Oleh: Iverdixon Tinungki
Pada 31 Januari 2022 nanti, Sangihe akan berusia 597 tahun. Sebagaimana negeri-negeri di Timur, banyak hal menarik yang patut menjadi buah renung tentang kepulauan ini, baik dari sisi sejarah dan budaya yang telah menuntun detak jantung peradaban manusia sejak ribuan tahun. Tulisan ini disajikan untuk menyemarakan Sangihe Writers & Riders Festival (SWRF) 2021.
Penyair Jerman Johann Wolfgang von Goethe pernah menulis sebuah bait tentang dunia Timur: “Dort , im reinen und rechten! Will ich menslichen geschelecthen! In des ursprungs tiefe dringen” (ke sanalah, ke kesucian dan kesalehan, aku kan kembali ke asal mula ras manusia).
Ameliorasi ala Goethe tentang pandangan para peziarah Eropa yang selalu merindukan Timur dan kembali ke Timur tak serta merta mengubah konstruktivisme Timur yang terbentuk dalam perspektif alam pemikiran Eropa sebagai sebuah dunia sebagaimana digambarkan Brilman bagi Sangihe Talaud. Sebuah dunia eksotis orientalis yang dibentuk lewat cara pandang sarjana Eropa yang selama berabad-abad telah menghegemoni dunia Timur. Edward Said dalam Orientalisme, menyebut bagi Eropa, Timur merupakan koloni-koloni Eropa yang terbesar, terkaya, dan tertua, serta sumber peradaban, bahasa, juga saingan budaya. Bahkan dalam imaji mereka, Timur sebagai “dunia yang lain”.
Sebagaimana sebuah catatan ziarah, kali ini, saya mengajak anda berperahu menuju Dalako, sebuah perkampungan kecil di pulau Kahakitang. Saya membayangkan, andai kata Fyodor Mikhailovich Dostoyevsky, sastrawan Rusia terbesar itu melintas ke pulau ini, maka pendiri eksistensialisme itu tak akan menampilkan tokoh-tokoh dalam cerpen dan novelnya dalam keadaan yang putus asa dan pikiran yang sangat ekstrem. Sebab, Siapa pun yang bersentuhan dengan negeri 124 pulau ini pasti akan meneguk keindahan nilai kebaharian mereka. Buah-buah ranum dari carang-carang pohon susastra yang subur dan bernas yang membentuk filsafat manusia Sangihe.
Menuju Dalako, perahu yang kutumpangi harus memilih, kiri atau kanan untuk menyisih sebuah batu tepat di tengah pintu masuk teluk Kahakitang. Di pintu itu pula, lumba-lumba berhenti berlomba dengan perahu. Mereka kembali ke laut biru, ke tempat arus yang tak henti menciptakan balun gelombang di perairan antara Pulau Kalama dan Kahakitang.
“Lumba-lumba di laut ini selalu berpacu dengan perahu bila lewat di sini,” kata Madunde, lelaki asal pulau Para yang mengemudikan perahu. Perahu yang kutumpangi jenis Pamo yang berdaya muat 3-4 ton dengan dua mesin Enduro 75 PK tergantung di buritan. Sungguh suatu pengalaman yang menggetarkan. Ini sebuah pulau puitis dan menakjubkan di jazirah kepulauan Sangihe Talaud. Disebut puitis karena keindahan pulau ini seakan-akan bertabur imaji-imaji anonim yang menggairahkan untuk ditulis. Ada berbagai jenis batu terhampar di pesisir pantai. Ada tebing dan savana kecil yang indah. Disebut menakjubkan karena, untuk sampai ke pulau ini, perahu yang kutumpangi disambut kawanan lumba-lumba yang ikut berpacu menuju tepi. Aksi mamalia laut ini terasa mendatangkan riang tersendiri. Pulau seluas 8,78 km2 ini merupakan pulau terbesar dalam klaster Tatoareng, Kabupaten Kepulauan Sangihe, di mana terdapat ibukota kecamatan Tatoareng.
