Pernahkah engkau melihat penyu menangis? Para pemburu selalu melihat air mata itu saat tubuh penyu dipisahkan dari cangkangnya.
Liputan: Meikel Eki Pontolondo
Pantai Saritang adalah salah satu surga penyu di jalur migrasi hewan reptil pengembara ini di perairan Sulawesi Utara. Dari tahun-tahun yang lama, ratusan tukik yang baru menetas akan meninggalkan jejak di pasir saat mereka bergerak menuju laut.
Namun sebagaimana di tempat lain, penyu telah menjadi langka di sana, karena masih dikonsumsi. Hewan omnivora nan cantik dan unik yang sudah ada sejak zaman dinosaurus ini kontan menjadi patut diselamatkan dari ulah perburuan.
Sementara di lain sisi, beberapa penelitian telah memberi tanda awas, di mana resiko terdampak penyakit Salmonellasis yang bisa menyebabkan kematian disebutkan sangat tinggi saat mengkonsumsi penyu.
Siang itu, pekan pertama di Oktober 2023, matahari di Pantai Saritang bersinar terik. Lelaki paruh baya sedang memperbaiki perahunya. Dengan mengenakan celana pendek merah dan kaos oblong hitam yang sobek di beberapa bagian, ia bercerita tentang aktifitasnya dalam berburu penyu.
Pantai Saritang berhadapan dengan laut pasifik dan menjadi lokasi penyu biasanya bertelur. Lokasinya berada di Kelurahan Gunung Woka, Kecamatan Lembeh Utara, Kota Bitung, Sulawesi Utara.
“Belum lama saya mendapatkan dua ekor penyu sekaligus. Dua-duanya naik bertelur. Penyu-penyu itu saya tangkap, kemudian dipatahkan kepalanya. Lalu diikat menggunakan tali nilon di pohon ketapang, nanti dibersihkan setelah kembali dari mencari ikan di laut,” ungkap lelaki berusia 44 tahun itu, awal Oktober 2023.
Ia mau bercerita tentang aktifitas perburuan penyu namun dengan syarat namanya tidak dipublikasikan. Sebab ia sudah mendengar dari kawannya bahwa penyu termasuk satwa yang dilindungi, namun belum pernah mendengar langsung dari petugas dan mengklaim belum ada sosialisasi dari pemerintah. Apalagi ia belum pernah mendengar bahwa daging penyu berpotensi membawa penyakit, semisal bakteri salmonella, dan potensi virus lainnya yang terdapat pada daging penyu.
“Selama ini tidak ada yang mengalami penyakit setelah memakan penyu,” ucapnya.
Hingga saat ini ia mengaku masih aktif sebagai salah satu pemburu penyu dan 80 persen berasal dari Pantai Saritang. Selain menangkap penyu saat sedang bertelur, ia juga memburu penyu di laut menggunakan panah ikan atau sejenis tombak, dengan sasaran adalah bagian kepala.
Daging penyu hasil buruannya akan dibersihkan dan dipisahkan sesuai dengan pesanan orang lain. Setelah bersih, cangkang bersama kotoran penyu lainnya dibuang ke laut guna menghilangkan jejak perburuan. Untuk harganya saat ini dijual 25 ribu rupiah per kilogram, dan dalam satu individu penyu tersebut ia meraup 400 ribu rupiah.
“Saya menangkap penyu sejak remaja. Jumlahnya sudah tidak bisa diingat, pastinya banyak,” tuturnya.
Secara umumnya, saat tiba musim migrasi penyu di sepanjang pertengahan tahun, para pemburu biasanya akan melapisi tombak berkait miliknya dengan logam berat, sehingga alat tangkap ini saat meluncur cepat di dalam laut mampu menembus cangkang penyu yang keras. Hasil tangkapan mereka segera dilego ke beberapa pasar dengan harga yang lumayan mahal untuk memenuhi kebutuhan kuliner masyarakat setempat yang disebut dengan nama “masakan tuturuga”. Tuturuga adalah sebutan untuk penyu bagi sebagian masyarakat di wilayah timur Indonesia, termasuk Sulawesi Utara.
