Oleh: Richard Nelwan SH MH
Bagi saya kasus penundaan pelantikan Elly Lasut adalah bentuk Contempt of Court dan ketidaktaatan lembaga eksekutif terhadap putusan MK (dalam sengketa, perselisihan hasil pilkada, dan penetapan pemenang pemilu) sebagai lembaga yudikatif yang independen yang kewenangannya dan legitimasinya diatur langsung oleh Konstitusi, serta terhadap KPU sebagai komisi yang juga independen dan dibentuk berdasarkan undang-undang yaitu konsensus bersama antara legislatif dan eksekutif.
Sikap penundaan ini dapat menjadi preseden buruk bagi sistem hukum Indonesia, yang seharusnya memberikan kepastian hukum bagi setiap subjek hukumnya, dan bukan malah memberikan sikap dan produk hukum yang inkosisten.
Alih alih menjalankan pemerintahan yang taat hukum dan cermat, penundaan ini justru memberikan citra buruk bagi Eksekutif. Selain telah menunjukkan sikap “labil”, hal ini sama saja menunjukkan krisis kepercayaan terhadap kinerja KPU sebagai lembaga negera independen yang telah menjalankan tugas sesuai ketentuan perundang-undangan dimana telah melalui proses seleksi administrasi yang sangat ketat dan terukur.
Justru sikap ini menimbulkan pertanyaan. Ada apa sebenarnya? Tahapan pilkada Talaud sudah selesai cukup lama, dan isu ini baru dimunculkan kembali hari ini?
Secara hukum jelas, bahwa Elly dan Mochtar telah melalui tahapan dalam Pilkada Talaud. Dewasa ini, semua dokumen pun administrasi hukum dapat dilacak dengan mudah. Terkait timeline, penanggalan pun waktu juga dapat dihitung-hitung dengan sederhana (sudah banyak tulisan-tulisan sebelumnya yang membahas terkait ini). Poin pentingnya, menurut hemat saya tidak ada celah hukum, semua jelas. Pun kalau seandainya penundaan tetap dilanjutkan, maka menurut saya kasus ini kurang tepat untuk dikategorikan sebagai kasus hukum, melainkan dinamika politik.
Saran saya, kalau ini memang betul sekedar dinamika politik, maka perlu segera diselesaikan oleh seluruh pihak terkait (Kemendagri, Gubernur Sulut, dll) mengingat masyarakat Talaud perlu segera dipimpin oleh pemimpin pilihan langsung rakyat yang legitimate, yang punya legitimasi, yang telah berhasil memenangkan pertarungan politik. Agar jangan sampai masyarakat lagi lagi menjadi korban dan puncaknya dapat berujung pada krisis kepercayaan masyarakat atas sistem hukum dan politik Indonesia. Akan tetapi,kalau seandainya hal ini tetap mau disebut dan dibawa sebagai kasus hukum, maka satu saran saya, lawan. (*)
Penulis merupakan Direktur Eksekutif Wain Advisory Indonesia
Discussion about this post