Kehidupan sosial ekonomi pulau Kahakitang dapat dikatakan jauh lebih dinamis dibandingkan dengan pulau-pulau kecil di Pulau Sangihe karena lokasinya yang relatif dekat dengan Kota Tahuna dan Kota Manado. Di sepanjang tebing pantai terdapat gua sarang burung walet yang berpotensi sebagai objek wisata dan bernilai ekonomis. Kahakitang termasuk juga salah satu pulau penghasil ikan Cakalang terbesar. Selain itu, terdapat pantai Sowang, salah satu objek wisata dengan terumbu karang yang sangat indah dan masih alami.
Sebagaimana ke pulau-pulau lain di gugusan Nusa Utara, perjalanan ke Dalako bagi saya adalah perjalanan ke semesta sastra. Semacam barisan ombak yang mewariskan citra kepribadian dan keunikan budaya sebuah bangsa yang mengafirmasi nilai-nilai kebaharian. Di jazirah 124 pulau itu, filosofi, impian, harapan, lekuk sejarah, tatanan nilai, kerajaan, legenda dan mite mengilhami hidup masyarakatnya sebagai manusia yang berumah di pulau dan lautnya. Semua itu tumbuh dalam rentetan relasi yang menggoda aktivitas sastrawi sejak masa lalu hingga kini yang menuntut pemaknaan kembali.
TAUMATA
sasĕba taumata kalu tamata
simipu mĕdaukalu
simindu mubua
daukalune pĕsĕsirungan
buane pĕbawiaheng
wawahaning sukuihi
sukuaneng pangangimangeng
su tembo imatĕling
su tiang upĕdaᶅahiking
paᶅahana lulĕto
bĕmbang tampane
isĕba taumata
manuwo paᶅahĕntone
Puisi di atas, bercerita tentang hakekat manusia. Disimbolkan sebagai pohon yang berbagi pernaungan dan nafas kehidupan antar generasi. Sebuah intuisi dunia susastra masa lampau yang selalu punya cara membentuk jalinan sejarah antar peradaban yang satu dengan yang lainnya. Tak sedikit narasi dari masa lampau Nusa Utara yang memancarkan kilau semacam itu.
Tentang diskursus ini saya jadi ingat Ikeda dan Toynbee. Jika pemberian makan sebagai tujuan, maka sastra tak memberikan apa-apa. Sastra adalah pemberi inspirasi bagi manusia untuk melakukan kebaikan. Inilah jawaban atas pertanyaan Jean Paul Sartre: “apa yang dapat dilalukan kesusastraan bagi kaum kelaparan? Pertanyaan Sarte adalah salah satu topic menarik dalam diskusi Daisaku Ikeda, pemimpinan Soka Gakkai, organisasi keagamaan Budha terbesar, dan Arnold Toynbee, ahli sejarah dan ahli filsafat barat, pada pertengahan 1970-an saat bertemu di Inggris. Keduanya berkesimpulan di mana salah satu bahaya terpenting abad modern diakibatkan manusia kehilangan rasa keselarasannya dengan alam sekelilingnya, sementara alam semesta menghendaki keselarasan itu. Mereka menyerukan sebuah komitmen dan kesungguh-sungguhan dalam menghadapi kehidupan lewat nilai-nilai baik yang terseliput dalam sastra.
Manusia Sangihe dan juga Talaud sebagai sebuah komunitas kultural, dalam sejarahnya telah mengalami perjumpaan, perubahan dan transformasi. Baik itu terjadi secara sengaja maupun tidak sengaja. Bersamaan dengan itu pula, sepajang sejarahnya, Nusa Utara telah merumuskan prinsip dan identitas kulturalnya. Ribuan karya sastra warisan tradisi dalam bentuk Sasalamate, Sasambo, Kakalumpang, Nalang, Beke-Beke, yang bersumber dari rahim Budaya Laut (Sasahara) dan Budaya Pulau (Sasaili) terus ditutur dan disenandungkan hingga kini.
Nuansa dan ragam karya budaya itu seakan mau mengungkap di mana setiap ladang, pohon-pohon yang rimbun berbuah lebat, laut berlimpah ikan, bintang dan bulan yang menandai musim, suara satwa yang berkabar pesan rahasia dari alam, cerocok dan tanjung sekeramat puncak-puncak gunung, perahu-perahu yang harus dibangun dan dilarung dari dasar ritual dan doa, waktu pasang dan surut juga kisah arus badai yang menerjemahkan gelombang ke dalam pelayaran, mau mengisahkan cerita masa lalu masyarakatnya serta hubungan transendental dengan ilahi pencipta kehidupan. Semua itu terus tersembul seperti mata air spiritual dalam sumur sejarah peradaban bahari negeri itu.
