Rempah dari tanah Timur Nusantara, tak saja punya kisah panjang dan dramatis. Namun berperan signifikan dalam membentuk sejarah peradaban maritim dunia. Kini dikenal sebagai Jalur Rempah.
Utamanya Banda dan kepulauan Maluku. Namun, pala dan cengkeh hingga kini masih tumbuh subur di Sangihe Talaud dan Minahasa. Tanaman endemik Timur Nusantara ini tercatat sudah merajai pasar dunia sejak era yang sangat tua.
Seorang astronom Yunani tinggal di Alexandria, Mesir, bernama Claudius Ptolomaeus pada abad ke-1 Masehi (M), menulis Guide to Geography. Karya Ptolomaeus itu adalah sebuah peta kuno yang mencantum nama Barus, kota pelabuhan kuno yang menjadi tempat komoditas aromatik rempah, yang diburu oleh bangsa Yunani, Romawi, Mesir, Arab, Tiongkok, dan Hindustan.
Fakta sejarah lebih mencengangkan dipapar situs NuuN.id mengutip Direktorat Sejarah Kemdikbud RI melalui website kemdikbud.go.id. Data itu menyatakan adanya bukti-bukti, cengkeh telah digunakan sebagai salah satu bahan untuk mengawetkan mumi di Mesir Kuno, sementara, pala sudah dikenal oleh masyarakat Yunani dan Romawi sejak tahun 24 SM.
Kaisar Romawi Caesar Agustus mengirim Aelius Gallus bersama 10.000 pasukan dari Mesir untuk menguasai rute perjalanan yang sudah dimonopoli orang-orang Arab Selatan dan menghantam sumber pendapatan orang-orang Yaman (Hitti, 2006, hlm 57).
Dari beberapa jalur perdagangan kuno di dunia, boleh dikatakan jalur rempah merupakan jalur perdagangan penting dibanding sejarah jalur sutra yang berhulu di Cina.
Lebih dari 1000 tahun kemudian, di era Marco Polo (1254-1323), catat misionaris D. Brilman dalam bukunya Onze zendingsvelden de zending op de Sangi en Talaud (Wilayah-Wilayah Zending Kita, Zending di Kepulauan Sangi dan Talaud), disebutkan Venesia dan Genoa telah menjadi gerbang penting bagi rempah-rempah asal Timur Nusantara, terutama pala, cengkih, fuli dan lada untuk pasar Eropa.
Di era yang sama, alur perdagangan Hindia juga memasok hasil bumi negeri timur ini lewat pelabuhan-pelabuhan laut tengah dan laut hitam. Dari sana, barang-barang itu kemudian diangkut orang Italia ke kota-kota pelabuhan mereka, kemudian dipasarkan ke seluruh belahan Eropa. Terutama pala, cengkih, fuli dan lada dipakai dalam jumlah besar untuk jamuan dan ramuan.
Sementara Anthony Reid, kutip NuuN, menyebut tahun 1400-1650 sebagai zaman perdagangan di wilayah Asia Tenggara dengan keadaan pasar yang amat menggembirakan. Pengaruhnya tidak hanya ke Eropa dan Laut Tengah, tetapi juga sampai ke Cina dan Jepang.
Ketika itu, kota pelabuhan merupakan pusat perekonomian regional, politik, dan kebudayaan yang menonjol. Masa ini, jalur rempah bisa ditelusur dengan lebih terang.
Saudagar dari berbagai bangsa telah bergiat di sepanjang rute yang membentang dari Timur ke Barat. Di wilayah Kepulauan Melayu nusantara sendiri, kota-kota pelabuhan tumbuh dan berkembang. Sebut saja Pegu (Burma), Ayutthaya (Thailand), Pnompenh, Hoi An (Faifo), Champa, Malaka, Patani, Brunei, Pasai, Aceh, Banten, Jepara, Gresik, sampai Makassar sangat pesat (Reid, 2011, hlm 3).
Meski sejumlah sumber China sebelum abad ke-14 mengenal asal cengkeh dari Maluku, dan kemudian kepulauan Sangihe Talaud, hanya ada satu catatan bertarik 1350, yang betul-betul menulis Jung China langsung berlayar dari China ke daerah tersebut. Pengumpulan dan pengangkutan rempah Maluku ke belahan dunia barat Nusantara ditangani sepenuhnya oleh orang-orang Melayu, Jawa, dan Banda.
Catat NuuN, para pedagang dari Melayu, Arab, Persia, dan China membeli rempah dari Nusantara, kemudian dibawa dengan kapal ke Teluk Persia dan didistribusikan ke seluruh Eropa melalui Konstantinopel (Istanbul) di wilayah Turki saat ini, dengan harga mencapai 600 kali lipat.
