Manado, Barta1.com – Pemerintah Indonesia mengutuk keras aksi penembakan yang terjadi di Kota Christchurch, Selandia Baru, Jumat (15/3/2019). “Kita tidak boleh mentolerir aksi-aksi kebiadapan tersebut,” ujar Luhut Binsar Panjaitan ketika transit di Manado dalam perjalanan ke Ternate, Maluku Utara, Sabtu 16 Maret 2019.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman yang berlatarbelakang TNI ini transit di Manado, sebelum menuju Ternate bertemu dengan Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuha untuk membahas Sail Tidore 2012 dan peringatan 500 tahun Magellans/Global Network of Magellans Cities.
Ia menyampaikan bahwa Presiden RI, Joko Widodo telah memberikan statemen soal posisi Indonesia yang cukup keras mengutuk kebiadapan dalam aksi penembakan tersebut. “Tidak dibenarkan, karena bertentangan dengan kemanusiaan,” katanya.
Pemerintah saat ini telah menganbil langkah menginventarisir dua korban, seorang ayah dan anak asal Padang, Sumatera Barat. “Dua korban asal Indonesia itu sedang dalam perawatan intesif. Tadi malam kami dapat kabar dari Dubes di sana yang melaporkan kepada kami,” ujar Luhut.
Luhut juga mengingatkan kepada masyarakat agar tidak menyebarkan video aksi penembakan tersebut. “Istilah saya video itu menjijikkan. Kalau tidak paham bisa menyebarkan kebencian, jangan karena kebiadan satu orang, psikopat atau apalah namanya nilai-nilai kemanusiaan dikorbankan. Pokoknya kasus penembakan itu diluar batas apapun,” paparnya.
Pelaku Penembakan Miliki Senjata Sejak 2017
Insiden penembakan masjid di Selandia Baru benar-benar membuat petinggi negara dan warga negara itu syok. Betapa tidak, Selandia Baru selama ini dikenal sebagai negara paling aman. Bahkan status kondisi berbahaya kali ini dinyatakan sebagai yang pertama kalinya dalam sejarah Selandia Baru.
49 orang dinyatakan tewas dalam insiden penembakan masjid yang dilakukan seorang pria kelahiran Australia bernama Brenton Tarrant. Kini ia tengah menghadapi pengadilan atas tuduhan pembunuhan.
Dilansir dari Radio New Zealand, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern pada Sabtu (16/3/2019) pagi waktu setempat kepada media massa mengatakan, pria yang dituduh dalam insiden penembakan itu memiliki lisensi senjata yang diperoleh pada November 2017.
Pria itu mulai membeli senjata pada Desember 2017 atau satu bulan usai mendapatkan lisensi senjata Kategori A.
“Saran saya saat ini adalah bahwa di bawah lisensi senjata itu dia dapat memperoleh senjata yang dia pegang. Itu akan memberi anda indikasi mengapa kita perlu mengubah undang-undang senjata kita,” ujar Ardern seperti dikutip Radio New Zealand.
Dia juga memastikan pemerintah Selandia Baru akan merespons dengan cepat atas peristiwa berdarah itu. “Aku bisa memberitahumu sekarang, undang-undang senjata kita akan berubah,” tegas Ardern.
“Fakta bahwa ketika orang-orang tentu saja mendengar bahwa orang ini memperoleh lisensi senjata dan memperoleh senjata dari jarak itu, maka jelas saya pikir orang akan mencari perubahan, dan saya berkomitmen untuk itu,” ujar dia lagi.
Ardern mengungkapkan, polisi saat ini tengah menyelidiki dan berusaha untuk menetapkan peningkatan status atas dua orang lain yang ditangkap terkait penembakan itu. Dua orang itu diduga juga ikut terlibat.
Ardern juga menyatakan, keselamatan warga Selandia Baru adalah prioritas terbesar.
Menurt dia, retorika rasisme, perpecahan dan ekstremisme seharusnya tidak memiliki tempat di Selandia Baru atau di masyarakat secara keseluruhan.
“Mengingat munculnya pandangan ekstremis, oleh mereka yang memegang ideologi yang hanya bisa saya deskripsikan sebagai kekerasan dan ekstrem, agen kami di Selandia Baru telah bekerja keras, tetapi sekali lagi, itu tidak menghasilkan semua individu berada di daftar pantauan,” paparnya.
Setelah diberi pengarahan oleh pejabat intelijen, Ardern juga memastikan, ada 49 orang tewas dan lebih dari 40 lainnya dirawat di rumah sakit, dua di antaranya dalam kondisi kritis.
Ia memastikan Rumah Sakit Christchurch dilengkapi dengan peralatan yang baik termasuk di dalamnya terdapat ahli patologi.
Editor : Agustinus Hari
Discussion about this post