kasih, dan sekali lagi terima kasih”, kata Prof. Makagiansar kepada Menteri Sjarif Thajeb.
Sambil menutup memorandum, Makagiansar menghapus keringat dan air mata. Tidak semua isi memeorandum dibacakan. Hanya beberapa bagian penting disinggung pada acara yang dihadiri juga oleh seluruh rektor perguruan tinggi negeri di Indonesia tersebut.
Meninggalkan tugas sebagai Dirjen Dikti sangat berat. Namun apa daya, tugas lain sudah memanggil. Prof Makagiansar melepas jabatan Dirjen Dikti untuk bertugas di UNESCO. Ia menjabat sebagai Assistant Director General (ADG) for Culture UNESCO. Tidak lama kemudian kemudian, ia didaulat sebagai Direktur UNESCO Regional Office Bangkok.
Makagiansar vs Koïchiro Matsuura
Pada buku Rekam Jejak Indonesia di UNESCO, dicatat bahwa Jabatan Direktur Jenderal UNESCO yang saat itu dijabat oleh Mr. Federico Mayor Zaragoza (Spanyol) selama dua periode (1987-1993, 1993-1999) akan berakhir pada waktu Konferensi Umum UNESCO ke-30 (Oktober-November 1999). Pemerintah RI telah memutuskan untuk mencalonkan Prof. Dr. Makaminan Makagiansar untuk jabatan Direktur Jenderal UNESCO periode 1999-2005.
Pada narasi itu disebutkan bahwa Prof. Makagiansar dikenal sebagai “orang lama” UNESCO karena sudah berkecimpung di UNESCO sejak tahun 1967. Ia pernah menjabat sebagai Assistant Director General (ADG) UNESCO untuk bidang Kebudayaan dan Komunikasi (1976-1981).
ADG UNESCO untuk Kantor Regional Asia dan Pasifik berkantor di Bangkok (1986-1989). Pada masa itu, Prof. Makagiansar duduk sebagai Wakil RI dalam Dewan Eksekutif (1995-1999) sekaligus sebagai wakil Ketua mewakili Kelompok Elektoral ASPAC.
Dengan pengalaman yang luas dan lama tersebut, Prof. Makagiansar punya peluang lebih baik sebagai calon Dirjen UNESCO dibandingkan delapan calon lainnya. Namun banyak faktor yang diperhitungkan, antara lain faktor usia. Sebab itu Prof. Makagiansar akan mencapai 71 tahun pada saat pemilihan tahun 1999 tersebut.
Faktor paling krusial adalah terpecahnya dukungan, khususnya dari kawasan ASEAN dan ASPAC. Lalu masalah percaturan politik dunia yang akan mempengaruhi sikap negara-negara anggota dalam memberikan dukungan pada salah seorang calon. Biaya kampanye pencalonan jabatan pimpinan organisasi internasional yang sangat mahal, karena harus melibatkan lobby tingkat tinggi baik di lingkungan UNESCO maupun ke berbagai kawasan di dunia.
Dengan sangat menyesal KWRI UNESCO belum berhasil dalam perjuangan mencalonkan Prof. Makagiansar untuk menduduki jabatan Direktur Jenderal UNESCO. Direktur Jenderal UNESCO periode 1999-2005 akhirnya dimenangkan dan dijabat Mr. Koïchiro Matsuura, Duta Besar LBBP Jepang untuk Prancis.
Orang Ketiga di UNESCO
Prof. Makagiansar adalah satu dari sedikit tokoh Indonesia yang berperan besar dalam UNESCO. Disebutkan bahwa Prof. Makagiansar adalah tokoh pendidikan Indonesia yang ketiga di UNESCO, selain Dr. Soejadjatmoko dan Prof. Dr. Moengiadi, MA.
Dr Soedjatmoko adalah Rektor United Nations University PBB, juga pernah menjadi kandidat Direktur Jenderal UNESCO. Sedangkan Prof. Dr. Moengiadi, MA adalah Direktur UNESCO Regional Office Islamabad Pakistan, sesudah menjadi pejabat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Pengganti Prof Makagiansar selanjutnya di UNeSCO adalah Dr. Gogot Suharwoto, sebagai Second Expert Task Force on Teachers for Education for All UNESCO Paris) dan Ir. Puji Aryanti, yang memegang jabatan sama dengan Suharwoto.
Bertepatan dengan peringatan Dies Natalis UGM ke-50 tanggal 20 Desember 1999, perguruan tinggi ternama Indonesia itu memberikan penghargaan berupa Anugerah HB IX kepada Prof. Makagiansar di Ghra Sabha Pramana UGM. Penghaargaan yang sama diberikan UGM kepada Sri Sultan HB X sebagai Alumni Terkemuka.(*)
Biodata
Nama : Prof. Dr. Max Makaminan Makagiansar, MA, PhD.
Tempat/Tanggal Lahir : Larantuka, 26 Juli 1928
Pendidikan
1) University of Virginia, Woodrow Wilson School of Foreign Affairs (USA), as a special student (1953 – 1954).
2) John Hopkins University, School of Advanced International Studies (USA), Master of Arts (M.A.) in International Relations (1954 – 1955).
3) Harvard University, Graduate School of Arts and Sciences (USA), Doctor of Philosophy (Ph.D.) in Education (1958 – 1960)
4) Lemhanas, Diploma (1964 – 1965)
Jabatan di UNESCO :1) Assistant Director General (ADG) for Culture UNESCO
2)Direktur UNESCO Regional Office Bangkok (*)
Penulis /Editor: Alfeyn Gilingan, Iverdixon Tinungki
Discussion about this post