Dari pulau Siau, penulis Barat W. Aebersold, dalam buku “Sangirese tekst met Ned. Vert” In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (1959) menangkap senarai kanon puitik yang kuat dan dalam, pada Sasahola Laanang Manandu (De lange Sasahola).
“Dala Uļu, dala Uļu,
Indala, dala Indala”
(Sana Ulu. Sana Ulu
begitu Indah, di sana begitu Indah)
Sasahola adalah sebuah ragam (lagung) dalam syair-syair Sasambo (puisi). Dalam bait Sasahola di atas, dapat diinterpretasikan ungkapan cinta tanah air, kerinduan pada kampung halaman yaitu kota Ulu, di pulau Siau, dan doa bagi sanak saudara agar hidup senantiasa dalam kebaikan.
Ada 88 bait yang sempat direkam Aebersold pada bukunya. Sasahola Laanang Manandu, adalah semacam senarai panjang yang mengajak pembaca melakukan tamasya historis cultural dari masa migrasi pertama suku bangsa Nusa Utara oleh klan Humansa Dulage – Tendeng Sehiwu (klan Sangil—Philipina Selatan), hingga ke masa berdirinya kerajaan – kerajaan orang Sangihe yang membentang dari Mindanao hingga Buol, Toli-toli. Suatu identifikasi entitas kultural, bahkan untold story yang bisa direposisikan sebagai politik identitas bangsa bahari Nusa Utara.
Disayangkan, kejayaan bahari Bangsa kita pada masa lalu, pada saat ini mengalami keredupan. Setidaknya ada dua sebab terjadinya hal ini, yaitu praktek kebaharian kolonial Belanda pada masa lalu; dan kebijakan pembangunan bahari pada masa rezim Orde Baru. Pada masa kolonial Belanda, atau sekitar abad ke -18, masyarakat Indonesia dibatasi berhubungan dengan laut, misalnya larangan berdagang selain dengan pihak Belanda. Akibatnya budaya bahari bangsa Indonesia memasuki masa suram. Kondisi ini kemudian berlanjut dengan minimnya keberpihakan rezim Orde Baru untuk membangun kembali Indonesia sebagai bangsa bahari.
Pada era kolonialisme terjadi pengikisan semangat bahari Bangsa Indonesia yang dilakukan oleh kolonial dengan menggenjot masyarakat Indonesia untuk melakukan aktivitas agraris untuk kepentingan kolonial dalam perdagangan rempah-rempah ke Eropa. Di tengah ringkih, dan redupnya semangat bahari kita itu, menelusuri jejak moyang Nusa Utara, menjadi perkara yang tak begitu mudah.
Sangihe Talaud atau Nusa Utara, adalah sebutan untuk kawasan pulau-pulau yang saat ini merupakan wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kabupaten Kepulauan Talaud dan Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro di provinsi Sulawesi Utara. Luas keseluruhan kepulauan ini 2.290,76km². Sebagai sisi terutara, kepulauan ini berbatasan langsung dengan negara tetangga Filipina. Di masa VOC- Belanda pada abad ke-17, disebut dengan menggunakan istilah ‘Noordereilanden’, bermakna pulau-pulau Utara (Ulaen, 2016). Namun yang popular disebut sebagai kepulauan Sangihe Talaud. Sebutan itulah yang dipakai sebagai nama kabupaten kepulauan tersebut sebelum dimekarkan menjadi 3 Kabupaten.
Berbagai literatur Eropa, terutama catatan para eskader Spanyol dan Portugis, mencantumkan kepulauan ini dalam peta pelayaran mereka sebagai jalur lintasan perdangan atau “Jalur Rempah”. Namun sebelum pelaut Spanyol dan Portugis melabuhkan kapalnya di pantai-pantai kepulauan ini pada abad 16, satu abad sebelunya, Nusa Utara telah dikunjungi kapal-kapal para pelayar dari China (Ulaen, 2016).
