Oleh: Frans Eka Dharma K
JIKA memang kemudian MK memutuskan batas usia Cawapres 35 tahun, ini adalah langkah progresif dalam sistem politik Indonesia. Walaupun keputusan batas usia minimum itu diputuskan menjelang pendaftaran Calon Presiden dan Wakil Presiden dituding bersifat politis karena bertepatan dengan usia anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, putusan batas minimum usia tersebut menandakan perlunya “peremajaan” sebagai syarat regenerasi kepemimpinan bangsa menghadapi kemajuan pesat teknologi dan persaingan ekonomi global yang membutuhkan inovasi dan kecepatan dalam bertindak. Dan itu dimiliki oleh kaum muda, yang saat ini dikategorikan sebagai generasi Milenial dan Gen Z.
Tentu saja ini bukan suatu kebetulan. Tapi, ini juga menjadikan esensi dari perubahan fundamental atas batas usia tersebut lari dari persoalan yang sesungguhnya. Dan Gibran adalah fakta dimana kesempatan tersebut termanifestasi kan pada dirinya.
Dari data BPS, pemilih muda dari generasi Milenial dan Gen Z mencapai 60 persen pemilih pada tahun 2024. Tingginya pemilih muda ini jelas menjadi perhatian khusus bagi peserta Pemilu yang kebanyakan dipimpin kelompok tua yang mapan, atau dikuasai oleh kalangan Baby Boomers dan Gen X.
Kalangan kaum muda yang diwakili Milenial dan Gen Z ini tidak bisa dianggap remeh. Tahun lalu di negara Chili terpilih Presiden dari generasi Milenial dan generasi Milenial Chili ini lahir dari gerakan mahasiswa yang konsisten terhadap isu-isu sosial dan ber-kesadaran politik. Ini berbeda dengan gerakan mahasiswa Indonesia yang menganggap gerakan mahasiswa sebatas gerakan moral dan pengecut untuk menjadikan gagasan gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik.
Munculnya Gibran ditengah ruang politik yang terbuka oleh putusan MK untuk kaum muda menjadi pemimpin negara dan pemerintahan adalah fakta dimana gerakan mahasiswa yang muncul dalam demonstrasi menolak kenaikan BBM maupun yang menolak berbagai UU yang merugikan rakyat sepanjang tahun 2010 – 2020 tidak muncul kepermukaan dalam riuh politik menjelang Pemilu legislatif dan pemilihan presiden-wakil presiden.
Itulah mengapa ketika ruang politik tersebut terbuka, persepsi terhadap milenial dan Gen Z masih dipengaruhi kultur lama politik konservatif yang membentuk watak dan perilaku politik kepartaian maupun pola rekrutmen kader dalam partisipasinya di Pemilu legislatif dan pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden yang bercorak demokrasi liberal di Indonesia, yang sialnya, berbiaya tinggi. Dan Gibran bagian dari kultur politik tersebut.
Inilah yang kemudian membebani Gibran dengan tanggung-jawab dimana generasi Milenial dan Gen Z adalah generasi yang ditempa oleh kerasnya kebijakan negara yang dimanifestasikan dengan munculnya gerakan mahasiswa maupun pelajar, seperti anak-anak STM yang sempat menggemparkan situasi politik dengan aksi-aksi keras dan tak kenal ampun. Sederhananya, Gibran tentu tidak merasakan langsung denyut nadi para generasi Milenial dan Gen Z tersebut yang dilekatkan pada dirinya.
Sekalipun itu tidak dirasakan, mau tidak mau Gibran ada di pusaran sejarah generasinya. Penyokongnya jelas kultur politik konservatif dilingkungan elit politik saat ini, ketimbang aktor-aktor Milenial maupun Gen Z yang secara kritis memimpin gerakan mahasiswa maupun pelajar–yang memang kebanyakan dari mereka adalah anak-anak rakyat biasa, anak-anak pekerja, buruh maupun petani, klas menengah perkotaan yang selama ini jadi objek kebijakan negara. Artinya, mereka bukan para pewaris kuasa elit dalam kultur konservatif politik Indonesia. Merekalah pemilih mayoritas sesungguhnya dalam Pemilu 2024.
Dengan munculnya Gibran Rakabuming yang juga putra Sulung Presiden Jokowi sebagai “pemuda” dari generasi milenial dan mewakil Gen Z yang kemudian paling berpeluang menjadi calon wakil presiden berkat dicabutnya batas minimum usia oleh MK, dan bahwa generasi Milenial dan gen Z yang menjadi aktivis gerakan mahasiswa – pelajar yang saat ini bak hilang ditengah hiruk-pikuk politik, kemudian merefleksikan kita untuk bertanya; sanggupkah Gibran memikul tanggungjawab generasinya berkat keistimewaan dirinya yang dibentuk oleh politik konservatif elit saat ini?
Tentu sejarah lah yang akan menilainya.
Penulis adalah Wakil Ketua Partai Buruh Exco Provinsi Sulawesi Utara, Aktivis 98 Sulut dan mantan Ketua PRD Sulut 2005-2015
Discussion about this post