Oleh : Conie Sema
Pria tua itu kini sendiri bersama isteri tercinta. Ia memandang bunga-bunga tumbuh di pekarangan rumah tua yang sangat sederhana di luar ibukota Uruguay, Montevideo. Udara sejuk. Air bening mengalir dari sumur di halaman belakang. Setiap pagi ia berkeliling kebun bersama seekor anjing setia.
“Saya sudah hidup seperti ini hampir seluruh hidup saya. Saya bisa hidup dengan apa yang saya punya,” katanya sembari duduk di sebuah kursi tua di kebunnya.
José Alberto Mujica Cordano, lelaki tua itu, sempat 14 tahun menghabiskan waktunya di penjara. Selama ditahan ia mengalami penyiksaan dan terisolasi.
Mucija masa tahun 1960-an hingga 1970-an memimpin laskar gerilya Tupamaros, sebuah kelompok bersenjata sayap kiri yang terinspirasi oleh revolusi Kuba. Selama ditahan, ia mengalami penyiksaan dan terisolasi. Hingga dibebaskan tahun 1985, ketika Uruguay kembali ke masa demokrasi.
“Masa-masa di penjara itulah yang telah membentuk pandangan hidup saya,” kenangnya. “Saya mungkin terlihat seperti pria tua yang eksentrik. Tapi inilah pilihan,” kata Mujica dikutip Dream dari laman BBC, Sabtu 12 Juni 2014.
Mujica, dilantik jadi Presiden Uruguay 1 Januari 2010, meraup suara 52 persen pada pemilu. Setiap hari ia tetap pulang ke rumah. bukan ke istana atau rumah dinas presiden.
Sore itu, ia kembali ke rumahnya tidak lagi sebagai presiden. sebagai rakyat biasa. Ia pulang dengan kesederhanaan bersama isterinya, Lucia Topolansky. Jalan menuju rumahnya tak berubah masih tanah tak diaspal. Hanya mobil VW Beetle dan harta kekayaan senilai 322.883 US dollar atau sekitar Rp 4 miliar, sudah termasuk traktor dan alat pertanian milik isterinya.
“Saya disebut ‘presiden termiskin’, tapi saya tidak merasa miskin. Orang miskin adalah mereka yang hanya bekerja untuk mencoba memelihara gaya hidup yang mahal, dan selalu ingin berlebih-lebihan,” katanya.
“Seorang presiden adalah seorang pejabat tinggi yang dipilih untuk bekerja. Dia bukan raja, apalagi dewa. Dia juga bukan tukang sihir yang mengetahui segalanya,” ujar Mujica. “Presiden adalah seorang pelayan rakyat. Saya pikir gaya hidup ideal seorang presiden adalah hidup seperti kebanyakan rakyat yang diwakili dan dilayaninya,” paparnya dalam wawancara dengan Al Jazeera beberapa waktu lalu.
Menurut Mujica, yang juga seorang marxis, penyakit ‘kebutuhan tanpa batas’ itu ditularkan oleh kapitalisme. Kapitalismelah memaksa orang menyembah logika profit, yakni menumpuk keuntungan tanpa batas. Alhasil, manusia menjadi makhluk paling serakah.
Kapitalisme pula yang memaksa manusia sejak lahir hingga jadi bangkai untuk menyembah konsumtifisme. Bahkan, manusia dipaksa berkonsumsi di luar kebutuhan dan kemampuannya.
Mujica seakan mengingatkan kita pada Gandhi, bahwa “bumi ini sebenarnya cukup, bahkan berlebih, untuk memberi makan semua penduduk bumi. Namun menjadi tidak cukup untuk memberi makan satu orang yang rakus.”
Di forum PBB, Mujica telah mengutuk konsumerisme dan penghambaan terhadap pasar. “Kami telah berkorban untuk Tuhan lama yang tidak nyata. Sekarang kami menempati sebuah candi tuhan bernama Pasar,” kata Mujica. Maksudnya, di masa lalu manusia telah berkorban untuk tuhan lama yang tidak nyata, sementara sekarang ini manusia menyembah tuhan baru: Pasar.
Lelaki yang memiliki panggilan akrab Pepe itu, telah pulang ke rumahnya. Ia meninggalkan kenangan berarti di hati rakyatnya.
Mungkin saja gaya kepemimpinan Mujica itu yang menginspirasi para pemimpin di Indonesia. Dengan bantuan media massa, mereka merias diri supaya tampak sebagai pemimpin sederhana dan merakyat. Para pengusaha besar mendadak bergaya hidup sederhana dan merakyat. Begitu pula para pejabat negara.
Sementara kebijakan negara terus mencekik rakyat. Seperti privatisasi BUMN, penghapusan subsidi, liberalisasi perdagangan, dan lain-lain. Membiarkan perampokan uang negara atas nama bantuan likuiditas ataupun bailout, seperti kasus BLBI dan Bank Century.
Maka aku pun menulis sepotong puisi untuknya.
..seekor beruang madu kembali
pulang ke lubang tanah usai pergi
tinggalkan sialang si anak rimba
memanggil burung dan serangga tiba
hinggap dan bermain di pohon lalu
harimau dan para jin menghampiri
usai mereka meninggalkannya
sialang adalah pohon kehidupan
mengajarkan aku dan mereka semua
pada kesederhanaan tentang hidup
bukan semata ideologi pepohonan
“Saya marxis. Kesederhanaan saya adalah ideologi. Saya bukan chauvinis atau populis kanan. kesederhanaan bukan pencitraan atau gaya hidup.” Mungkin itu yang hendak diingatkan Mujica atau Pepe kepada kita. (*)
Penulis, adalah penyair dan dramawan
Discussion about this post