Berdirinya sejumlah kerajaan maritim juga mewarnai sejarah Nusa Utara sejak awal Abad 16 hingga pertengahan abad 20. Dari sembilan kerajaan yang pernah eksis di sana, setidaknya ada 5 kerajaan yang bertahan dan kemudian ikut melebur dalam negera kesatuan Republik Indonesia sejak proklamasi 1945, yaitu Kerajaan Siau (1510-1956), Kerajaan Tagulandang (1570-1942), Kerjaan Tabukan (1530-1953), Kerajaan Kendahe-Tahuna (1600-1953), Kerajaan Manganitu (1600-1942). Tentang kerajaan-kerajaan ini dicatat jelas dalam dokumen pemerintahan Hindia Belanda juga dalam tulisan para misionar Eropa yang pernah bertugas di sana.
Sebagai wilayah yang masuk dalam peta sejarah niaga dunia, yang diwarnai persaingan dagang internasional dan perebutan hegemoni kekuasaan di masa lalu, orang-orang Sangihe Talaud boleh dikata telah ditempa sejarah panjang yang penuh intrik dan kekerasan. Sebagai jalur niaga, Nusa Utara tak lepas dari aksi para perompak. Bahkan hingga kini, pulau-pulau terutara itu masih saja dirubung berbagai persoalan kejahatan transnasional. Nusa Utara sebagai daerah yang dalam sejarahnya berada di area zona panas berbagai kepentingan internasional sejak abad 16 menjadi menarik diperbincangkan. Terutama, mengenai sistem nilai budaya masyarakatnya yang terbukti mampu membimbing dan mengarahkan manusia Nusa Utara dalam mempertahankan eksistensi mereka dari gempuran intrik masa lalu itu hingga membentuk jati diri.
Sebelum dan sesudah era kerajaan-kerajaan di Nusa Utara, masyarakat kepulauan ini hidup dalam tradisi dan budaya mereka yang disebut “Sasahara” dan “Sasaili” (Budaya Laut dan Budaya Darat atau Pesisir). Sasahara dan Sasaili yaitu budaya yang kaya akan nilai kearifal lokal. Di sana akan ditemukan petuah, aturan dan tata cara menjalani kehidupan yang bersumber dari nilai-nilai luhur budaya mereka. Nilai-nilai luhur itu tersirat dan tersurat dalam beragam mitos dewa-dewi di antaranya, dewa laut “Mawendo”, dewa samudera “Tagaroa” (Taghaloang), dan dewa gunung “Aditinggi”. Juga dalam legenda dan kisah sejarah, sastra serta beragam genre seni dalam tradisi mereka. Lewat kekayaan budaya itu, masyarakat Nusa Utara memiliki ingatan bersama (Collective memory) yang merekam gagasan, pandangan hidup, dan apa pun bentuknya tentang keberadaan atau eksistensinya.
Pada awal abad 20, kearifan lokal masyarakat Nusa Utara juga telah tertuang dalam Hukum Adat yaitu: “Atoeran Adat Oentoek Orang-Orang Masehi Boemi Poetera di Poelau-Poelau SANGI” tahun 1917 maupun penyempurnaanya tahun 1932 yaitu “ADAT – REGELING voor Inlandsche Christenen de, Sangihe en Talaud- Eilanden. Ladang budaya penuh isi itu telah mendorong sebuah proses perubahan perilaku masyarakatnya berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective), dan keterampilan (psikomotoric). Sebuah kearifan lokal yang berbentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis.
Kearifan lokal ini bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara semua penghuni komunitas ekologis itu. Dalam kurun yang panjang seluruh kearifan tradisional ini telah dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap sesama manusia maupun terhadap alam.
Masyarakat Nusa Utara adalah masyarakat yang berciri paternalis. Hal tersebut dapat dilacak dalan frasa yang menyatakan “i akang ganting ghaghurang, Ghaghurang ganting Mawu” artinya “Kakak (yang lebih tua) adalah penganti orang tua, dan Orang Tua adalah pengganti Tuhan”. Dari sekian banyak ragam Sasambo, frasa berikut ini juga menggoda disimak: “Ketang manu mengkilo su darorokang” artinya hanya ayam yang mengotori rumah tempat tinggalnya. Di sini dapat dilihat bagaimana kultur bahari dan kultur pesisir Nusa Utara telah menjadi pedoman masyarakat tersebut. Ketika orang-orang di selatan (Sangihe dan Sitaro) memetaforkan praktik kekuasaan tirani sebagaimana perangai raksasa, orang Talaud justru memfabelkannya sebagai babi. Hal tersebut dapat ditelusuri lebih dalam pada cerita rakyat masyarakat pulau Karakelang yang sangat popular, tentang seekor babi bernama “Yologe”. Kekuasaan tirani digambarkan sangat merusak tatanan hidup masyarakat. Sifat rakus yang memangsa apa saja milik masyarakat di kebun kehidupannya. Ini barangkali sebabnya, seorang pelaku kejahatan disebut secara leceh “Wawi” (Babi) dalam tradisi setempat.