Di wilayah ini, daging penyu masih adalah kuliner favorit. Olahan dagingnya dimasak dengan cara memadukan racikan santan kunyit kering dan bumbu RW (Rintek Wuuk), khas Minahasa. Tidak sampai di situ, telur penyu juga menjadi bagian dari perburuan untuk diambil dan digoreng. Selain menjadi santapan rumahan, kuliner berbahan daging penyu juga biasa dinikmati di acara perkawinan, kedukaan bahkan hari raya keagamaan.
Di tengah risau kepunahannya, beruntung di Saritang ada sedikit sinar membersit. Reygen Makagansa (31) punya kiat sendiri untuk langkah penyelamatan penyu. Reygen merupakan salah satu pemuda yang konsen melakukan konservasi terhadap penyu sejak tahun 2020, sekalipun itu dilakukan secara mandiri.
Hari itu Sabtu, (30/09/2023), saat ditemui, Reygen, seorang penyelamat penyu di Pantai Saritang, Kelurahan Gunung Woka, Kecamatan Lembeh Utara, Kota Bitung, Sulawesi Utara, terlihat sedang membuat 2 wadah bekas cucian pakaian di samping rumahnya.
Kendati beberapa titik pada wadah itu nampak telah berlubang bahkan bentuknya tidak seperti pertama kalinya dibeli, namun bagi Reygen wadah tersebut bernilai dan dijadikannya sebagai tempat penangkaran penyu.
Menghindarkan penyu dari predatornya seperti biawak, anjing, maupun manusia, itu yang dilakukan Reygen sejak 4 tahun silam. Ia akan segera melepaskan indukan penyu seusai naik bertelur, atau melindungi telurnya ketika keberadaanya ditemukan di Pantai Saritang.
Telur penyu yang seringkali ditemukan dipindahkan Reygen ke kediamannya yang berjarak 700 meter dari Pantai Saritang. Menggunakan ember berukuran 20 Kg, ratusan telur penyu yang diangkat dari kedalaman pasir mencapai 50 Cm sampai 1 meter.
Setiba di rumahnya, telur penyu dipindahkan lagi secara perlahan-lahan ke wadah bekas cucian pakaian. Kemudian, ditutupi dengan pasir putih yang dibawanya dari pantai Saritang. Telur yang sudah ditutupi dengan pasir itu, ditempatkan Reygen di samping rumahnya agar bisa menjangkau sinar matahari selama 2 bulan.
“61 hari lamanya telur penyu itu berada dalam wadah penangkaran. Ketika menetas menjadi tukik, baru dilepaskan ke laut,” ungkap Reygen sambil tersenyum.
Manurut dia, pada musim penyu naik, 2 ratus telur bisa ditemukan. Jadi setiap wadah yang disediakan bisa menampung seratus telur penyu.
Sebelumnya, penyu naik bertelur berkisar 40 sampai 50 individu per tahunnya, namun saat ini hanya bisa dihitung menggunakan jari. Ia memperkirakan hanya berkisar antara 10 sampai 15 individu setiap tahunnya. Predator penyu biasanya adalah biawak atau anjing, namun yang paling berbahaya justru manusia.
Desain oleh Manado 2
Di seluruh dunia terdapat 7 jenis penyu dan 6 jenis penyu dapat ditemukan di perairan laut Indonesia, yaitu Penyu hijau (Chelonia mydas), Penyu sisik (Eretmochelys imbricata), Penyu lekang (Lepidochelys olivacea), Penyu belimbing (Dermochelys coriacea), Penyu pipih (Natator depressus) dan Penyu tempayan (Caretta caretta).
Semua jenis penyu dilindungi di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Badan konservasi dunia, The International Union for Concervation of Nature (IUCN) memasukan semua penyu ke dalam daftar merah, yang berarti satwa ini terancam punah.
