Bahwa panggilan nurani kemanusiaan bisa menggerakan seseorang dari sebuah belahan dunia ke belahan dunia yang lain. Demikianlah kisah kehidupan dr Gyula Cseszko, sang pendiri rumah sakit Liungkadage, Tahuna.
Di Tahuna, di zaman di mana penghargaan terhadap sejarah mulai luntur, dan generasi terkini lebih memilih menyandarkan hidupnya menuju masa depan lewat tuntunan kepraktisan mesin algoritma, bisa jadi karya-karya kemanusian Cseszko tersuruk, senasib masa lampau yang enggan diingat.
Dan apabila membayangkan Cseszko, tak mungkin meluputkan seseorang membayangkan Hongaria. Sebuah negara di daratan Eropa tengah. Terletak pada Basin Carpathia dan berbatasan dengan Austri di sebelah barat, Slowakia di sebelah utara, Ukraina di sebelah timur, Rumania di sebelah tenggara, Kroasia dan Serbia di sebelah selatan, Slovenia di sebelah barat daya.
Negeri Cseszko ini dalam sejarahnya disebutkan, setelah masa pendudukan bangsa Celtic, Roman, Hun, Slavia, Gepid, dan Avar, kerajaan Hongaria terbentuk pada akhir abad ke-9 oleh pangeran agung Hongaria Arpad. Cucunya, Santo Stephen I naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 1000 M, mengubahnya menjadi kerajaan Kristen. Kerajaan Hongaria bertahan hingga 946 tahun dan pada beberapa waktu menjadi pusat kebudayaan dunia Barat. Setelah Perang Mohacs dan pendudukan oleh Kesultanan Utsmaniyah (1541-1699), catat Wikipedia, Hongaria menjadi bagian dari Kekaisaran Habsburg, yang kemudian membentuk bagian dari Kekaisaran Austro-Hongaria. Baru pada 23 Oktober 1989, Hongaria kembali menjadi republic parlementer yang demokratis.
Tahun-tahun sebelum kedatangan Dr. G. Cseszko, wabah malaria, kolera, dan cacar sedang merajalela, mengakibatkan banyak kematian di Sangihe dan pulau-pulau sekitarnya. Brilman menggambarkan, penderitaan penduduk akibat sakit penyakit kadang-kadang tak terlukiskan dengan kata-kata. Klinik-klinik zending dikepulauan itu dibuat kelimpungan melayani kondisi kesehatan masyarakat, apalagi tanpa kehadiran seorang Dokter. Ribuan bayi atau 40 persen dari bayi yang baru lahir dan menyusui meninggal dunia.
Perang Dunia I belum lama berakhir ketika Cseszko menyatakan bersedia mengabdi di Sangihe. Di Hongaria sendiri masih nampak dampak dari perang global yang melibatkan 70 juta tentara militer, termasuk 60 juta orang Eropa, yang kemudian mengakibatkan 9 juta prajurit gugur itu. Di tengah kesulitan itu Komite Zending Sangihe berjuang keras mendapatkan seorang dokter dari Eropa untuk melayani 150.000 penduduk di kepulauan ini.
Karena tidak ada dokter Belanda yang bersedia, akhirnya pada 1931 Dr. G. Cseszko, dokter Kristen yang masih berusia muda dari Hongaria menyatakan kesediaannya melayani penduduk di bidang kesehatan untuk wilayah Zending Sangi. Kedatangan Cseszko bersama istri dan anaknya di Tahuna disambut dengan penuh kegembiraan. Ia kemudian membangun rumah sakit Landschap Tahuna. Sebuah pasar amal yang diadakan untuk mengumpulkan dana pembangunan perluasan rumah sakit berhasil mengumpulkan dana 1000-an gulden.
Sekian tahun kariernya, dokter zending ini dengan penuh gairah melayani masyarakat terutama memerangi malaria, frambusia, penyakit cacingan, tuberkulose, perawatan luka-luka, penyakit-penyakit dalam yang parah, termasuk melakukan pembedahan.
