Di pesisir kampung Peling, ada jejak kaki berukuran besar di bebatuan. Sepelempar pandang ke laut, sebuah pohon tumbuh di batu Kasahu. Benarkah itu artefak dunia mitologis para raksasa dari era pra-sejarah di pulau Siau?
Lantas, apa reaksi anda bila tiba-tiba ada seseorang menyatakan kincir angin adalah sejatinya sosok raksasa? Lalu ia memgajak anda untuk gabung berperang melawan sang kincir angin? Itulah yang membuat saya terpingkal-pingkal di suatu hari di tahun 2018 oleh Haz Algebra. Pasalnya, sahabat saya yang dokter sekaligus penulis jenius ini mengirimi saya sebuah tulisan membedah kisah kekonyolan tokoh Alonso Quixano dalam novel El ingenioso hidalgo Don Quixote de la Mancha. Tokoh fiksi dari penghujung Abad Pertengahan Eropa ini menganggap kincir angin sebagai sosok raksasa yang harus diperanginya. Terhibur oleh gaya penulisannya yang segar penuh banyolan yang cerdas, saya menjadi sadar bahwa dongeng raksasa tak selamanya datang dari era pra-sejarah.
Demikian di Nusa Utara. Di tengah alam natural nan indah dan lembut, selalu ada kisah unik bahkan antagonis. Begitu saat saya menyambangi tempat-tempat penuh dongengan di kepulauan itu. Dongengan seakan mengisi ruang indah dari seni hidup. Selalu ada sesuatu yang ingin diucapkan oleh hati nurani zamannya lewat dongengan. Cerita-cerita yang diciptakan di tengah kemurungan. Para leluhur Nusa Utara seakan sangat percaya pada kekuatan dan ketajaman kata-kata. Lewat dongengan mereka tampil sebagai jiwa zaman. Di tengah data-data masa lampau itu, setidaknya saya bisa meyakini sebuah asumsi yang menyatakan bahwa seorang seniman selalu punya sesuatu untuk dikatakan lewat karyanya. Maka para leluhur Nusa Utara adalah para pencerita yang mewariskan dongengan menuju hari baik di esok hari, berupa kisah-kisah menakjubkan dari dunia nan hening namun menarik. Dan tanpa dongeng, dunia terasa menjadi suram di sana.
Mite raksasa sejatinya setua peradaban manusia. Dikisahkan sejak era mitologi bangsa Yunani hingga masa Nabi Nuh sebagaimana dicatat Kejadian pasal 6 dalam Bible. Dalam sumber mitologi Yunani, Cyclops, dikenal sebagai titant, merupakan makhluk bertubuh raksasa dan bermata satu yang merupakan anak dari Uranus dan Gaia, dewi perwujudan bumi. Dalam mitologi Hindu, makhluk sejenis raksasa disebut Detya, Yaksa, Asura, dan Rakshasa. Beberapa di antara mereka berwujud manusia dan disebut “Manusyha Rakshasa”. Dalam kitab Ramayana disebutkan mereka adalah makhluk yang diciptakan dari kaki Brahma. Dewa Brahma juga dikatakan pernah memberikan berkah kepada raksasa yang memujanya, seperti Wibisana, Hiranyaksa, dan Hiranyaksasipu. Dalam folklore orang-orang Nusa Utara dikenal nama-nama raksasa (ansuang) seperti Bakeng, Kila, Linsaha, Onding, Helping, dan Wangkoang.
Nyaris dalam semua peradaban manusia antar bangsa selalu nampak kehadiran dongeng raksasa dalam kisa-kisah rakyat mereka. Kaum raksasa digambarkan sebagai manusia-manusia bertumbuh besar yang di antaranya mendiami dunia bawah tanah. Raksasa digambarkan sebagai makhluk supernatural, atau orang-orang berjiwa jahat pemakan daging manusia. Kata raksasa sendiri bermakna kekejaman, dan sebagai lawan dari kata raksa bermakna sentosa.
Sebagaimana di Peling, didongengkan sebagai jejak raksasa Linsaha dan Onding, di Kota Tahuna, penduduk setempat akrab dengan kisah Bakeng. Kendati artefak mitologis yang dipercaya sebagai celana sang Bakeng di punggung gunung Awu tak lebih dari hamparan bukit batu yang luas dan besar ungkap Rikho Sidangoli (23), aktifis lingkungan yang sedikitnya sudah 26 kali mendaki gunung dengan jenis strarovolcano yang menjulang 1320 meter dari permukaan laut di pulau Sangihe itu.