Selain itu secara internasional semua jenis penyu juga telah dimasukkan dalam Appendix 1 Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), artinya bahwa penyu dinyatakan sebagai satwa terancam punah dan tidak dapat diperoleh dalam bentuk apapun.
Di Indonesia, Undang Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (KSDAHE), menyebut pelaku perdagangan (penjual dan pembeli) satwa dilindungi seperti penyu itu bisa dikenakan hukuman penjara 5 tahun dan denda 100 juta rupiah.
“Selain dilindungi, mengonsumsi daging penyu juga berbahaya, karena berpotensi mendapatkan penyakit yang menular kepada manusia melalui bakteri salmonellasis. Resiko Salmonellasis ini sangat tinggi, apalagi berkaitan dengan pengelolaan makanan” ungkap Farida C. Zenal, dari Food and Agriculture Organization (FAO) Ectad Indonesia.
Menurutnya salmonellasis ini bukan hanya pada penyu saja, melainkan juga pada hewan-hewan reptil lainnya. Terutama ketika pengelolaannya tidak higienis, cenderung kotor, dan tidak cuci tangan, maka bakteri salmonelasis akan cenderung terjadi.
“Alangkah baiknya jangan mengkonsumsi penyu, masih banyak makanan lainnya yang bisa dikonsumsi. Apalagi telurnya, ada satu proteksi secara alami. Telur itu punya selaputnya, ketika dicuci dengan air akan menghasilkan selaputnya hilang dan pori-porinya terbuka. Ketika pori-porinya terbuka, maka sangat mudah bakterinya masuk,” jelasnya.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Manado dan mantan juru bicara Satgas Covid 19 Sulawesi Utara, dr Steaven Dandel, mengatakan bahwa bakteri salmonella merupakan penyakit yang masuk dalam tubuh manusia dan menyebabkan kesakitan. Kesakitan itu juga ditentukan dengan jumlah bakteri yang masuk, tergantung daya tahan tubuh seseorang.
“Salmonella menyebabkan gejala penyakit yang dikenal di kalangan masyarakat, yakni tipes yang diawali dengan nyeri perut, panas, dan demam. Bahkan ketika kena tipes pada tubuh manusia, salmonella akan menyebabkan kematian,” ungkap Steven.
Sementara akademisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi, Prof. Farnis Boneka, saat diwawancarai menyebutkan, perburuan terhadap penyu di Sulawesi Utara kebanyakan dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di pinggiran pantai, khususnya nelayan.
Menurutnya pemanfaatan sumber daya laut untuk satwa dilindungi seperti penyu bisa dimanfaatkan dengan cara non ekstrak, artinya tidak tingkap dan hanya dilihat.
Non-ekstrak itu berkaitan dengan kegiatan pariwisata. Masyarakat masih bisa memanfaatkan penyu tanpa harus diburu, melainkan dengan cara menjadikan wilayah penyu bertelur sebagai kawasan konservasi. Ketika menjadi kawasan konservasi, setiap pengunjung yang akan berkunjung ke pantai tersebut pastinya akan membayar uang retribusi.
“Kegunaannya, untuk membiayai masyarakat yang akan menjaga, memelihara dan melindungi kawasan tersebut,” ujar Farnis.
Pulau Lembeh selama ini dikenal sebagai kawasan pariwisata, terutama bawah lautnya. Jika dalam lautnya yang indah dan sering dikunjungi oleh para turis, maka begitupun daratannya, perlu diperhatikan sebagai kawasan penyu bertelur. Sebab katanya, kebanyakan turis menyukai dengan kegiatan konservasi yang dilakukan oleh masyarakat, dan tentu saja itu memiliki nilai ekonominya pada masyarakat.
“Masyarakat di Pulau Lembeh itu memiliki sumber daya alam yang sangat kaya. Jika penyu diperlakukan dengan baik, tanpa harus diburu dan dimakan, maka justru akan membawa berkah buat masyarakat,” jelasnya.
