Manado, Barta1.com — Sejumlah fakta menyangkut dokumen AMDAL pertambangan yang diajukan PT Tambang Mas Sangihe (TMS), terungkap dalam proses sidang di PTUN Manado, Kamis (17/02/2022). Hal itu meluncur dari penuturan para saksi yang diajukan penggugat.
Pemohon dalam perkara bernomor 57/G/LH/2021/PTUN.MDO itu adalah 56 perempuan dari Kampung Bowone dan Binebas Kepulauan Sangihe. Sedangkan tergugat masing-masing Kepala Dinas Penanaman Modal-PTSP Sulut sebagai Tergugat I, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sulut sebagai Tergugat II dan PT Tambang Mas Sangihe sebagai Tergugat II Intervensi.
Hal menarik yang mengapung dalam proses persidangan ketika saksi Bernard Eduard Tuwokona Pilat, mantan birokrat di Pemkab Kepulauan Sangihe, membuka proses permohonan dokumen kelengkapan AMDAL yang diajukan PT TMS. Dari situ terungkap fakta ada sedikit banyak peran Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Sulut, memuluskan upaya PT TMS.
“Ketika rekomendasi ruang kepada PT TMS tidak dapat dipenuhi oleh Pemerintah Kabupaten Sangihe, maka proses Amdal tidak bisa dilanjutkan. Saya mengetahui ada surat rekomendasi ruang yang dari PUPR Provinsi, sementara seharusnya rekomendasi tersebut harus dari Kabupaten Sangihe sebagai pihak yang paling berwenang dan tahu dengan situasi daerahnya” jelas Ben, sapaan akrab mantan Asisten II Pemkab Kepulauan Sangihe ini, saat menjawab pertanyaan dari Reinhaard Mamalu SH MH selaku kuasa hukum penggugat.
Sebelumnya Pilat merunut lebih dulu proses pengajuan rekomendasi terkait penerbitan AMDAL dari PT TMS. Secara rinci menurut dia, semuanya dimulai pada 7 Oktober 2017, PT TMS melalui surat bernomor: TMS/XI/2017/26 yang ditujukan kepada Bupati Kabupaten Kepulauan Sangihe, mengajukan permohonan rekomendasi sehubungan dengan kesesuaian tata ruang melalui agenda pembahasan BKPRD. Ini dimaksudkan karena perusahaan akan melakukan penyusunan AMDAL terhadap pertambangan di Sangihe yang akan mereka kelola.
Merespon surat permohonan itu, pada 21 Desember 2017 Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe melaksanakan rapat Badan Koordinasi Perencanaan Ruang Daerah (BKPRD) yang dihadiri Asisten Perekonomian dan Pembangunan, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Kepala Dinas Perumahan dan Pemukiman, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Kepala Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Kepala Bagian Hukum Setda. Jumlah peserta rapat saat itu 23 orang.
Berdasarkan hasil rapat, pada 10 Januari 2018 Sekretaris Daerah Kabupaten Sangihe selaku Ketua BKPRD menerbitkan surat rekomendasi yang ditujukan kepada Bupati Sangihe. Isi surat terkait permohonan dari direktur PT TMS tentang kesesuaian ruang kegiatan pertambangan tidak dapat dipenuhi karena tidak sesuai dengan UU Nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
“Kabupaten Sangihe sangat kecil, karena luasnya hanya 736 kilometer2, yang tidak bisa dilakukan pertambangan. Hal lain yang mendasari surat rekomendasi tersebut adalah Perda Kabupaten Sangihe Nomor 4 tahun 2014 tentang Rencana Penataan Ruang Daerah Wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe tahun 2014–2034. Pasal 47 ayat 1 menyatakan Kawasan pertambangan sebagaimana dalam pasal 44 huruf C wajib mematuhi perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku” , jelas Pilat.
Mempertegas penjelasannya, di hadapan Majelis Hakim yang diketuai Fajar Wahyu Jatmiko SH, Pilat juga menyatakan Perda Provinsi Nomor 1 Tahun 2017 tentang Rencana Wilayah Zonasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sama sekali tidak mencantumkan Sangihe sebagai Kawasan pertambangan. Dalam pemahamannya, sebagai masyarakat atau pensiunan birokrat yang telah terlibat dalam proses-proses yang terjadi hingga tahun 2018 tersebut, Amdal PT TMS cacat hukum.
“Perencanaan pembangunan Sangihe yang dituangkan dalam Perda Nomor 3 tentang RPJMD 2017-2022 Sangihe mengatur pengembangan beberapa wilayah di Kabupaten Sangihe berdasarkan kluster-kluster (minapolitan) yang bertumpu pada pembangunan sektor perikanan, pertanian dan pariwisata, bukan pertambangan,” tambah dia.
