Oleh:
Rahadih Gedoan
Pemilihan calon legislatif di Indonesia merupakan bagian dari sebuah proses pembangunan fondasi demokrasi yang merepresentasikan suara dan kehendak rakyat. Kelembagaan legislatif yang kemudian dikenal dengan sebutan Dewan Perwakilan Rakyat ini, menurut Montesquieu dalam L’Esprit des Lois, menjadi bagian kekuasaan negara selain kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan kelembagaan legislatif dalam menjalankan wewenang menetapkan aturan adalah cerminan dari kedaulatan rakyat.
Melihat ruang kekuasaan legislatif yang besar ini, banyak pihak yang kemudian berlomba-lomba mencari dukungan suara rakyat dalam ajang kontestasi politik, seperti yang akan kita hadapi pada 14 Februari 2024 mendatang. Ancaman praktek money politics (politik uang) mengintip dan kelak mengancam prinsip kesetaraan dan inklusi dalam proses demokratis. Fenomena ini dapat menciptakan ketidaksetaraan dan menghambat partisipasi politik bagi para kandidat yang tidak memiliki kesanggupan secara finansial.
Money politics adalah praktik menggunakan dana atau kekayaan untuk memengaruhi hasil pemilihan menjadi isu yang paling mengemuka. Dalam konteks pemilihan legislatif, hal ini mencakup biaya kampanye, dana partai, dan potensi suap. Praktek ini jelas menciptakan kesenjangan yang signifikan antara kandidat berduit dan yang tidak. Orang yang memiliki kekayaan finansial lebih besar memiliki keunggulan dalam mengakses media, kampanye lapangan, dan distribusi materi kampanye.
Wakil rakyat yang duduk di singgasana kelembagaan legislatif pada akhirnya terancam hanya terisi oleh deretan pebisnis atau orang-orang berduit saja. Sementara figur-figur yang secara kualitas memadai, tergerus ketidaksanggupan persoalan finansial dalam membiayai aktivitas politiknya.
Kebutuhan finasial dapat dimulai dari proses pendaftaran sebagai calon legislatif yang seringkali membutuhkan dukungan biaya yang substansial. Hal ini dapat menghalangi kandidat dari kalangan ekonomi menengah ke bawah untuk masuk ke dalam ruang pertarungan ini. Kemudian juga persoalan biaya kampanye, termasuk iklan di media massa, menjadi tantangan besar bagi calon yang tidak memiliki sumber daya finansial yang memadai. Selain itu, adanya potensi praktik suap dalam memastikan dukungan suara dari pemilih menciptakan ketidaksetaraan dalam akses dan penerimaan dukungan.
Kondisi tersebut akan merongrong proses demokrasi di negara kita. Bila keadaan ini terus-menerus terjadi tanpa bisa diinterupsi, lembaga legislatif hanya diduduki orang berduit yang dapat mencalonkan diri dan kemudian memiliki peluang yang lebih besar untuk terpilih. Kemungkinan itu lalu menciptakan kondisi yang mendukung korupsi, dengan calon yang terpilih cenderung lebih mendahulukan bagaimana kepentingan finansial mereka sendiri dikembalikan melalui ruang kekuasaan yang dimiliki ketimbang memikirkan kepentingan masyarakat.
Masa depan demokrasi Indonesia mungkin saja akan berjalan kian suram. Memperbaikinya mungkin saja dengan jalan perbaikan regulasi pemilu yang kelak dapat memberikan peluang yang seadil-adilnya bagi calon dari lapisan masyarakat yang beragam. Masyarakat pemilih kita pun perlu mendapat asupan pendidikan politik yang berkualitas dalam meningkatkan kesadaran bahwa dukungan terhadap kandidat seyogyanya berdasarkan kualitas dan visi, bukan seberapa besar suapan rupiah yang masuk ke kantong pemilih.
Semoga saja pelaksanaan demokrasi yang inklusif dan merata tak hanya sekadar mimpi namun dapat diwujudkan, dan partisipasi politik dalam kontestasi legislatif dapat menjadi hak setiap warga negara, bukan hanya privilege bagi yang berduit semata. (***)
(Penulis adalah warga Talaud, jurnalis dan pegiat teater)
Discussion about this post