Di Talaud, selain dikenal sosok raksasa Wangkoang, penduduk Karakelang juga mengoleksi kisah makhluk raksasa seperti Yologe yaitu sejenis babi yang ukuran besarnya beragam. Jenis Sandapa panjangnya satu depa atau lebih dari satu meter. Jenis Santariup panjangnya dua depa atau mendekati tiga meter. Jenis Sanding Porong’nga panjangnya lima depa atau lebih dari enam meter. Jenis Salareang panjangnya tujuh depa atau mendekati sembilan meter. Lalu jenis Sabtani’a panjangnya sepuluh depa atau kurang lebih dua belas meter.
Kendati cukup tersedia narasi para sejarawan yang mengaitkan dongeng raksasa ke dalam jejak asal usul nenek moyang orang-orang Nusa Utara, namun tak sedikit data yang membantah klaim itu. Dan Sebagai tanah lahir kedua, lanskap pulau Siau tak asing bagi saya. Namun meletakan raksasa Onding dan Linsaha sebagai makhluk mitologi pra-sejarah di Siau bahkan di Nusa Utara, sebagaimana jejak arkeologis di Peling, bisa jadi sebuah kekeliruan historis. Bila menelisik sejumlah sumber secara mendalam, di antaranya buku karya H. B Elias (1973), Max Sudirno Kaghoo (2016), bahkan buku Cerita Rakyat Sitaro yang dieditori Mister Gidion Maru, lengenda ini bisa jadi tak lebih tua dari kisah Don Quixote dalam novel: El ingenioso hidalgo Don Quixote de la Mancha (Bangsawan Jenius Don Quixote dari Mancha) karya satiris Spanyol, Miguel de Cervantes, atau Macbeth karya Shakespeare yang dirilis pada tahun 1606.
Mengutip folklore yang menceritakan kehadiran manusia raksasa, buku “Bulan Sabit di Nusa Utara”, memasukan raksasa Onding dan Linsaha, termasuk Ansuang Kila, dalam deretan nenek moyang pra-sejarah orang-orang Nusa Utara. Menyeret mundur legenda raksasa di Nusa Utara ke era pra-sejarah harus ditinjau ulang, karena jenis dan karakter manusia bertubuh besar antagonis ini lebih mirip karya artistik ketimbang makhluk mitologis. Lebih mirip dan sezaman raksasa kincir angin di mata tokoh fiksi Alonso Quixano yang dikarakterkan pengarang Spanyol Miguel de Cervantes, menjelang abad ke 17.
Menurut sumber yang telah disebutkan, raksasa Onding, Linsaha, termasuk Ansuang Kila, dinyatakan hidup sezaman dengan Laksamana Hengkengunaung, panglima perang kerajaan Siau era raja Winsulangi hingga raja Batahi yang hidup antara tahun 1590 hingga 1668. Dalam catatan Kaghoo, Hengkengunaung mulai berkiprah di lingkungan istana kerajaan Siau saat berusia 20 tahun (1610). Ia mendapatkan gelar Laksamana dari Raja Winsulangi (1591-1631). Lewat sejumlah perang yang dimenangkannya, ia berhasil memperluas wilayah kerajaan Siau hingga masa Raja Batahi (1639-1678). Pada era itulah disebut H.B. Elias: “Dibantu kesaktian musik magis Olri dari istrinya, Hengkengunaung berhasil mengalahkan Onding yang meneror kehidupan penduduk pulau Makalehi.” Pernyataan senada juga disebutkan sumber-sumber lainnya, termasuk kisah tentang Hengkengunaung yang dinyatakan pernah beradu kesaktian dengan seorang pahlawan Dagho, Ansuang Killa, di mana pertempuran keduanya berimbang dan berakhir dengan genjatan senjata karena tidak ada pihak yang kalah.
Selain itu, ekspedisi ke Selatan armada Angkatan Laut Kerajaan Siau, sebut Elias, juga berhasil menaklukan Raja Makaaloh di Talawaan pada tahun 1642 dan Angkoka. Kemudian Raja Singkil ditundukkan pada tahun 1643. Armada Angkatan Perang Kora-Kora dan Bininta kerajaan Siau di bawah Panglima Perang Hengkengunanung pernah tiba di Leok Buol pada tahun 1645 menghalau Angkatan Laut Kerajaan Gowa yang hendak menaklukan kawasan Utara Pulau Sulawesi (Sulawesi Utara). Di akhir 1660, ketika Arung Palakka melancarkan serangan terhadap Gowa, armada tempur kerajaan Siau di bawah Laksamana Hengkengunaung ikut membantu kerajaan Gowa untuk mencapai kemenangan.
