Sangihe, Barta1.com – Proses display karya di Galery Sangihe Art Space Tahuna menghadirkan karya-karya berupa seni visual fotografi yang diikuti oleh beberapa fotografer. Salah satunya fotografer Stenly Pontolawokang yang karyanya cukup diperhitungkan di kancah nasional menayangkan Sangihe sebagai tema dalam lensanya.
Setidaknya ada lima karya fotografi yang dipamerkan oleh Stenly Pontolawokang di Galerry Sangihe Art Space, yaitu Kain Kofo (kain tradisional Sangihe), Musik Oli (musik tradisional Sangihe), Tarian Salo Kapita (sebuah tarian perang suku Sangihe), Menetele Pulu (sebuah tahapan dalam membuat pedang), dan Porno (wadah membuat sagu khas Sangihe).
Stenly ketika dihubungi, Kamis (4/3/2021) menjelaskan bahwa memotret Sangihe merupakan upaya memahami adat dan kebudayaan Sangihe sebagai jati diri orang Sangihe. Hal demikian juga merupakan keresahannya akan begitu sedikitnya literasi visual yang ditemukan saat ini. “Bebarapa foto tua bahkan diakses ke Situs Luar Negeri. Betapa penting literasi visual berupa foto bagi anak anak muda Sangihe,” kata dia.
Lepas dari itu, Stenly yang saat ini aktif di berbagai kegiatan sosial budaya dan juga selaku Pegawai Negeri Sipil di Kepulauan Sangihe, memandang bahwa tanah leluhurnya Sangihe memiliki keunikan tersendiri dari wilayah-wilayah lainnya di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Posisi Pulau Sangihe yang berada di perbatasan membuat kawasan ini unik, daerah yang disinggahi banyak penjelajah dunia punya cerita tentang kejayaan di masa lalu. Tentang kopra, tentang rempah-rempah dan tentang adat istiadatnya. Sebuah daerah lintasan niaga yang kemudian berubah menjadi daerah perbatasan,” ujarnya.
“Tak hanya itu kandungan sumber daya alam dalam hal keanekaragaman hayati, dimana posisi Sangihe yang terpisah dari daratan besar Sulawesi membuat pulau Sangihe punya tingkat endemisitas flora dan fauna yang tinggi, dan ini belum banyak diketahui,” katanya kepada Barta1.com.
Sejatinya dalam setiap karya fotografi yang ia sajikan tentang Sangihe berusaha menyampaikan pesan bahwa Pulau Sangihe yang terpisah dari daratan besar Sulawesi membuat masyarakat mempunyai daya bertahan hidup yang kuat. “Pemahaman tentang tanaman, pemahaman tentang hutan, satwa, pemahaman tentang Laut dan astronomi begitu kuat, dan hal hal itu mulai ditinggalkan seiring berkembangnya teknologi dan pembangunan,” ungkapnya.
Peliput : Rendy Saselah
Discussion about this post