Talaud sebuah kepualaun seluas 1.288,94 km2. Diperkirakan telah dihuni manusia sejak ± 6.000 tahun SM, dan membentuk kultur manusia kepulauan, kental dengan nilai kebaharian; “Sansiote Sampate-pate”, menginspirasikan simbol kebersamaan, keberanian dan harapan di hadapan kesulitan. Semua nilai luhur tradisi budaya itu seakan terevitalisasi ke dalam diri masyarakatnya.
Seperti umumnya tradisi masyarakat Nusa Utara, orang-orang Talaud sejak masa purba telah dibimbing oleh suatu ajaran keseimbangan hidup antara manusia dan lingkungan. Masyarakat perbatasan ini menjaga identitas tradisi dan budaya mereka dalam suatu solidaritas organik yang dipelihara oleh keberadaan suatu sistem nilai kebersamaan yang secara historis dibangun melalui tradisi. Praktik kebudayaan yang menjamin terjaganya sebuah komunitas yang lebih besar.
Secara empiris, kepatuhan warga masyarakat Talaud kepada adat dan pada pemuka-pemuka adat atau tokoh masyarakat lainnya sangat kuat. Hal itu terlihat pada keberadaan lembaga adat seperti “Ratumbanua” dan “Inangngu wanua” serta “timmadde ŗuanga” yang mengatur pelaksanaan tradisi dalam kampung seperti pelaksanaan budaya “Eha” atau pantang berkala, yang diberlakukan pada tanaman kelapa pada setiap periode kuartal. Eha, dan tradisi menangkap ikan “Manami dan Mane’e” adalah cermin terbening dalam eksistensi budaya orang Talaud yang masih terpelihara, yang mengatur masyarakat itu dalam mengelola hidup dan sumber penghidupan mereka.Tradisi, kesenian tradisional, bahasa, aturan-aturan adat, dan beragam budaya yang terus hidup dalam masyarakat, sejatinya adalah modal bersama dalam membangun, menjaga dinamika kehidupan masyarakatnya.
Dalam 375 tahun kerajaan Tagulandang yang bermula pada tahun 1570 didirikan oleh Ratu Lohoraung, dan berakhir pada 1945 di masa Raja Willem Philips Jacobz Simbat, tak sedikit jejak sejarah dan warisan tradisi budaya yang menarik.
Di pulau Tagulandang, masyarakatnya masih memelihara tradisi “Meliku Wanua” artinya berkeliling pulau. Tradisi berjalan kaki mengelilingi pulau Tagulandang ini –yang dalam tradisi Sasahara pulau ini disebut dengan nama “Mandolokang– dimaksudkan untuk menjalin silaturahmi dengan sanak saudara serta para kerabat. Sejak era kerajaan Tagulandang, Meliku Wanua dilaksanakan seiring perayaan Tahun Baru. Dalam kegiatan budaya ini samua penduduk saling bertemu, berbagi cerita, saling memberi petuah yang berakar dari tradisi budaya mereka dengan harapan di tahun yang berjalan semuanya boleh meraih kesuksesan hidup dalam kondisi aman dan tentram.
Sementara di pulau Siau ada budaya “Palose” atau “Mepalose”. Palose adalah tradisi budaya bekerja sama antar penduduk dalam melakukan suatu pekerjaan, di antaranya, dalam membangun rumah, perahu, atau mengerkan ladang, serta beragam pekerjaan lain yang membutuhkan keterlibatan banyak orang. Ini sebabnya di Siau ada sejumlah komunitas “palose”. Palose sendiri adalah sebuah kearifan lokal yang mengajarkan masyarakat agar bisa bekerja sama, bahu-membahu melakukan sesuatu, tolong-menolong antar sesama.
