Judul: Jarak Sosial dan Budaya Jabat Tangan
Jabat tangan tak dapat dipungkiri telah menjadi kebiasaan sebagian besar umat manusia, dan telah berlangsung ribuan tahun di berbagai penjuru bumi.
Di beberapa etnik di Sulawesi Utara, di antaranya Minahasa, Sangihe, Bolaang Mangondow, Gorontalo, jabat tangan adalah penanda hubungan silaturahmi, persahabatan, kekerabatan, cinta dan kasih sayang. Bahkan di kalangan anak muda yang sedang jatuh cinta, jabat tangan telah menjadi kebiasaan awal mereka menjalani proses pacaran. Tanpa jabat tangan, hubungan pacaran itu terasa tidak sah.
Sementara secara universal, jabat tangan telah menjadi penanda kesepakatan banyak orang, baik dari segi politik atau bisnis. Kebiasaan ini boleh dikata telah mandarah daging dan sulit ditepis begitu saja.
Pasca-wabah Covid 19 merebak. Saat jarak sosial pun sudah terasa sulit, kebiasaan jabat tangan benar-benar hilang.
Di Mesir kuno, Mesopotamia, dan Yunani, penggambaran berjabat tangan atau memperlihatkan tangan terbuka sudah menjadi tanda kepercayaan yang muncul dalam seni dan sastra sejak ribuan tahun lalu. Cara ini digambarkan dalam bentuk relief batu Babilonia dan puisi karangan homer mengenai tradisi Yunani.
Para ahli mengatakan, bahwa berdasarkan asal-usulnya, di era lampau siapapun yang menunjukkan tangan kosongnya kepada orang lain menunjukkan bahwa mereka tidak berbahaya (membawa senjata), sehingga dapat dipercaya.
Saat ini, berjabat tangan telah menjadi standar global sebagai salam dan kesepakatan dalam bisnis.
“Meskipun jabat tangan tidak benar-benar digunakan untuk memastikan apakah orang tersebut membawa senjata atau tidak, cara ini digunakan sebagai sinyal bahwa mereka menunjukkan niat baik.” kata Juliana Schroeder, profesor di Universitas California.
Penelitian Schroeder menunjukkan bahwa orang-orang lebih bersedia bekerjasama dengan mereka yang berjabat tangan pada saat negosiasi. Hal tersebut menandakan adanya rasa kepercayaan dan kerja sama.
Tentu saja kebiasaan ini tidak dianut semua bangsa. Jepang, memilih salam non-fisik seperti membungkuk. Italia dan Prancis dengan cium pipi kanan-kiri.
Saat ini pemerintah sudah cukup kewalahan dalam mengimbau masyarakatnya untuk melakukan jarak sosial, apalagi meyakinkan mereka untuk berhenti berjabat tangan selamanya.
Para ahli penyakit menular sepakat bahwa kebutuhan dasar seseorang akan adanya interaksi fisik merupakan sikap yang sepenuhnya alami.Namun saat seperti ini, boleh dikata merupakan periode tidak nyaman untuk berjabat tangan.
Ada dua hal alami yang nampak hilang di era pandemi, pertama kebutuhan seseorang untuk berinteraksi melalui jabat tangan, kedua keharusan seseorang untuk menaati peringatan pemerintah terkait kebiasaan ini.
Dalam sebuah penelitian ilmiah, disebutkan bahwa jika seseorang yang ingin berjabatan tangan namun ditolak, secara psykologis membuat orang pertama yang melakukannya merasa tidak nyaman.
Sementara para ahli sepakat bahwa yang penting dari jabat tangan bukan semata-mata jabat tangannya, melainkan pesan universal yang disampaikannya, yaitu kerja sama dan koneksi.
Gregory Poland, seorang ahli penyakit menular dari Klinik Mayo AS, menyarankan cara lain untuk menggantikan jabat tangan seperti menganggukkan kepala sebagai bukti salam, atau salam menggunakan siku lengan. Namun cara seperti ini tetap saja dirasa canggung untuk dilakukan.
Lantas apa pilihan kita di era di mana jarak sosial harus kita patuhi? Tak lain yaitu jika kita masih merasa adanya kebutuhan untuk beradaptasi, sebagai manusia, kita seharusnya mampu berinteraksi dengan atau tanpa barjabat tangan. (*)
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post