Apakah dengan data-data public history ini bisa mementahkan anggapan bahwa raksasa Onding, Linsaha, bahkan Kila, bukan nenek moyang pra- sejarah orang-orang Nusa Utara? “Saya kira begitu. Onding dan Linsaha termasuk Ansuang Kila disebut raksasa berdasarkan karakternya yang kejam dan buruk. Jadi mereka sesungguhnya manusia biasa kendati bertubuh lebih besar dari manusia pada umumnya,” kata penulis buku “Jejak Leluhur” Sudirno Kaghoo saat diwawancarai pada April 2020. Pernyataan Kaghoo, dapat dipahami mengingat perang adalah sebuah peristiwa sejarah dan itu nyata.
Kendati begitu, sosiolog asal Laghaeng itu meyakini keberadaan manusia raksasa mitologis di era pra-sejarah Nusa Utara. “Dalam penelitian saya di Siau, ditemukan sejumlah peninggalan tulang belulang manusia masa purba, terutama untuk tulang ruas kaki sepanjang 2 meter lebih. Ini menandahkan adanya manusia-manusia yang benar-benar raksasa di sana,” kata dia.
Sementara data-data arkeologis yang tersedia hingga kini nyaris tak ada yang memaparkan keberadaan manusia raksasa di kepulauan itu, selain binatang raksasa berupa gajah purba Stegodon. Dibuktikan dengan ditemukannya fosil gading dan geraham binatang tersebut di Desa Pintareng, Tabukan Selatan, Sangihe. “Fosil itu berasal dari masa Plestosin. Migrasi fauna itu diperkirakan dari daratan Asia ke Selatan melalui Filipina dan Sulawesi Utara,” ungkap Santoso Soegondho, di laman situs Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia pada Mei 2012.
Menurut para ahli dari Museum Geologi Bandung dan dari Pusat penelitian Arkeologi Nasional Jakarta, fosil-fosil tersebut dinyatakan sebagai bagian dari fosil Stegodon yang pernah hidup di Kepulauan Nusantara pada masa Plestosin sekitar 2 juta tahun lalu. Di Indonesia stegodon hidup dengan binatang-binatang purba seperti Rinocheros (badak purba) serta kerbau purba dan lain sebagainya.
Linsaha dan Onding Dalam Versi Cerita Rakyat
Onding, sosok raksasa wanita. Ia bersuamikan Linsaha. Keduanya tinggal di Pulau Makalehi. Tepatnya di sebuah rumah apung di atas danau berbentuk hati di pulau kaya ikan itu. Keduanya digambarkan memiliki kesaktian yang sulit ditandingi. Sebagaimana tabiat hidup para raksasa masa purba, Onding dan Linsaha juga pemakan manusia.
Mereka dikisahkan tak membutuhkan waktu lama untuk mengayuh perahu menuju pulau asal Linsaha, Biaro. Bila berperahu ke Siau, hanya dibutuhkan sekali dua kali kayuhan. Dapat disimpulkan suatu gambaran betapa besarnya postur suami istri raksasa ini. Bahkan air kencing mereka konon mampu menembus daun talas.
Suatu ketika, kejahatan dan keculasan pasangan raksasa ini terhadap penduduk pulau Makalehi pun sampai ke telinga Raja Kerajaan Siau, Winsulangi. Raja memerintahkan Laksamana Hengkengunaung untuk menumpas kedua raksasa tersebut. Untuk memeranginya, Hengkengunaung mengajak, (versi pertama) Sise adiknya, (versi kedua) istrinya yaitu seorang pemain musik Oli beserta rombongannya yaitu dua belas gadis remaja yang dibawa dari Salurang seusai mereka memerangi Makaampo.
Saat tiba di Makalehi, tampaklah Onding sedang duduk sendirian di depan rumah apung miliknya. Saat musik Oli didendangkan dengan lembut, merdu dan magis, perlahan-lahan meninabobokan Onding. Kesempatan itu digunakan Hengkengunaung memenggal kepala Onding. Mendengar kabar kematian istrinya oleh Hengkengunaung, Linsaha yang saat itu berada di pulau Biaro jadi gentar kembali ke Makalehi. Kepala Raksasa Onding hingga kini masih ada di pulau Makalehi. (*)
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post