Perdagangan rempah di Nusantara juga secara masif meninggalkan jejak peradaban yang signifikan berupa peninggalan situs sejarah, situs budaya, hingga melahirkan beragam produk budaya yang terinspirasi dari alam Nusantara yang kaya.
Tampak sekali, di masa lalu orang-orang berbagai bangsa berbondong-bondong ke Nusantara tidak semata untuk berdagang, tetapi lebih pada untuk membangun peradaban.
Mulai dari pelabuhan Barus di Sumatera Utara yang diperkirakan ahli sudah berusia lebih dari 5.000 tahun, Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Kejayaan Wangsa Syailendra, Kerajaan Kahuripan, hingga negara-negara bandar seperti di Banten, Maluku, dan Sulawesi. Semuanya terbentuk karena perdagangan rempah-rempah alias politik ekonomi masa itu.
Di antara abad ketigabelas hingga enam belas, perdagangan rempah-rempah merupakan sumber kemakmuran bagi beberapa negara Eropa yang wilayahnya berbatasan dengan Laut Mediterania, hingga memunculkan negara-negara kota di Eropa.
Dalam catatan D. Brilman, seorang misionaris Eropa yang pernah bertugas di Sangihe Talaud sejak 1927 disebutkan, pada bulan September 1509 beberapa kapal Portugis di bawah komando Diego Lopez de Sequaria telah berangkat ke Asia Timur, di mana mereka tiba di Makal, melalui sebut Hindia Belanda.
Pada tahun 1511 mereka merebut kota dagang Malaka yang sangat maju, di bawah pimpinan d’Albuquerque sendiri. Di kota ini, dimana seorang Uskup ditempatkan di bawah Uskup Agung dari Goa, maka orang Portugis menemukan rempah-rempah yang berasal dari Hindia yang diperdagangkan di tempat itu, namun mereka belum sampai ke negeri asalnya.
Baru pada bulan Desember 1511 beberapa kapal di bawah komando Antonio d’Abreu di kirim oleh d’Alburqueque dengan maksud untuk menemukan negeri rempah yang sangat diharapkan itu.
Masih belum berahkir tahun 1511, sampailah armada ini di Gresik,di pulau Jawa, dan dari sana mereka ke Banda, dimana waktu itu untuk pertama kalinya orang Eropa membeli rempah-rempah langsung dari orang pribumi penghasilnya. Hubungan antara Eropa dengan Maluku telah di mulai.
Pada perjalanan kembali armada ini, maka beberapa kapal, di bawah komando Fransisco Serrao dilanda angin dan arus sehingga kehilangan arah dan tiba di pantai Hitu, jazirah utara pulau Ambon.
Disini mereka membantu penduduk negeri itu untuk melawan musuh mereka di Hoalmoal, dalam kesempatan mana mereka berjuang dengan begitu perkasa,sehingga nama mereka segera menjadi tersohor juga di pulau-pulau sekitarnya.
Pada tahun itu kekuasaan atas pulau-pulau yang kecil ini berada di tangan sultan-sultan dari Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo yang saling berjuang antar mereka untuk mencapai kekuasaan tertinggi. Terlebih antara kesultanan Ternate yang kecil dengan kesultanan Tidore yang sama kecilnya terdapat suatu persaingan yang hebat.
Sultan-sultan kedua pulau itu, tulis Brilman, sangat menginginkan agar para ksatria asing itu dapat dilihat di dalam keratin mereka. Sultan Ternate pada saat itu sudah yang paling berkuasa, mendahului rekannya dari Tidore dan mengundang mereka untuk berkunjung.
Undangan ini diterima dan pada tahun 1512 ketika Serrao dengan para pengikutnya tiba di Ternate, orang Portugis memasuki suatu daerah dimana mereka bertahun-tahun lamanya dapat bertahan, daerah yang juga bertahun-tahun lamanya menjadi pusat ketiga kegiatan yang terkenal pada waktu itu, yakni pemerintahan, perdagangan dan pekabaran injil.
Pada mulanya, ungkap Brilman, orang Portugis tidak menganggap wilayah-wilayah ini sebagai suatu wilayah jajahan baru. Jauhnya jarak dari Malaka dan Goa rupanya telah menjadi salah satu sebab, mengapa orang tidak mementingkan ‘’pemerintahan’’ tetapi justru mereka cukup puas mendirikan kantor-kantor dagang.