Rapat Teknis di Jakarta
Saksi kedua, Christofel Hangau, juga mempertegas penjelasan Ben Pilat menyangkut fakta dokumen ruang. Hangau, mantan kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sangihe periode 2017-2019, juga menyebut rekomendasi BKPRD Kabupaten Sangihe melalui hasil rapat instansi teknis terkait yang tidak mengabulkan permohonan PT TMS merupakan dasar bagi DLH Sangihe tetap tidak merestui dilaksanakannya proses pembahasan amdal PT TMS.
Pada 2017, sehubungan dengan rekomendasi BKPRD yang tidak bisa memenuhi permohonan PT.TMS, Dinas Lingkungan Hidup Sangihe pernah dipanggil menghadiri rapat konsultasi Teknik di Jakarta dengan pihak kementerian terkait. Dan hasil rapat teknis pun tetap merekomendasikan PT TMS tidak bisa melakukan aktivitas pertambangan di Sangihe. Lantas bagaimana hingga DLH Provinsi Sulut sudah melakukan proses AMDAL untuk tambang di Sangihe?
“Lokusnya ada di daerah kami, yang paling tahu situasi dan kondisi riil adalah DLH Kabupaten Sangihe. Sepengetahuan saya sesuai informasi dari masyarakat, mereka tidak pernah dilibatkan atau disosialisasikan tentang proses AMDAL. Semua stakeholder di Sangihe sangat penting dilibatkan, pun jika landasannya UU Pemerintahan Daerah, kami bukan bawahan,” lanjutnya.
Sekitar September atau Oktober 2017, DLH Sangihe juga diundang menghadiri rapat pembahasan kerangka andal PT TMS di Hotel Gran Puri Manado. Pada waktu yang sama, Hangau mendapat tugas ke Jakarta dan dia menugaskan 3 orang stafnya menghadiri rapat itu. Dia memerintahkan stafnya untuk menyatakan sikap tegas menolak pembahasan kerangka Andal maupun AMDAL dilanjutkan, karena pemerintah kabupaten sudah punya sikap tegas menolak aktivitas pertambangan di Sangihe.
Majelis Hakim menanyakan kepada saksi, apakah pernah ada pengajuan izin dari pihak lain selain PT TMS? Saksi menjawab tidak ada. Lalu Hakim menelisik lagi, bagaimana aktivitas pertambangan rakyat yang juga merusak lingkungan. Saksi memberikan keterangan selama menjabat sebagai Kadis LH, intens melakukan sosialisasi tentang penyelamatan lingkungan dari berbagai aktivitas manusia yang merusak lingkungan, termasuk pertambangan rakyat. Hangau mencontohkan Kampung Laine di Kecamatan Manganitu Selatan sering dilanda banjir, menjadi contoh buruk terjadinya bencana akibat kerusakan lingkungan.
Sedangkan sikap Lembaga Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud (GMIST) dan Badan Adat Sangihe? Kedua saksi menjawab senada, GMIST dan Badan Adat Sangihe telah menyatakan secara resmi dan bersikap tegas menolak PT TMS beroperasi di Sangihe.
Setelah memakan waktu 3,5 jam untuk mengungkap fakta yang diketahui oleh kedua mantan pejabat ini, Ketua Majelis Hakim menyatakan sidang ditutup. Agenda sidang minggu berikutnya tetap masih memberikan kesempatan kepada penggugat menghadirkan saksi fakta atau saksi ahli.
Masyarakat yang menyempatkan diri menghadiri sidang tersebut antara lain Pdt Tapadongko dari Salurang, Elbi Piter dari Bowone, Venetzia Andemora dari Bentung, Robison Saul dari Sowaang.
“Saya baru mendengar hari ini di PTUN Manado bahwa penolakan pemerintah sudah dinyatakan dalam sikap BKPRD sejak 2017 yang tidak memenuhi permohonan PT TMS, berarti pemerintah dan rakyat sudah sejalan berjuang demi keselamatan Sangihe,” kata Pdt Tapadongko.
“Kami masyarakat konsisten dengan perjuangan demi kehidupan di Kampung Bowone yang terancam tergusur jika perusahaan beroperasi. Sebab dalam rencana PT TMS kampung kami akan didirikan pabrik dan bangunan-bangunan lain, tetapi kami sendiri sebagai masyarakat yang berdiam di Bowone tidak pernah tahu tentang rencana ini, tidak pernah ada sosialisasi sebelumnya, tiba-tiba saja sudah datang membawa ijin lingkungan dan IUP di tangan mereka,” tambah Elbi Piter. (**)
Editor: Ady Putong
Discussion about this post