Sayangnya –mengutip ungkapan Goenawan Mohamad– saat masyarakat bergerak dengan begitu tenang ke arah modernitas, budaya telah dianggap sebagai pustaka dari masa lampau yang sudah tidak punya makna dalam kehidupan social abad modern. Dalam masyarakat modern, sains dan teknologi diandaikan –secara berlebihan—akan mampu menjawab banyak pertanyaan menyangkut asal muasal alam dan pertanyaan eksistensial lain.
Pandangan itu kemudian dibantah dalam diskursus masyarakat pascamodern yang menganggap sains dan teknologi tidak mampu menjawab semua perkara, terutama menyangkut makna hidup manusia. Ini sebabnya, secara global masyarakat etnik mulai membangun gerak eksodus kembali merambah dan merefleksikan bentuk-bentuk pencarian spiritualitas yang baru, yang ditandai pengkristalan kembali bahkan bangkitnya semangat berciri etnik yang digambarkan secara sempurna oleh John Naisbitt dalam; “Global Paradox” sebagai fenomena yang akan menderas di aras abad 21. Ia menyebutnya sebagai fenomena tribalisme. Suatu exodus besar kembalinya umat manusia ke nilai entitas kultur masing-masing masyarakat.
Ketika Giacomo Gastaldi mencatumkan Sangil (Sangihe) dalam peta yang dibuatnya pada tahun 1528, Kerajaan Siau sudah berusia 18 tahun sejak diproklamasikan oleh Raja Lokongbanua II pada tahun 1510. Sementara kedatuan di pulau Sangihe yang didirikan Datu Gumansaļangi dan Permaisuri Ondaasa sudah berusia 178 tahun sejak berdiri pada 1350. Bahkan kedatuan ini sudah berusia 63 tahun saat Cheng Ho dalam ekspedisi ke IV tercatat sebagai pengelana laut pertama yang melintasi kepulauan Sangihe Talaud dalam 2 tahun pelayarannya sejak 1413 hingga 1415. Pada era inilah sejarah mulai ditulis oleh para pendatang. Pada masa sebelumnya, sejarah lebih banyak tersimpan dalam mite dan legenda.
Demikian mitos dan legenda dalam ribuan tahun Nusa Utara menyajikan jejak tua asal-usul manusia. Bila masuk lebih dalam menelisik aneka budaya lisan di masyarakat Sangihe Talaud, kita dipertemukan dengan cerita jejak nenek moyang lebih unik dan menarik seperti pengakuan adanya para pendatang (homo sapiens) yang dalam bahasa setempat disebut sebagai Ampuang (manusia biasa). Salah satu Ampuang tertua yang disebutkan sumber-sumber Siau adalah Tatetu. Ia diriwayatkan sebagai perpanjangan tangan dewa Aditinggi yang bersemayam di puncak gunung Karangetang. Sebuah kutipan sastra purba yang diperkirakan berasal dari masa Tatetu yaitu “Meno-meno Makisembah” (Menyala-nyala minta disembah). Dari sanalah pada masa yang panjang, masyarakat era para Ampuang, akan memilih seorang gadis perawan untuk dikorbankan sebagai sesembahan kepada dewa Aditinggi.
Selain para pendatang ini juga disebut, ada dua jenis manusia lain yang telah ada di sana dari masa sebelumnya yaitu Ansuang (raksasa), dan Apapuhang (manusia kerdil). Kisah hidup manusia-manusia raksasa hingga kini masih populer di tengah masyarakat setempat, di antaranya sanak keluarga raksasa Bakeng di pulau Sangihe, raksasa Linsaha di pulau Biaro, dan raksasa Onding di pulau Makalehi. Namun untuk dua jenis manusia terakhir itu, hingga kini belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Rujukan terhadap keberadaan mereka masih terbatas pada kepercayaan adanya beberapa artefak seperti bekas kaki dalam ukuran besar yang terpahat di bebatuan yang bisa saja tercipta akibat fenomena alam. Apakah mereka merupakan penyimpangan genetika pada masa itu kemudian diabadikan dalam sejumlah mite dan legenda, ataukah bagian dari karya artistik yang mewakili jiwa zaman di kurun waktu yang lebih mudah? Ini masih sebuah pertanyaan.
