Oleh: Amato Assagaf
Pico della Mirandola adalah nama yang memberi kita hubungan antara Kabbalah dengan Kristianitas. Dia memahami ajaran esoteris Yahudi itu bahkan jauh lebih luas dari tafsir para kabbalis Yahudi sendiri. Dan setelah menelaah dengan mendalam, dia menemukan argumen bagi ketuhanan Yesus di dalam ajaran itu.
Sejak Pico, kita tahu, Kabbalah tak lagi hanya menjadi rahasia sekumpulan kecil yordey ha-merkavah (descenders to the chariot), yakni para saga esoteris yang telah menatap matahari keilahiahan. Ajaran ini menyusup dalam peradaban Barat sebagai ilham bagi para pencari Kebenaran Absolut, mereka yang terbebaskan dari kegelapan goa Plato.
Dalam sejarah esoterisisme Barat, setidaknya kita mengenal dua elaborasi utama atas beragam ajaran Kabbalah di luar yang dikembangkan oleh para kabbalis Yahudi sendiri. Pertama, apa yang disebut kabbalah Kristen (biasa ditulis ‘Christian cabala’) sebagaimana yang diperkenalkan Pico dan kemudian Reuchlin. Kedua, kemunculan kabbalah Hermetik (biasa ditulis ‘Hermetic qabalah’) pada kisaran tahun 1652 lewat Athanasius Kircher, seorang pendeta Jesuit dan hermetisis yang menguasai banyak pengetahuan.
Dalam tulisan ini saya tidak tertarik untuk membahas detail yang membedakan ketiga tafsiran Kabbalah ini tapi saya ingin membuat nyata apa yang seringkali menjadi kontroversi dalam mempelajari sebuah ajaran esoteris, yaitu keengganan setiap gagasan di dalamnya untuk tunduk pada satu tafsiran. Dan ini berlaku bahkan bagi berbagai tafsiran yang tampak berbeda secara diametral.
Sifat metodologi esoteris yang bertumpu pada penggunaan imajinasi kreatif serta pengalaman langsung ketersingkapan sering menyulitkan orang-orang di luar wilayah ini untuk memahami apa yang boleh saya katakan sebagai “keterkaitan antar kontradiksi” itu. Tentu dengan catatan bahwa seorang pembelajar dialektika mungkin tidak akan terlalu sulit memahami kesulitan itu.
Menggunakan Kabbalah untuk menjelaskan keilahiahan Yesus seperti yang diyakini Pico tentunya membutuhkan pencerapan imajinasi kreatif untuk bisa kita pahami. Lebih dari itu adalah pemahaman secukupnya atas perbedaan krusial antara “mengetahui” dan “mempercayai” guna merebut tingkat-tingkat yang lebih tinggi dalam memuaskan kehausan kita akan kebenaran.
Baca tulisan Amato Assagaf bertema Esoterisme di sini
Kristen setelah Kabbalah tidak pernah lagi tinggal seperti apa adanya justru karena kesadaran para pemikir Kristen yang paling soleh bahwa agama yang membeku adalah bahaya bagi agama itu sendiri. Dan ini bukan semata perbedaan antara seorang Kristen konservatif dengan rekan seimannya yang lebih liberal. Ini adalah kisah “dua Paus” dengan sekian pertanyaan yang belum sepenuhnya dipahami.
Titik silang antar sekian pertanyaan itu adalah sumber kegelisahan yang mengantar Pico kepada Kabbalah. Mempertemukannya dengan mitologi esoteris Yahudi yang lebih dari sekadar apa yang umum diterima dan dimodifikasi oleh teologi Kristen serta, nantinya juga, Islam. Dan sebagaimana setiap mitologi esoteris selalu menyediakan ruang kosong bagi pencapaian pengetahuan-eksperiensial (gnosis), mitologi esoteris Yahudi dalam Kabbalah mempertemukan Pico, lewat gnosis yang mencekam, dengan kebenaran Yesus sebagai Tuhan.
Dalam hal ini, Kabbalah memberikan pengetahuan, bukan menuntut keyakinan. Tapi seperti yang diingatkan Plato, ketinggian pengetahuan membutuhkan penetrasi yang mendalam atas kepercayaan. Ajaran yang akan gagal dipahami oleh rasio filosofis ini, dalam cara yang sama sekali tidak mengherankan, menjadi dasar dari elaborasi Kabbalah Yahudi itu sendiri.
Menyingkap yang terlarang…
Ada dua hal yang terlarang bagi elaborasi pengetahuan keagamaan dalam literatur talmudik-midrashik tradisional. Pertama, ajaran tentang penciptaan; apa yang dalam Talmud disebut ma’aseh bereshit (the work of genesis). Kedua, deskripsi visi Ezekiel atas kereta surgawi yang disebut ma’aseh merkavah (the work of the chariot). Kabbalah adalah penyingkapan atas kedua rahasia terlarang ini. Dan itu berarti sebuah tantangan atas ortodoksi.
Demikianlah, setelah mencapai dunia Kristen Eropa pada abad 15, ajaran magico-mysticism dengan kapasitas gnosis yang sangat luar biasa ini kemudian mengambil jalannya sendiri yang, tentu saja, jauh dari riuh rendah misi berbagai agama untuk mewujudkan terang dunia. Di lingkungan kaum Yahudi sendiri, Kabbalah adalah sebuah tantangan yang kini bahkan menyentuh hati para selebriti dunia seperti Beckham dan Madonna.
Dan jika ada yang bertanya, “apa itu Kabbalah?” Secara pribadi saya ingin menjawabnya sebagai segala sesuatu yang dibenci para awam dari Kebenaran. Dan itu belum termasuk muasalnya sebagai ajaran Yahudi yang tentu menyediakan peluang bagi para pecinta teori konspirasi untuk menyusun narasi khayali mereka yang senantiasa menyala-nyala.
Kita boleh menyebut Kabbalah sebagai ajaran mistik Yahudi, meski kita juga harus menyadari adanya narasi historis lain dari bangun ajaran ini yang melihat peran Yahudi hanya sebagai bagian yang kebetulan penting dari perjalanan sebuah ajaran esoteris yang lebih jauh ke belakang dan beririsan dengan berbagai mitologi serta gagasan non-Yahudi, seperti misalnya Platonisme dan Hermetisme.
Apa yang hendak disampaikan lewat narasi alternatif ini, jika kita ringkas, adalah peringatan akan posisi Kabbalah yang tak bisa dipisahkan dari Tradisi, yaitu sebentuk struktur historis-mitologis dari ajaran esoteris yang bertumpu pada keyakinan akan adanya apa yang disebut sebagai “kebenaran kuno dan kekal” yang di dunia Eropa abad ke 15 disebut prisca theologia dan/atau philosophia perennis. Dan harus saya ingatkan di sini, imajinasi mitologis ini tidak harus identik dengan Tradisionalisme Rene Guenon atau Perennialisme Frithjof Schuon.
Discussion about this post