Selain itu, kawasan konservasi penyu akan menjadi lokasi edukasi dan sosialisasi bagi anak-anak sekolah, menjadi tempat penelitian, atau pun tempat turis bersantai sambil melihat penangkaran penyu setelah menyelam. Maka ini akan terjadi perimbangan antara wilayah konservasi yang ada di laut dan daratan dengan adanya penyu di Pantai Saritang.
Menurutnya biota laut ini dilindungi karena banyak hal dilakukan secara tersistem, seperti penyu sisik yang memiliki peran penting untuk melindungi laut dari kerusakan, yakni dengan mengontrol populasi spons yang mengancam keberlangsungan hidup terumbu karang. Peran penting lainnya terhadap terumbu karang adalah menghadirkan berbagai jenis ikan yang baru ketika spons dibersihkan.
Dijelaskannya lagi, penyu merupakan hewan pengembara atau bermigrasi ke berbagai negara. Bisa saja ia akan mencari tempat bertelur di Thailand, Australia, Malaysia dan lainnya. Sebagaimana juga kita tahu bahwa penyu yang bertelur di Indonesia mengembara hingga pantai California, Amerika. Sehingga untuk menghitung populasi penyu membutuhkan data umum dari berbagai kawasan. Namun dengan berkurangnya lokasi penyu akibat perburuan dan telurnya diambil seperti di Lembeh, maka berdampak pada penurunan populasi baru.
“Saya sedih mendengar cerita seorang nelayan yang mengaku pernah menangkap penyu. Nelayan itu bilang penyu yang ditangkapnya tidak dipotong melalui kepalanya karena beranyir. Jadi dikupas cangkangnya secara hidup-hidup. Ketika ditanya bagaimana keadaan setelah dikupas, kata nelayan itu, penyu mengeluarkan air mata,” ungkap Prof Farnis.
Ditambahkan Farnis, sangat penting dibuat kawasan konservasi di suatu daerah yang menjadi lokasi penyu bertelur. Dibutuhkan pula peran dari berbagai lembaga untuk melakukan edukasi dan pelatihan kepada masyarakat di pinggiran pantai untuk menjadi bagian dari pelestarian penyu tersebut.
“Penting ada hubungan yang baik antara sebuah lembaga dengan masyarakat pinggiran pantai, salah satunya masyarakat Pulau Lembeh, guna memitigasi perburuan penyu yang terjadi secara terus-menerus,” harapnya.
Mengurangi perburuan dengan pendekatan One Health
Kendati masih terus diburu seperti di Pantai Saritang, namun secara umum di Pulau Lembeh, mulai ada tangan yang terulur melindungi nasib buntung penyu menuju kepunahan. Novenly Pudinaung (23), bersama pemuda GMIM (Gereja Masehi Injil di Minahasa) Eben Haezer, Lembeh Posokan, belum lama melepaskan penyu lekang yang ditangkap dan diikat oleh nelayan di samping rumahnya.
“Pelepasan penyu yang kami lakukan terkadang bertentangan dengan beberapa nelayan. Namun sebagian nelayan sudah memahami apa yang menjadi tujuan kami,” tuturnya.
Novenly mendapatkan pengetahuan tentang perlindungan biota laut dilindungi seperti penyu, karena menempuh pendidikan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratungi, dan ia membagikan pengetahuannya kepada anak-anak muda di Lembeh Posokan. Beberapa tahun kemudian kesadaran pemuda Lembeh Posokan ini mulai terbentuk dengan berupaya melepaskan penyu dari para nelayan yang menangkapnya.
“Kebanyakan anak-anak muda ini kan orang tuanya nelayan, mungkin karena edukasi yang sering dilakukan membuat beberapa orang tuanya sudah tidak menangkap penyu, melainkan mendukung apa yang dilakukan oleh Pemuda GMIM Ebenhaezer Lembeh Posokan,” ucapnya.