Hal ini berobah waktu tetangga mereka dari Eropa, yaitu orang Spanyol, juga ingin menjadi tetangga mereka di Hindia, karena pada bulan Nopember 1512 mereka mendarat di Tidore, pulau yang bermusuhan dengan Ternate.
Di bawah pimpinan Fernando de Magelhaen—atau Magellaan—mereka telah menemukan jalan laut yang baru ke pulau-pulau rempah-rempah Hindia ,melalui yang sekarang di sebut selat Magellaan, kepulauan Philipina, dan kepulauan Sangihe Talaud.
Dengan penemuan ini orang Portugis sama sekali tidak senang dan menganggap pendudukan orang Spanyol di Maluku sebagai tindakan yang mungkin tidak sah. Karena, untuk mengendalikan persaingan antara Spanyol dan Portugal, maka Paus Alexander VI telah menarik garis batas terkenal, yang menentukan bahwa dari daerah-daerah yang baru ditemukan, bagian yang terletak di sebelah timur garis itu kepada Spanyol.
Dalam perjanjian Tordesillas pada tanggal 7 Juni 1494, satu dan lain hal, tulis Brilman, diuraikan lebih lanjut oleh kedua raja yang bersangkutan dan garis batas ditentukan pada 370 mil sebelah barat dari kepulauan Tanjung Verde dan pulau-pulau Asur.
Menurut pembagian ini Maluku terletak di bagian yang ditentukan kepada Portugal, yang sejak saat itu bertindak lebih kuat. Dalam bulan Februari 1522 sebuah armada Portugis mendarat di bawah komando Antonio de Britto di pulau Banda, yang tiba pada bulan Mei berikutnya di Ternate dan pada tanggal 24 Juni tahun itu juga sudah dimulailah pembangungan suatu benteng.
Doktor Denny JA, dalam artikelnya yang berjudul “Inilah Perusahaan Terkaya Dalam Sejarah” yang dilansir situs IndonesiaBrita mengungkapkan, di abad ke-17, Eropa sedang dilanda demam menjelajah samudra. Ekspedisi pelayaran sebuah kapal menjadi tambang bisnis besar, memberi kekayaan luar biasa, namun beresiko. Kapal itu dapat berlayar bertahun- tahun ke wilayah yang terjauh.
Namun usaha pelayaran memiliki resiko yang besar pula. Sangat mungkin ekspedisi itu tak pernah kembali lagi. Kapal tenggelam di tengah laut karena badai. Atau kapal dirampok bajak laut. Terlalu beresiko jika hanya segelintir individu saja yang membiayai ekspedisi.
Di tahun 1600, Kerajaan Inggris yang pertama kali membangun usaha ekspedisi pelayaran itu. Namun di tahun 1602, Johan Van Olden Barnavelt berhasil meyakinkan pemerintah Belanda. Didukung oleh pemerintah, Johan mendirikan sebuah usaha yang menyatukan beberapa perusahaan sekaligus. Mega korporasi ini diberi nama VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).
Perusahaan dagang tersebut awalnya mengeksplorasi wilayah India untuk perdagangan tekstil dan sutra. Namun kekayaan rempah-rempah di wilayah sekitar lebih menjanjikan.
Sampailah kemudian VOC ke aneka wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Jakarta, Banten, Ambon Maluku, Aceh, hingga Makasar, dan Sangihe Talaud. Bahkan Jakarta (dulu Batavia) menjadi ibu kota VOC untuk wilayah Asia.
Agar VOC kuat, Tulis Denny, pemerintah Belanda memberikan tak hanya hak monopoli. Diberikan pula hak mengelola tentara dan pasukan perang. Perlawanan penduduk lokal mudah ditaklukan VOC karena perusahaan dagang ini juga memiliki pasukan militer.
Di puncak kejayaannya, VOC menguasai 150 kapal perdagangan, dan 40 kapal perang. Ia juga memiliki 50 ribu karyawan dan 10 ribu tentara, catat Denny.
Di tahun 1663, VOC sudah tercatat sebagai perusahaan paling kaya dalam sejarah. Ia menjadi perusahaan pertama yang bersifat transnasional. Ia juga perusahan pertama yang go public. Sahamnya dapat dimiliki publik.
Tak pernah ada perusahaan, ungkap dia, yang pengaruhnya pada sejarah dunia sebesar VOC. Ia bukan saja di abad ke 17 sudah meletakkan fondasi pertama bagi perusahaan multi nasional. Ia juga perusahaan pertama yang go public yang menjual saham.
Inilah babak akhir sejarah jalur rempah yang memesona dan dramatis itu.(*)
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post