Sejumlah legenda pun ikut memperkaya kesimpangsiuran jejak asal muasal manusia Sangihe Talaud. Dari kepercayaan turun-temurun, pulau-pulau Sangihe Talaud konon tercipta dari air mata seorang bidadari. Dari bidadari inilah manusia Sangihe dilahirkan. Ini sebabnya nama Sangihe itu diyakini berasal dari kata Sangi (tangis). Dalam tradisi sastra, “Tatimongang” adalah syair doa pengharapan (penolak bala) orang Nusa Utara. Tatimongang biasanya dinyanyikan saat hati merasa putus asa. Sastra Titimongang yang terindah berasal dari abad XIII karya putri Kulano Wowontehu, Uringsangiang berjudul: “Tatimongang Umboļangi”. Syair itu dituturkannya saat Bininta (perahu) kerajaan yang ditumpanginya hanyut terbawa arus angin selatan. Dalam Tatimongang itu ia memohon agar ayah ibunya serta rakyat kerajaan mendoakan keselamatannya. Uringsangiang adalah putri dari datuk Mokoduludugh, raja kerajaan Wowontehu.
Dikisahkan, ia dan perahunya hanyut dan terdampar di pulau Sangihe. Dari syair tangisannya itu juga diperkirakan nama Sangihe di ambil (Sangi=Tangis). Namun yang terpenting dalam kebudayaan tua Nusa Utara, menangis punya tradisinya sendiri. Baik itu tangisan kesakitan, pedih dan putus asa, serta tangisan duka, sudah ditata dalam bentuk sastra yang teratur. Jadi siapa pun yang menangis, mengikuti tradisi itu. Tak heran kalau ada duka, orang yang menangis, ratapnya kedengaran seperti nyanyian. Di masa itu tangisan adalah nyanyian. Barangkali dari akar budaya itulah Brown, seorang penulis Eropa menamakan kepulauan Nusa Utara (Sangihe Talaud) sebagai “Archipelago of Tears” (Kepulauan Air Mata).
Di pulau-pulau di Talaud, penyebutan Porodisa untuk kawasan itu justru dikaitkan dengan anggapan di mana manusia Talaud adalah keturunan Wando Ruata, yaitu seorang manusia gaib yang berasal dari Surga. Padahal kata Porodisa menurut teori linguistik justru merupakan mutasi neurologist bahasa lisan dari bahasa Spanyol: Paradiso (surga). Kata Sangi di Sangihe sendiri merupakan mutasi dari kata Melayu: tangis. Mite lainnya bercerita tentang manusia yang berasal dari telur buaya. Ada juga yang beranggapan terjadi dari evolusi pelepah pisang Abaka secara mistis menjadi manusia. Kepercayaan terhadap dewa dewi dan sistem nilai budaya orang Sangihe Talaud ini menunjukan adanya persinggung dengan sistem nilai di tempat lain, seperti teori keseimbangan alam, memiliki kesamaan dengan teori Fun She dan Esho Funi dalam pemahaman Hindu kuno, sebagaimana diperbincangkan Toynbee dan Ikeda.
Tentang kepercayaan “Manna” orang-orang Sangihe Talaud, ungkap misionaris D. Brilman, merupakan kepercayaan terhadap adanya kekuatan mekanis dalam alam yang memengaruhi peri kehidupan manusia, bukan tidak mungkin merupakan interpretasi lain akibat mutasi dari pemahaman kaum semitik akan Tuhan. Demikian pula dengan budaya ritual persembahan kurban yang mengunakan simbol darah manusia yang dipukul sampai mati, di Sangihe Talaud masa lalu. Manusia Sangihe Talaud sejak masa purba, juga mengakui adanya zat suci pencipta alam semesta dan manusia yang di sebut “Doeata, Ruata”, juga dinamakan ”Ghengghona”. Di bawahnya, bertahta banyak roh Ompung (Roh penguasa laut), dan Empung (roh penguasa daratan). Dewa-dewi ini berhadirat di gunung dan lembah-lembah, di laut, di sehamparan karang. Di cerocok dan tanjung. Di pohon, dan dalam angin. Di cahaya, bahkan bisikan bayu. Di segala tempat, ruang, dan suasana.