Tetapi, menurutnya, mengubah perilaku masyarakat ini membutuhkan proses yang panjang. Ia berharap ke depannya bisa membangun kerjasama dengan pemerintah untuk terus menyuarakan pentingnya menjaga dan melestarikan penyu di pulau ini.
Di tempat terpisah, Kepala BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Provinsi Sulawesi Utara, Askhari Dg. Masikki, mengungkapan, sejak tahun 2022 Pemerintah Kota Bitung sudah melibatkan BKSDA Provinsi Sulawesi Utara melakukan kampanye stop makan penyu di Lembeh Lirang. Upaya ini akan terus dilakukan dengan memberikan edukasi kepada masyarakat Pulau Lembeh Kota Bitung.
“Pendekatan yang akan kami lakukan ke depannya adalah mendorong masyarakat untuk membentuk kelompok-kelompok pelestari penyu. Dan akan mendorong Pemerintah setempat, untuk mendukung upaya-upaya konservasi penyu di setiap kelurahan yang ada di pesisir Pulau Lembeh,” jelas dia.
Ia juga berharap rencana tersebut bisa berjalan dengan baik dalam memitigasi persoalan penyu di Pulau Lembeh, mengingat sampai saat ini belum memiliki data yang kongkrit berkaitan dengan populasi dan juga kasus yang terjadi.
Sementara terkait dampak penyakit menular dari mengkonsumsi penyu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Bitung, dr Pitter Lumingkewas, mengatakan masyarakat dan pemerintah harus bercermin dari kasus pandemik Covid-19.
Justru dengan adanya kejadian covid-19 membuat semua stakeholder makin teruji, termasuk kesehatan. Covid-19 merupakan kejadian di luar dari perencanaan, bahkan secara global tidak bisa memprediksi dampak yang sangat luar biasa tersebut.
“Kami di bidang kesehatan yang awalnya tidak tahu, sekarang memiliki pengalaman semenjak adanya covid-19. Apalagi penyakit yang terkait dengan konsums penyu itu tergolong baru diketahui,” ujarnya.
Berkaitan dengan penanganan penyakit zoonotik, katanya, pihaknya tidak bergerak secara sendiri-sendiri. Sebagai contoh dengan adanya penyakit malaria di satu keadaan tertentu dan penyebabnya adalah lingkungan, itu berarti intervensi terhadap lingkungan ada pada stakeholder lainnya, seperti Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Lingkungan Hidup, dan Masyarakat.
Pitter menjelaskan kerja-kerja bidang kesehatan memiliki keterbatasan. Selama ini selain menangani penyakit pada pasien, pihaknya juga memberikan rekomendasi kepada stakeholder lainnya. Dan dengan adanya kejadian Covid-19, telah mengajarkan semua pihak harus berkerja bersama-sama.
“Secara preventif harus melibatkan banyak orang dan banyak pihak. Begitulah peran One Health yang dilakukan di Kota Bitung selama ini,” tutur Pitter.
Menurutnya kolaborasi yang terbentuk selama ini sangatlah penting dan juga mahal. Semua tidak menginginkan kejadian seperti Covid-19 terjadi lagi lewat kebiasaan mengonsumsi daging penyu. Namun, tidak menutup kemungkinan ke depannya akan terjadi pandemik, tetapi dengan adanya stakeholder Kota Bitung seperti saat ini pastinya sudah tahu langkah-langkah yang akan dilakukan ke depannya. Selain itu, Kota Bitung saat ini menunggu kesiapan aplikasi One Health dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), yakni Satu Data Indonesia (SDI) dan integrasi aplikasi.
Ia menambahkan, aplikasi SDI ke depannya akan mempermudah kerja-kerja mereka di Bidang Kesehatan bahkan juga masyarakat. Dengan adanya SDI ini, masyarakat sudah tidak lagi mengisi administrasi dengan permintaan yang begitu banyak, melainkan hanya menyampaikan nomor NIK KTP, maka sudah diketahui riwayat sebelum seperti apa, diperiksa di rumah sakit mana, dan siapa dokternya.
