Catatan:
Jupiter Makasangkil
Karawang mawira adalah sehelai kain putih yang dirajut dengan cara mengikat dengan teknik ikat sulam utas benang pada bagian tertentu yang beberapa utas benangnya telah ditarik atau dicabut dari helai kain.
Kemudian kain dijepit dengan alat jepit berbentuk bulat yang disebut spanner, kemudian dilakukan pekerjaaan merajut (mengara- wang) dengan menggunakan jarum tangan dan benang.
Motif yang terbentuk dari ikatan rajutan itu beragam. Konon pengetahuan merajut kerawang dibawah oleh para perempuan dari Filipina yang bertugas menyiapkan kain alas meja altar misa di gereja pada abad 17 ketika agama kristen katolik oleh beberapa imam Serikat Jesuit dan Ordo Fransiskan telah diajarkan dan dianut oleh raja-raja di pulau Siau dan Sangihe (Kalongan, Tabukan dan Manganitu Kauhis).
Suatu ketika di tahun 1750 terjadi perang saudara antara Pangeran Jacobus Makaampo “Tambanaung” (Tambiengo, dalam versi Belanda) putra bungsu raja Marthin Makaampo Takaengetang (Joutulung), melawan sepupunya Don Marthin Lazaru raja Manganitu putra Don Carlos Piantay Diamanti raja sebelumnya yang digantikan Marthin Makaampo Takaengetang.
Pangeran Tambanaung merasa berhak menjadi raja karena lebih tua usia dan ayahnya juga pernah dahulu menjadi raja Manganitu. Banyak korban tewas dipihak raja Marthin Lazaru karena pangeran Tambanaung dibantu orang-orang dari Tabukan.
Menyadari perang saudara itu telah berlangsung kurang lebih dua tahun, pada tahun 1752 raja Marthin Lazaru meminta bantuan VOC untuk memediasi pembicaraan damai bertempat di kediaman raja di Mangan itu.
Pertemuan dihadiri oleh dua belah pihak yang bertikai dan para bobato kerajaan serta pejabat VOC dengan satu pasukan garnisun dari benteng Amsterdam Manado. Pertemuan diawali dengan tabuhan tagonggong dan berbalas sasambo antara kedua pihak.
Sesudah itu President raja membuka pembicaraan pertemuan dan mempersilakan Kapitan bicara melaporkan dan menjelaskan maksud utama pertemuan dan dengan hormat meminta kepada yang mulia tuan pejabat VOC bersama semua bubato bersedia menjadi penengah yang adil dalam pembicaraan untuk mendamaikan kedua bangsawan itu.
Pejabat VOC meminta lebih dahulu pandangan dan pendapat kedua belah pihak. Seorang Jougugu pengikut pangeran Tambanaung memulai dengan sambo: Menalang nalang balang, nalang dalentihe badang. Apalombon tahanusa, gahaghon manu dadio. Maknanya: Untuk melakukan suatu tanggungjawab besar, harus siap memikul segala resiko. Dukungan rakyat adalah modal utama memajukan tanahair.
Jougugu Dalondo dari pihak Marthin Lazaru membalas dengan sambo: Ta u makaanggung pato, lingung ale i petinggung. Mebua bou lawesang, mahundingangken tulumang. Maknanya: Tidak ada sesuatu yang akan menghalangi sebuah kebersamaan, bila ada keterbukaan yg jujur. Memulai sebuah tanggungjawab besar, harus dituntun oleh hikmat pengetahuan.
Menyambut sasambo jougugu Dalondo, pangeran Tambanaung melantunkan sambo:
Hamuen kalu medingan, lelang e tametatentang. Pusungu lalombo, alako petambanaung. Maknanya: Dari akar dua keluarga besar, kita semua mempunyai kesamaan hak. Mari kita bersatuhati mengatur hal itu.
Selesai lantunan sasambo pangeran Tambanaung, raja Lazaru membalas dengan sambo:
Kahiwu lampawanua, pinangoko tamasalang. Tamaraun tamarani pedaringan i sahemang.
Maknanya: Benar kita dari keturunan satu keluarga besar. Tetapi kenyataannya kita tak akan pernah menyatu.
