Oleh : Abdi Purmono
SETIAP tahun peringatan Hari Pers Nasional digelar pada 9 Februari. Sebagian besar publik mungkin menerimanya tanpa pertanyaan dan tidak mempedulikan asal muasal dari penetapan tanggal tersebut. Itu merupakan tanggal lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), organisasi yang oleh pemerintah Orde Baru (1967-1998) ditetapkan sebagai satu-satunya wadah bagi jurnalis Indonesia.
Gagasan awal soal Hari Pers Nasional baru muncul pada kongres ke-16 PWI, 4-7 Desember 1978, di Padang. Salah satu keputusan kongres adalah mengusulkan kepada pemerintah agar menetapkan 9 Februari, tanggal lahir PWI, sebagai Hari Pers Nasional. Setelah tujuh tahun terbitlah Surat Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985 yang menetapkan tanggal 9 Februari itu sebagai Hari Pers Nasional (HPN).
Keputusan tentang HPN adalah buah lobi Harmoko, mantan ketua PWI, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Penerangan, kepada Presiden Soeharto. Setahun sebelum keluarnya keputusan Presiden soal HPN, Harmoko juga mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan Nomor 2 Tahun 1984 yang menyatakan PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang diakui pemerintah.
Pertanyaan mengenai penetapan 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional sudah cukup lama muncul di komunitas pers. Pertanyaan itu kian kencang setelah rezim Orde Baru berakhir pada 1998. Era kejatuhan Soeharto itu diikuti demokratisasi politik dan bermunculannya organisasi wartawan baru. Dengan situasi yang berubah, maka pertanyaan soal 9 Februari sebagai hari Pers Nasional menjadi kian mengemuka.
Ada sejumlah kritik terhadap PWI di masa Orde Baru. Salah satunya adalah sikapnya yang lebih menjadi alat untuk mengontrol pers yang kritis. Selain itu, dari aspek kesejarahan, PWI bukan satu-satunya organisasi wartawan yang pernah ada di Republik ini. Pada masa penjajahan tercatat ada sejumlah organisasi wartawan yang berdiri. Yang paling menonjol adalah Inlandsche Journalisten Bond (IJB), berdiri pada 1914 di Surakarta. Selain itu juga ada Sarekat Journalists Asia yang lahir pada 1925, Perkumpulan Kaoem Journalists pada 1931, dan Persatoean Djurnalis Indonesia yang dideklarasikan pada 1940. PWI sendiri lahir 1946.
Penetapan hari lahir satu organisasi wartawan sebagai pers nasional juga menjadi “batu kerikil” sendiri dalam pelaksanaannya. Sebab, sejumlah organisasi wartawan yang memiliki visi tak sama dengan PWI cenderung tak ingin terlibat dalam peringatan HPN. Selama ini yang secara terbuka menyatakan tak terlibat adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Organisasi jurnalis yang juga terlihat enggan terlibat jauh dalam peringatan HPN adalah Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).
Sejumlah fakta itulah yang membuat upaya rintisan untuk menemukan HPN yang baru menjadi mendesak. Upaya rintisan awal untuk mencari tanggal HPN yang baru digelar 22 Juli 2010. Saat itu AJI menyelenggarakan workshop dengan mengundang wartawan dan sejumlah sejarawan, seperti Dr Asvi Warman Adam (sejarawan LIPI), Suryadi (peneliti Universiteit Leiden, Belanda), dan Taufik Rahzen (penulis buku Seratus Tahun Jejak Pers Indonesia) untuk membahas masalah ini. Rintisan serupa kembali dilakukan tahun 2017. Kali ini kegiatannya dilakukan oleh AJI dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) berupa seminar dengan tema “Mengkaji Ulang Hari Pers Nasional” di Hall Dewan Pers, Jakarta, 16 Februari 2017.
Menurut Ketua Umum AJI Suwarjono, seminar itu merupakan upaya untuk mengakhiri “pro dan kontra” soal penetapan HPN. Ketua IJTI Yadi Hendriana berharap ada tonggak baru di dalam perumusan tanggal baru untuk HPN. Ketua PWI Margiono, dalam seminar itu, menyampaikan bahwa ia tak mempersoalkan pengubahan tanggal asal kegiatannya yang dapat memberikan manfaat bagi pers. Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo, saat membuka seminar itu, mendukung inisiatif bersama tersebut. Ia mengatakan peluang mengubah HPN sangat besar. Sebab, dasar hukum Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985 tentang penetapan Hari Pers Nasional sudah tidak berlaku lagi.
