Manado, Barta1.com — Yayasan Hari Puisi telah menerbitkan antologi monumental pada 2018 lalu. Puluhan karya sastra dari 27 penyair Tanah Air terangkum dalam buku, yang disebut-sebut sebagai bentuk apresiasi pada kejayaan puisi.
Buku berjudul “Hari Raya Puisi” tersebut menjadi hadiah mesra bagi insan susastra Indonesia. Para penyair yang menyumbang karyanya merupakan pemenang sayembara Anugerah Hari Puisi Indonesia antara 2013-2017. Sementara bagi Yayasan Hari Puisi, antologi ini menjadi penanda 5 tahun perjalanan mereka dalam kiblat perpuisian Indonesia.
“Hari Raya Puisi merupakan penghargaan pada manusia-manusia kreatif yang bernama penyair,” kata Ketua Dewan Pengurus Yayasan Hari Puisi, Maman S Mahayana, dalam prolog buku setebal 494 halaman ini.
Para penyair, kata dia, menjelmakan puisi bukan sekadar menderetkan kata-kata menjadi frasa, klausa atau kalimat yang dipaksa. Juga tidak bertujuan hendak menggelembungkan deretan kata-kata itu menjadi semacam curhat, menghadirkan lompatan-lompatan pikiran yang maknanya hanya diketahui Tuhan.
“Hari Raya Puisi adalah serangkaian capaian dari pergelutan penyair merayakan kata dalam perjuangannya mencapai nilai-nilai estetika dan sekaligus meluaskan makna (kata),” kata Maman, penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2005.
Sedangkan penerbitan buku ini lanjut Maman, bolehlah ditempatkan sebagai perayaan puisi yang sepatutnya dapat dinikmarti siapa pun juga, penyair atau yang bukan atau yang belum menjadi penyair. Publik bisa paham dan ikut menimbang sejauh mana capaian yang ditorehkan para penyair kontemporer kita dewasa ini.
“Dalam konteks ini kita tidak perlu silau pada nama-nama, sebab yang terpenting pada nama-nama itu adalah kiprah kepenyairannya. Oleh karena itu perkara objektivitas adalah kata kuncinya,” ujar Maman.
Berdasarkan sikap dan penilaian objektif itulah kita dapat menempatkan kepenyairan sebagai profesi yang pantas diapresiasi dalam kehidupan masyarakat kita, cetus dia.
Pernyataan terakhir itu memang mengacu pada 27 penyair yang karyanya termuat dalam buku tersebut; Acep Zamzam Noor, Hana Fransisca, Marhalim Zaini, Ulfatin CH, Iverdixon Tinungki, M Anton Sulistyo, D Zawawi Imron, Hasta Indriyana, Isbedy Stiawan ZS, Ni Made Purnama Sari, Yudhistira ANM Massardi, Soni Farid Maulana, Nissa Rengganis, Aspar Paturusi, Gus tf, Hamdi Salad, Taufik Ikram Jamil, Hasan Aspahani, Ahamadun Yosi Herfanda, Rini Intama, Sosiawan Leak, Tjahjono Widarmanto, Umi Kalsum, Irawan Sandi Wiraatmaja, Din Saja, Candra Malik, Raedu Basha.
Tidak ada nama-nama perupa sastra besar. Namun karya-karya mereka telah menjadi penanda di hari esok, bahwa di masa lalu para penyair ini ikut membangun peradaban. Banyak karya puisi yang bertutur dalam kesedarhanaan, namun pemaknaannya kuat. Beragam isu pun menyeruak di sini, termasuk tatanan sosial yang kompleks.
Penyair Sulut
Sulawesi Utara punya wakil dalam buku ini; Iverdixon Tinungki, lewat 10 karya puisinya. Pegiat sastra yang belakangan menjauh dari hiruk pikuk metropolitan khas kota Manado itu adalah salah satu penerima Anugerah Puisi 2013 lewat buku kumpulan puisi “Klikitong” dan 2014 dengan “Makatara”.
Kesepuluh puisinya yang dipilih berjudul Tikung Kiawa, Jendela Kamar, Pada Senyum Istriku, Rumah Nenek Mertua, Mubeca, Orang-orang Salingkere, Perempuan Mari Menikah Dalam Ombak, Anak-anak itu pada Akhirnya, Sahabatku Joni, Pada Kata Luka Mahoni.
Selain menulis puisi, Iverdixon juga adalah kolumnis, editor media online serta pencipta naskah drama yang sering dipentaskan di tingkat daerah dan nasional. (*)
Penulis: Ady Putong
Discussion about this post