Hal itu membuat suasana mulai memanas. President raja Makahengkung (versi Belanda: Macahecoem) seorang bubato tertua yang sangat arif segera menengahi dan mengingatkan dengan elok, selesai lantunan sasambo raja Lazaru.
Bubato tua itu segera berdiri kemudian melantun -kan sasambo: Malambe Naleng kulano papeti nusa Manganitu, timuwo suhiwan Tolo timendang su palung i Tompoliu. Paton kite kabantuge, endai wuhu kawawuna. Apae nanihing pulo, mempangawe tahanusa? Maknanya: Mari kita siuman. Manganitu dibangun oleh Kulano Naleng, dihadirkan dalam pangkuan Raja Tolosang, dilindungi oleh Raja Tompoliu. Pembicaraan kita sangat terhormat, dan baru saja dimulai. Apakah ada harta kekayaan lain, yang sama bahkan melebihi kecintaan kita kepada tanah air ini?
Sesudah mesambo bubato tua mengambil lenso karawang putih dan dilipat membentuk segi tiga. Memberi penghormatan “saluir” kepada semua hadirin sambil memegang kedua ujung lenso karawang putih, kemudian menari diiring tabuhan tagonggong dan sasambo para penabuh.
Bergantian para penabuh tagonggong melantunkan sambo: Balanda kawe lentene, pungene kawe su Manganitu. Mebatu tondon dalere,sarapelliu kawawua. Maknanya: Belanda hanya semata ranting kecil, tetapi pohonnya tumbuh kokoh di Manganitu. Jangan kita dirubuhkan oleh keinginan yang bertentangan dengan tujuan dan keberadaan kerajaan Manganitu.
Setelah selesai menari, bubato tua itu menjelaskan: Lenso karawang putih ini adalah ibarat kerajaan Manganitu, tangan kanan dan tangan kiri adalah raja Lazaru dan Kasili Tambanaung. Masing-masing berhak dan punya tanggungjawab yang sama menjaga agar karawang putih ini jangan jatuh ke tanah dan diinjak orang, tetapi tetap di tangan dan menambah indah sebuah tarian kehidupan rakyat.
Sudut kain karawang putih yang berada dibawah dan ujungnya menunjuk ke tanah adalah pengingat bahwa kedua kamu akan kembali ke tanah, dan kalian hendaknya berdamai sebelum kembali menjadi debu tanah.
Ia menawarkan agar Pangeran Tambanaung bersedia menggantikan dirinya sebagai Presidenti Datu atau perdana menteri di kerajaan Manganitu. Namun hal itu tidak dapat disetujui oleh kedua belah pihak.
Sayang sekali sikap egois yang ada pada diri manusia, membuat perdamaian dan kesepakatan seindah harapan bubato tua itu tidak terwujud. Akhirnya Markus Lazaru tetap sebagai raja Manganitu, meskipun pada akhir pemerintahannya oleh VOC Belanda diasingkan ke Tananarivo Madagaskar (Malagasi) dan wafat di sana.
Pangeran Jacobus Makaampo Tambanaung ditangkap dan dibawa ke Ternate kemudian diasingkan VOC Belanda ke pulau Edam di kepulauan Seribu.
Dalam tuturan tua Manganitu ia dikenang dengan sebutan “Mawue su nusangedang (Yang mulia di pulau Edam), sayangnya hanya sedikit sekali orang tahu tentang riwayat perang saudara yang hampir sama dengan perang saudara Angkuma dan Pasuma di kerajaan Siau: berebut tahta. (*)
–Penulis adalah sastrawan dan Budayawan Sangihe
Sumber:
- Tuturan Van der Wijn Daud. Kepala Kandep Diknas Kecamatan Tamako. 1993.
- Tulisan ttg kerajaan Manganitu oleh bpk Ernst Tiwa. 1967. Mantan guru sekolah zending Lebo, terakhir pensiunan pegawai PT.PELNI Jakarta.
3.Generale Misiven van Gouverneuers Generaal en Raden an Heren XVII VOC. Recources Huygens.
Discussion about this post