Nasib Tragis Keluarga Gyula Cseszko
Rumah Sakit Liungkendage, masih berdiri tegak hingga saat ini di Kota Tahuna. Pendirinya Emma Rosza Haday von Oerhalma dan suaminya dokter Gyula Cseszko, utusan lembaga gereja Eropa sebagai tenaga dokter Zending di Sangihe. Perkawinan mereka dikarunia 4 orang anak yaitu Emma (lahir 1931) Eva (lahir 1934) Gyula (lahir 1936) Jozsef (lahir 1939). Setelah dua tahun melayani misi kemanusiaan di Sangihe Talaud, mereka merintis pembangunan Rumah Sakit Liungkendage yang dimulai pada 10 Januari 1933. Di tengah himpitan situasi ekonomi akibat perang dunia kedua saat itu, Gyula Cseszko akhirnya berhasil mewujudkan impian mereka dengan berdirinya rumah sakit bagi penduduk kepulauan ini.
Namun Emma Rosza Haday von Oerhalma tentu tak menyangka hidupnya bakal berakhir di ujung samurai. Selama 3 tahun pendudukan Jepang (1942-1945) di Sangihe Talaud, telak mengakhiri karier tenaga zending asal Hongaria ini beserta keluarganya. Malang tak dapat dielak, pada 29 Maret 1944 dokter Gyula Cseszko ditangkap Kempetai. Ia dituduh melakukan kontak dengan Sekutu serta konon pernah meneriakkan ‘Hidup Ratu’ (Ratu Belanda Wilhelmina) beber situs Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe SangiheKab.go.id.
Di Tahuna beredar kabar di mana dokter Gyula Cseszko langsung dieksekusi pada hari itu juga. Namun kabar tersebut dibantah putrinya, Emma Cseszko. Menurut kesaksian putrinya tulis situs itu, ia melihat dokter tersebut di Airmadidi ketika diseret dari mobil, dan sebulan kemudian ada di penjara Tondano. Kata putrinya lagi, dokter Gyula Cseszko meninggal di kamp interniran Tondano setelah luka parah terkena pecahan bom yang dijatuhkan Sekutu.
Sementara Istrinya Emma Rosza Haday von Oerhalma masih tetap bekerja di rumah sakit Lingkendage setelah suaminya ditangkap. Seperti juga nasib suaminya, ia didera rumor memiliki radio yang sebenarnya tidak dipunyainya. Pada tanggal 8 Agustus 1944 ia diciduk Kempetai Tahuna, tanpa diperiksa, disiksa bahkan disirami air keras dan dipukuli, tulis situs tersebut.
Pada 9 November 1944, Emma Rosza Haday von Oerhalma akhirnya merenggang nyawa di ujung samurai bersama sejumlah Raja dan tokoh masyarakat yang ikut dieksekusi hari itu. Nasib Tragis Keluarga Gyula Cseszko akhirnya menjadi kabar yang menyentak dunia ketika Surat Kabar bergengsi yang terbit di Singapura The Straits Times edisi 21 Agustus 1947 dan 22 Mei 1955 menurunkan tulisan veteran Richard Hardwick tentang kisah tragis keluarga Cseszko.
Pasca kematian orang tua mereka, anak-anak dokter Gyula Cseszko dirawat Bidan asal Tagulandang, bekas murid dokter Gyula Cseszko di Minanga, tulis Adrianus Kojongian dalam “Misteri Kematian Raja-raja dan Tokoh SaTal”. Emma, Eva, Gyula dan Jozsef baru bisa diselamatkan pada Maret 1945 oleh tentara Sekutu. Saat keresidenan Manado dan Sangihe masih dikuasai Jepang, kondisi mereka sangat menyedihkan. Menderita penyakit tropis dan gizi buruk dengan tubuh penuh bisul. Paling parah adalah Emma selain lemah dan ketakutan ia pun menderita disentri akut dan terus menerus pingsan. Mereka akhirnya diterbangkan diam-diam dengan pesawat Katalina oleh Sekutu ke pulau Morotai lalu ke Australia.
Penulis : Iverdixon Tinungki
Discussion about this post