Tulisan ini adalah rangkuman hasil diskusi organisasi jurnalis, serta rekomendasi dari seminar 16 Februari 2017. Bahan kajian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian dan pertimbangan bagi Dewan Pers untuk mendorong adanya perubahan Hari Pers Nasional yang selama ini diperingati tiap 9 Februari. Harapannya, penetapan tanggal baru hari pers itu agar bisa diterima dan dirayakan semua komunitas pers Indonesia.
Aspek Hukum Perubahan HPN
Salah satu dasar hukum yang menjadi rujukan keluarnya Surat Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985 tentang Penetapan HPN adalah Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (Lembaran Negara tahun 1966 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 2815), yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 21 tahun 1982 (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3235).
Perubahan regulasi cukup besar terjadi setelah Soeharto jatuh, yang kemudian menjadi awal lahirnya era reformasi. Salah satu yang juga berubah adalah regulasi tentang pers, dengan lahirnya Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Perubahan ini diusulkan masyarakat pers karena menilai UU Nomor 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sudah tidak lagi sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Undang-Undang Pers 1982 memberikan banyak pembatasan dan tak memberi ruang bagi tumbuhnya kemerdekaan pers.
Salah satu perubahan ketentuan penting dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 adalah dicabutnya ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), instrumen yang dipakai pemerintahan Orde baru untuk mengontrol pers. Dengan adanya ketentuan itu, maka undang-undang yang mengatur hal yang sama sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dari sisi substansi, Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 memuat sejumlah prinsip dasar perlindungan kebebasan berekspresi dan hak jurnalis untuk menyebarluaskan informasi. Undang-Undang Pers berusaha menyeimbangkan jaminan kebebasan pers dengan tuntutan atas profesionalisme, serta tanggung jawab pers atas kepentingan publik. Prinsip yang hendak ditegakkan Undang-Undang Pers sejalan dengan Konstitusi (Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen) dan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Berdasarkan sejumlah riset dan diskusi yang dilakukan sebelumnya, ada sejumlah alternatif sebagai pengganti HPN 9 Februari. Pertama, 7 Desember. Ini merujuk pada hari meninggalnya Tirto Adhi Soerjo, pendiri pers pribumi, Medan Prijaji, yang terbit tahun 1907. Tirto juga sudah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah pada 9 November 2006. Kedua, 23 September 1999, tanggal berlakunya Undang Undang Pers.
Usulan Hari Pers Nasional Baru
Dengan sejumlah pertimbangan, kami mengusulkan 23 September sebagai Hari Pers Nasional untuk menggantikan 9 Februari. Kami menilai pengesahan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers merupakan tonggak terpenting dalam sejarah kemerdekaan pers Indonesia. Undang-Undang Pers 1999 termasuk salah satu produk reformasi hukum yang memenuhi standar demokrasi, baik dari sisi proses pembahasan maupun substansinya.
Undang-Undang Pers lahir melalui proses pembahasan yang demokratis. Inisiatif untuk merumuskan rancangan undang-undang ini tak hanya dari “dari atas” (pemerintah atau Dewan Perwakilan Rakyat), tapi juga datang “dari bawah” (masyarakat, khususnya kalangan jurnalis, pegiat kebebasan berekspresi, dan kalangan akademisi). Proses pembahasan di DPR pun berlangsung di tengah gairah demokratisasi yang menyala-nyala, dengan melibatkan semua pemangku kepentingan atau stakeholders kemerdekaan pers (pemerintah, DPR, jurnalis, dan berbagai kelompok masyarakat sipil). Walhasil, pengesahan Undang-Undang Pers 1999 bisa disebut sebagai salah satu capaian terpenting di awal-awal era Reformasi.
Pada masa Orde Baru, pers Indonesia dikendalikan secara ketat melalui berbagai aturan yang diterbitkan Departemen Penerangan. Di atas kertas, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 memang menjamin kemerdekaan pers dengan menyatakan bahwa pers nasional tidak dikenakan pembredelan. Tapi, dalam prakteknya, sejumlah aturan pelaksanaan undang-undang tersebut sering menjadi alat pemerintah untuk mengontrol dan memberangus pers.