Eksplorasi yang lebih dekat terhadap asal usul orang-orang Sangihe Talaud, yang telah ada saat ini baru sebatas dari masa abad ke 14. Bermula pada periode Migrasi Kerajaan Bowontehu 1399-1500, disusul periode Kerajaan Manado 1500-1678, dan terakhir periode kerajaan-kerajaan Sangihe Talaud dari 1425-1951. Asal usul orang Sangihe Talaud juga diceritakan penulis Amerika Kheneth. Saat dipresentasikan di Universitas California, disebutkan, Gumansaļangi (Upung Dellu) sebagai Kulano tertua kerajaan Tabukan atau Tampunganglawo, yang bermukim di gunung Sahendarumang bersama Ondoasa (Sangiang Kila). Istrinya adalah keturunan dari Humansanduļage bersama istrinya Tendensehiwu, berasal dari Filipina yang mendarat di Bowontehu pada awal mula migrasi Bowontehu, Desember 1399. Gumansaļangi melakukan pelayaran kembali dari Molibagu melalui Pulau Ruang, Tagulandang, Biaro, Siau terus ke Mangindano (Mindanao-Filipina), kemudian balik ke pulau Sangir – Kauhis dan mendaki gunung Sahendarumang, di mana mereka dan para pengikut mendirikan kerajaan Tampunganglawo sebagai kerajaan tertua di Tabukan. Pada periode kemudian melebar hingga ke seluruh kawasan kepulauan Sangihe dan Talaud.
Saudara Gumansaļangi, Bulango, bermigrasi dari Bowontehu menuju Tagulandang di mana keturunannya bernama ratu Lohoraung mendirikan kerajaan Tagulandang pada tahun 1570 dan berkuasa hingga 1609. Lohoraung adalah putri Raja Mokodompis cucu dari Raja Binangkang dari Kerajaan Mangondow.
Lokongbanua II, mendirikan kerajaan Siau pada 1510. Ia adalah keturunan dari kerabat Gumansaļangi, raja Mokodoludut dengan istrinya Abunia dari kerajaan Bowontehu. Sedangkan Raja Bolaang Mangondow pertama, Yayubongkai, adalah juga keturunan Mokoduludut. Hal ini menyebabkan adanya kesamaan budaya dan marga antara orang Bolaang Mangondow dan orang Sangihe Talaud. Perubahan budaya di kedua etnik ini lebih dipengaruhi oleh alkulturasi pasca masuknya agama-agama semitik, (Kristen-Islam) di kedua kawasan etnik itu.
Untuk wilayah Kauhis-Manganitu, semuanya berasal dari keturunan Gumansaļangi hingga keturunannya bernama Tolosang pada 1600 mendirikan kerajaan Kauhis- Manganitu. Demikian pula di Tahuna pada 1580 Tatehe Woba mendirikan kerajaan di sana, juga di Kendahe yang didirikan oleh Mehegaļangi. Raja Kendahe ini anak dari Syarif Mansur dan istrinya Taupanglawo dari Mindanao. Sebelum periode migrasi Bowontehu (Manado Tua) pada 1399, kawasan itu telah dihuni manusia selama enam generasi. Tetapi hal terpenting dalam hubungan kekeluargaan orang Sangihe Talaud dan Bolaang Mangondow, dipercaya karena berasal dari Migrasi Bowontehu.
Berdirinya sejumlah kerajaan maritim juga mewarnai sejarah Sangihe sejak awal Abad 16 hingga pertengahan abad 20. Dari sembilan kerajaan yang pernah eksis di sana, setidaknya ada 5 kerajaan yang bertahan dan kemudian ikut melebur dalam negera kesatuan Republik Indonesia sejak proklamasi 1945, yaitu Kerajaan Siau (1510-1956), Kerajaan Tagulandang (1570-1942), Kerjaan Tabukan (1530-1953), Kerajaan Kendahe-Tahuna (1600-1953), Kerajaan Manganitu (1600-1942). Tentang kerajaan-kerajaan ini dicatat jelas dalam dokumen pemerintahan Hindia Belanda juga dalam tulisan para misionar Eropa yang pernah bertugas di sana. (*)
Discussion about this post