Oleh: Sovian Lawendatu
Sedari proses penjudulan buku kumpulan puisinya, penyair Jane Anastasia Angela Lumi sanggup menyihir publik pembaca dengan penggunaan kata-kata yang khas bikinannya sendiri. Ia tidak menggunakan frase “bahasa hati”, misalnya, hal yang terkesan sudah cukup umum. Ia justru menggunakan frase “Jalan Hati”. Dengan begitu Jane memperlihatkan kreativitasnya sebagai penyair.
Memang, adalah hukum kreativitas yang mewajibkan penyair untuk tampil secara khas. Cara ini lebih tampak lagi dalam muatan bukunya, dalam puisi-puisi Jane. Itu sebabnya, pembaca sering dibuat “terkecoh” dan “kesasar” ke rimbun dedaunan makna, mana kala mengikuti alur pikiran penyair Jane. Dalam arti ini, Jane mencapai titik profesionalitas sebagai penyair: ia piawai menjaga “jarak”nya dengan pembaca karena ia insyaf bahwa dunia penyair berbeda dengan dunia pembaca, kendati keduanya saling membutuhkan dalam proses pemaknaan realitas hidup.
Tentang itu saya bisa menyodorkan banyak “babuk”. Tapi cukuplah kiranya saya menukilkan beberapa contoh dari dalam satu puisi. Kita ambil saja dari dalam puisi Jane yang berjudul “Kau, Pagi, dan Kata”.
Pagi yang embun
canda riang para burung
seperti impromptu
dalam komposisi musik semesta.
Kopi tersisa ampas
aku tenggelam dalam kitab makatara
jika bisa kusebut samudera
ia palung terdalam kata kata.
(hal. 35)
Judul puisi ini khas Jane. Pembaca yang kebanyakan atau yang ketat dengan nalar yang logis formal niscaya mengerutkan dahi ketika menghadapi pemadanan kata-kata “Kau, Pagi, dan Kata”. Tapi, apa boleh buat, sang penyair telah memadankannya, sehingga tercipta “jarak” antara dirinya dengan pembaca.
Lantas di larik pertama, penyair Jane berkata “Pagi yang embun”. Pelesapan morfem terikat dalam bentuk imbuhan ber- jelas menyimpangi tatanan normal kebahasaan yang terbentuk secara konvensional, yang nota bene dibela oleh kaum gramatikos. Ini, pada gilirannya, “mengecoh” dan “menyasarkan” pembaca ke ambiguitas makna, ke ruang ketidakpastian.
Hal serupa terjadi pula pada penggunaan kata “para” untuk burung, disusul dengan simile (perbandingan tak langsung) antara “canda riang para burung” dengan “impromptu dalam komposisi musik semesta”. Demikian pula simile di bait kedua, yang menyamakan kedalaman makna puisi-puisi Iverdixon Tinungki dalam buku kumpulan “Makatara” dengan “palung terdalam” di samudera puisi.
Dalam proses pembacaan terhadap buku Jane ini, saya bertanya, apakah maksud sang penyair dengan “jalan hati”? Kunci jawaban dari tanyaan ini ada di bait pertama puisi “Ketika”:
ketika harus memilih perjalanan
aku harus memilih
jalan kembali pada hati
di sana jejak-jejak hujan
menjelma fontana segala padang
(hal. 34).
Maksud Jane dengan “jalan hati”, bila dibaca dari konteks puisinya ini, bersifat normatif. Bagi dia, hati (manusia) mesti digunakan sebagai sumber kebaikan dan kebajikan. Pendek kata sebagai ruang (maha)kudus bagi Tuhan, Sang Roh Kudus. Jadi, dalam keseluruhan konteks puisi-puisi Jane, kata “jalan hati” tidak merujuk ke gejolak-perasaan yang beraneka (semisal kesunyian dan kegalauan), tetapi pada karakter penyair yang mencinta atau mengasihi Tuhan dan sesamanya, juga alam sekitarnya.
Jane punya bakat istimewa di bidang musik. Tak heran, puisi-puisinya dibangun dengan imaji musik. Penyair ini pun rupa-rupanya pencandu berat kopi. Maklumlah, imaji kopi mewarnai penulisan banyak puisinya.
Jane punya guru kreatif. Namanya Iverdixon Tinungki. Maka dimafhumi, jika pada awal sejarah kepenyairannya, Jane dibayangi pengaruh kreativitas gurunya. Saat ini, Jane, bisa dikata, sudah mandiri, ia menempuh jalan estetikanya sendiri, kendati ia tetap mengagumi hasil karya gurunya yang selalu tampil “flamboyan” bercampur “bougenvil” itu.
Penyair Jane, seperti tersirat pada pernyataan saya di atas, piawai dalam hal diksi yang khas miliknya sendiri. Hanya terkadang ia abai dengan menghadirkan kata-kata yang amat prosais dalam puisinya, seperti “meneliti” , “mengamati”, “menuntaskan”, “masyarakat”, “kecenderungan”, dan “dikelola”.
Hal lain yang barangkali perlu Jane “pertimbangkan lagi” ialah kegemarannya dalam penggunaan kata-kata abstrak yang galib digunakan dalam esai dan artikel. Misalnya : “keingintahuan” dan “ketakberaturan”. Begitu pula kata-kata ulang yang bernilai pemborosan atau tautologis seperti “perbincangan-perbincangan”.
Bitung, 19072020
Discussion about this post