Di masa Orde Baru, siapa pun yang hendak menerbitkan surat kabar harus mengantongi Surat Izin Terbit dari Departemen Penerangan—belakangan berubah nama menjadi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)—dan Surat Izin Cetak dari Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Untuk mendapat kedua surat izin tersebut, calon penerbit terlebih dahulu harus memperoleh setumpuk surat rekomendasi, termasuk surat dari pejabat sipil dan militer daerah, surat rekomendasi dari organisasi wartawan, serikat penerbit surat kabar, surat dukungan permodalan dari bank, sampai surat rekomendasi dari percetakan.
Selama puluhan tahun, SIT/SIUPP dan SIC ibarat “nyawa” bagi perusahaan pers yang direstui pemerintah. Sebaliknya, lewat kedua surat izin itu pula, penguasa Orde Baru bisa mencabut nyawa surat kabar yang dianggap tidak patuh atau membahayakan kepentingan mereka. Di luar dugaan banyak orang, pada 1999, pemerintahan transisi yang dipimpin Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie segera memberi angin segar bagi kemerdekaan pers lewat Menteri Penerangan Muhammad Yunus Yosfiah.
Di masa lalu kedua tokoh ini tak lepas dari sejarah gelap pers di Indonesia. Habibie pernah berada di pusaran kontroversi pemberedelan tiga media pada 21 Juni 1994 (majalah Tempo, majalah Editor, dan tabloid Detik) gara-gara pemberitaan pembelian 39 kapal perang bekas Jerman. Sedangkan Yunus Yosfiah kerap dikait-kaitkan dengan peristiwa terbunuhnya lima jurnalis asing di Balibo, Timor-Timur, pada 1975.
Tak lama setelah dilantik sebagai anggota Kabinet Reformasi pada 23 Mei 1998, Yunus mencabut Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01/Per/Menpen/1984 tentang SIUPP. Yunus juga mengizinkan semua media yang SIUPP-nya dicabut semasa Orde Baru untuk terbit kembali. Ia juga menjanjikan akan mengusulkan revisi Undang-Undang Pokok Pers ke DPR. Kebijakan “reformis” itu tak terlepas dari dorongan kalangan jurnalis dan pegiat kebebasan informasi kala itu.
Dua hari setelah Yunus diangkat sebagai Menteri Penerangan, pengurus AJI, Persatuan Wartawan Indonesia, Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), dan sejumlah tokoh pers senior menemui Yunus di kantornya. Mereka kembali menyampaikan tuntutan tentang jaminan kemerdekaan pers, serta mengusulkan jaminan tersebut dimasukkan dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
Sepekan kemudian, sejumlah tokoh aktivis dan tokoh pers senior berdemonstrasi di depan Departemen Penerangan. Mereka menyampaikan tuntutan yang lebih rinci dan komprehensif tentang jaminan kemerdekaan pers. Ketika menerima perwakilan pengunjuk rasa, Yunus menyatakan persetujuannya atas 10 tuntutan mereka. Sepekan kemudian, Yunus memenuhi janjinya dengan menerbitkan Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01/Per/Menpen/1998 tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang mencabut Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01/Per/Menpen/1984 tentang SIUPP yang diteken Harmoko.
Pada Juli 1998, Yunus menggandeng sejumlah wartawan senior untuk menyusun draf rancangan undang-undang tentang pers yang akan diusulkan pemerintah kepada DPR. Ini merupakan terobosan dalam perumusan rancangan undang-undang, karena pemerintah langsung melibatkan stakeholders terpenting kebebasan pers sejak awal. Meski demikian, prosesnya bukan mulus tanpa perdebatan.
Hingga perubahan keenam draf RUU Pers, tim perumus dari pemerintah masih mengusulkan sejumlah pasal kontroversial. Pasal 6 draf tersebut misalnya menyatakan, “Pers nasional wajib menegakkan kebenaran, keadilan, dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa”. Adapun Pasal 8 menyatakan, “Penerbitan pers yang bertentangan dengan Konstitusi dan atau berdasarkan Komunisme, Marxisme-Leninisme harus dilarang.”
Selain itu ada 13 pasal yang bisa mengirimkan wartawan ke penjara. Salah satunya pasal yang menyatakan bila pengusaha menggunakan pers untuk kepentingan pribadi atau golongan yang menyebabkan penyelewengan peranan pers, mereka diancam “pidana penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar”. Setelah melewati perdebatan alot, kedua pasal-pasal kontroversial hilang pada draf ke-8 RUU Pers versi pemerintah.