“Sehingga dokter bisa melakukan penanganan berkaitan dengan pemeriksaan, saran dan terapi. Penanganan SDI di Rumah Sakit langsung terkoneksi dengan BPJS dan bisa dievaluasi tren penyakitnya, seperti malaria, hipertensi, atau dampak dari seseorang mengkonsumsi daging yang mengakibatkan tipes, kolestrol dan sebagainya,” ujar Pitter.
Menurutnya SDI di Kota Bitung sementara berproses di pemerintah pusat dan itu perlu intervensi dari daerah dengan menyediakan perangkat lunak dan keras.
“Walikota Bitung belum lama ini menggaungkan Kota Digital dengan 1.000 titik wifi dengan tujuannya semua bisa terkoneksi. Namun yang menjadi pekerjaan rumah sekarang pada aplikasi SDI ini adalah sekuritas, yakni keamanan datanya,” jelasnya.
Alexandra Tatgyana Suatan, dari Indonesia One Health University Network (INDOHUN), pada workshop jurnalis bertajuk “Dapatkah Kita Mencegah Pandemi Berikutnya?” yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, pada tanggal 10-11 September 2023, di Jakarta, menyebut pentingnya koordinasi lintas sektor dalam dunia kesehatan.
Menurut Alexandra, One Health adalah sebuah pendekatan yang mengakui bahwa kesehatan manusia berkaitan erat dengan kesehatan hewan dan lingkungan. Untuk itu, sangat dibutuhkan kolaborasi dan komunikasi interdisipliner di semua aspek pelayanan kesehatan bagi manusia, hewan dan lingkungan.
“One Health merupakan pendekatan terpadu yang bertujuan untuk menyeimbangkan dan mengoptimalkan kesehatan manusia, hewan, dan ekosistem secara berkelanjutan,” ungkap Alexandra.
Alesandra menambahkan, OH mengakui kesehatan manusia, hewan peliharaan dan hewan liar, tumbuhan dan lingkungan yang lebih luas (termasuk ekosistem) saling terkait erat dan saling bergantung. Karena itu pendekatan One Health sangatlah penting, baik itu memobilisasi berbagai sektor, disiplin ilmu, dan komunitas di berbagai tingkatan masyarakat untuk bekerjasama dalam meningkatkan kesejahteraan dan mengatasi ancaman terhadap kesehatan dan ekosistem, sambil mengatasi kebutuhan kolektif akan makanan, air, energi dan udara yang sehat.
Drh Dedi Candra dari Direktorat Konservasi Keanekaragmaan Hayati Spesies dan Genetik, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan bahwa one health adalah sebuah pendekatan kolaboratif dan terintegrasi dengan memobilisasi sektor disiplin ilmu dan komunitas terkait diberbagai tingkatan masyarakat.
“Melalui komunikasi, kordinasi, kolaborasi dan peningkatan kapasitas untuk mengoptimalkan kesehatan manusia, hewan, satwa liar dan ekosistem secara berkelanjutan,” ujarnya.
Pembicara lainnya, Prof. Wayan Tunas Artama, Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan UGM dan Ketua One Health UGM, membenarkan konsep one health adalah pendekatan terbaik untuk mencegah penyakit zoonotik, seperti yang terkandung dalam penyu saat dikonsumsi masyarakat.
“Kenapa One Health sebagai pendekatan terbaik untuk penyakit zoonosis, karena itu berikatan dengan kolaboratif, multisektoral dan transdisiplin untuk mencapai kesehatan yang optimal dengan menimbang keterhubungan antara manusia, hewan dan lingkungan sekitar,” jelas Wayan. (***)
Tulisan ini bagian dari fellowship “Dapatkah Kita Mencegah Pandemik Berikutnya?” yang didukung oleh AJI Indonesia.
Discussion about this post