Oleh: Ebenhaezer Katihokang
Hari telah menunjukkan pukul 07.00 WITA orang-orang mulai sibuk mempersiapkan diri, ada yang memasak, menyetrika, menyapu dan ada yang mulai mandi. Masing-masing menyiapkan diri serapih mungkin untuk menyambut sesuatu.
Jam dinding menunjukkan pukul 09.00 WITA semua sudah rapih dan siap di tempat duduk masing-masing sambil memperhatikan siaran tv dan hanphone. Ternyata yang mereka tunggu adalah waktu untuk beribadah. Hari ini ternyata hari minggu. Maklumlah kalender di rumah kayaknya “merah semua” karena semua kegiatan dilakukan dari rumah masing-masing “serasa libur”.
Dimasa pandemik ini semua kegiatan dilakukan dari rumah. Bekerja, beribadah dan belajar dari rumah. Dan salah satu media yang paling cocok di masa ini adalah media online. Penyedia jasa internet, IndiHome dan Binzet mencatat lonjakan lalu lintas (traffic) data dan pengguna baru sejak masa pandemik ini makin meluas dan meningkat 30 sampai 40 persen dibanding masa sebelum pandemik. Melihat hal itu, Gereja-gereja mulai memanfaatkan media sosial untuk dijadikan “mimbar” pemberitaan injil. Namun muncul pertanyaan, apakah kualitas ibadah virtual itu dapat dirasakan oleh jemaat atau tidak?
Hakikat peribadatan adalah bentuk perjumpaan/komunikasi/ucapan syukur/pelayanan umat kepada Tuhan. Kata ibadah, misalnya ibadah minggu, berasal dari bahasa Arab, yakni ebdu atau abdu (abdi= hamba). Kata ini sejajar dengan kata bahasa Ibrani, abodah (ebed=hamba), yang artinya perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Tuhan.
Oleh karena itu fakta-fakta dalam Alkitab sudah menunjukkan kondisi apapun yang terjadi dalam hubungan dengan peribadatan tidak menggoyahkan umat perjanjian lama dan perjanjian baru diawal itu untuk berubah, apakah ibadah itu dilakukan di bait suci atau di rumah. Contohnya pada saat umat Israel berada dalam perbudakan di Mesir, situasi ini tidak menghalangi mereka untuk beribadah kepada Tuhan.
Begitupun ketika mereka berada dalam pembuangan di Babilonia, situasi dalam pembuangan tidak menghalangi dan tidak merubah makna peribadatan bagi Israel. Demikian juga di zaman perjanjian baru ketika Bait Suci dihancurkan atau saat mereka berada dalam penindasan oleh pemerintah Romawi tetap mereka mengambil kesempatan beribadah entah itu di rumah, sinagoge atau gua tempat persembunyian, mereka tetap beribadah.
Beribadah di masa pandemik seperti ini, apakah hakikat peribadatan akan berubah? Situasi dan kondisi serta bentuk penyajiannya bisa saja berubah, tetapi hakikat ibadah tetap tidak berubah. Bukan karena beribadah ditempat yang bagus atau tidak, teknologinya lebih canggih atau tidak, SDM-nya lebih handal atau tidak. Ibadah tetaplah ibadah.
Dalam hubungan dengan sarana peribadatan termasuk musik didalamnya, apa hakikat musik dalam peribadatan. Musik adalah sarana untuk menunjang tujuan peribadatan. Tujuan peribadatan adalah agar seluruh umat dapat berkomunikasi dengan Tuhan serta merasakan kehadiran Tuhan melalui musik. Sebagai sarana, musikpun harus diatur/ditata dengan baik. Pemberian diri serta kualitas SDM yang terlibat dalam pelayanan musik juga harus diperhatikan.
Menyikapi maraknya ibadah virtual yang dilaksanakan saat ini tentu ada kelebihan dan kekurangannya. Realitanya, hal ini masih dianggap baru bagi sebagian jemaat dan butuh proses penyesuaiannya.
Masing-masing berusaha menampilkan hasil yang baik. Segala cara diupayakan untuk mencapai itu. Tetapi ada juga yang meskipun dengan perlengkapan seadanya berusaha untuk melakukan ibadah virtual. Termasuk penyajian musiknya pun demikian.
Bagaimana musik dalam ibadah virtual dan ibadah komunal. Keduanya jika dibandingkan mempunyai perbedaan, antara lain:
- Kualitas bunyi musikal. Penyajian musik dalam ibadah komunal dapat ditangkap secara langsung oleh jemaat, sementara untuk ibadah virtual di transmisi lewat jaringan internet. Contohnya keaslian bunyi piano atau keyboard yang dipakai, jika didengar langsung dalam ibadah komunal ada perbedaan bunyi musikal dibandingkan dengan ibadah virtual.
Dari segi tempo dan dinamika, dalam ibadah virtual bisa saja diterapkan tetapi hasil yang keluar tidak seperti yang ditangkap secara langsung dalam ibadah komunal. - Interaksi musik dalam ibadah virual seperti ada jarak (karena di transmisi lewat jaringan internet). Kalau dalam ibadah komunal lebih terasa karena ada komunikasi langsung dengan jemaat.
- Suasana peribadatan. Dalam ibadah komunal suasananya langsung dinikmati/dirasakan oleh anggota jemaat. Sedangkan ibadah virtual, jemaat harus menyesuaikan lagi karena suasananya berbeda. Jika jemaat tidak fokus dengan ibadah bisa saja ibadah virtual “hanya jadi tontonan”.
Hal-hal tersebut diatas perlu disikapi oleh pengambil keputusan dimasing-masing jemaat agar supaya kualitas ibadah virtual lebih baik dan meningkat dengan cara:
- Mau ataupun tidak, jemaat harus menyesuaikan diri dengan ibadah virtual baik liturgi ibadah maupun penyajian musiknya.
- Konsentrasi penyajian musik oleh para pemain musik, penyanyi atau jemaat yang bernyanyi harus diupayakan suasananya meskipun dalam ibadah virtual, jangan sampai kerinduan untuk memuji dan mengagungkan nama Tuhan menjadi berubah.
- Vasilitas/peralatan multimedia perlu diperhatikan.
- Memberdayakan SDM dalam jemaat yang punya kompetensi dibidang multimedia.
Apapun situasi dan kondisi seperti pandemik covid-19 saat ini ibadah tetaplah ibadah. Kita harus mengkonsentrasikan pikiran, perasaan dengan benar dan tertuju kepada Tuhan untuk beribadah.
Penulis, mahasiswa Program Studi Pendidikan Musik Gereja, Institut Agama Kristen Negeri Manado
Discussion about this post