Di samping melibatkan kalangan wartawan serta akademisi di bidang hukum dan media nasional, di akhir perumusan draf RUU Pers, Departemen Penerangan juga berkonsultasi dengan UNESCO. Lembaga di bawah naungan PBB itu menunjuk mitra mereka, Article 19, untuk memberikan asistensi kepada pemerintah Indonesia. Dalam proses konsultasi intensif selama dua pekan, tim Article 19 mengevaluasi pasal demi pasal RUU Pers versi pemerintah dan menyelaraskannya dengan standar dan konvensi internasional di bidang kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.
Seiring dengan perumusan RUU Pers versi pemerintah, di luar gedung Departemen Penerangan sekelompok ahli dan praktisi media yang terhimpun dalam Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) juga menyiapkan draf RUU Pers. Penyiapan draf alternatif ini merupakan langkah antisipasi bila Departemen Penerangan malah merumuskan RUU yang bertentangan dengan prinsip kemerdekaan pers. Di samping menggelar berbagai diskusi dan seminar publik, MPPI juga membuka jalur lobi ke Komisi I DPR yang membidangi urusan pers. MPPI kemudian mengirimkan draf RUU versi mereka ke DPR.
Pada Agustus 1999, DPR mulai membahas draf RUU Pers. Selama sebelas hari, Komisi I DPR mempelajari dan membandingkan tiga draf RUU: versi DPR, versi pemerintah, dan versi MPPI. Karena sebelumnya telah beberapa kali berlangsung pertemuan dan diskusi, tiga draf di meja anggota DPR memiliki banyak kesamaan. Menteri Yunus dua kali menghadiri rapat pembahasan RUU Pers di DPR, yakni tanggal 26 dan 27 Agustus 1999.
Yunus kembali menegaskan komitmen pemerintahan Reformasi untuk membuka keran kemerdekaan pers. Yang menarik, ketika DPR meminta pemerintah menghadirkan “tim ahli”, Departemen Penerangan menunjuk tokoh pers Atmakusumah Astraatmadja (mantan Redaktur Pelaksana Harian Indonesia Raya yang kelak menjadi ketua Dewan Pers pertama di era Reformasi), serta Sabam Leo Batubara (Ketua SPS, yang kemudian menjadi anggota Dewan Pers). Kedua tokoh ini sejak awal terlibat dalam pembahasan RUU Pers versi pemerintah, versi DPR, dan versi MPPI.
Akhirnya, pada 13 September 1999, rapat paripurna DPR menyetujui RUU Pers menjadi Undang-Undang Pers. Sepuluh hari kemudian, pada 23 September 1999, Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie menandatangani dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sejak tanggal itulah berlaku satu undang-undang yang paling menjamin kebebasan pers dalam sejarah Indonesia modern. Atmakusumah, dalam kolom di majalah D&R, menyebut kelahiran Undang-Undang Pers sebagai ujung dari “Perjalanan 255 tahun yang melelahkan.”
Secara substansial, Undang-Undang Pers 1999 mengandung sejumlah prinsip dasar perlindungan atas kebebasan berekspresi dan kebebasan untuk mengumpulkan serta menyebarluaskan informasi. Prinsip dasar dalam Undang-Undang Pers sejalan dengan konstitusi (Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen) dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Pasal 19). Undang-Undang Pers baru telah berusaha menyeimbangkan jaminan kebebasan pers dengan tuntutan atas profesionalitas serta tanggung jawab pers atas kepentingan publik. Dengan kata lain, Undang-Undang Pers pada prinsipnya menginginkan pers yang merdeka, profesional, dan bertanggung jawab kepada publik.
Undang-Undang Pers baru menjamin kebebasan pers dengan menghapuskan sistem perizinan yang bisa dipakai untuk mengendalikan pers; menghilangkan wewenang pemerintah untuk melarang dan menyensor pemberitaan; serta menghilangkan hambatan dalam kerja-kerja jurnalistik dalam mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi. Undang-Undang Pers baru juga menjamin kebebasan jurnalis untuk membentuk atau bergabung dalam sebuah organisasi berdasarkan pilihan pribadi mereka. Memperkuat jaminan atas kemerdekaan pers, untuk pertama kalinya Undang-Undang Pers mencantumkan ketentuan pidana, yakni hukuman penjara dan denda bagi siapa pun yang menghalang-halangi kemerdekaan pers.
Di samping memberi jaminan atas kebebasan pers, Undang-Undang Pers 1999 juga mewajibkan jurnalis bekerja secara profesional antara lain dengan mewajibkan kepatuhan pada kode etik; meralat pemberitaan yang keliru; melayani hak jawab dan hak koreksi; serta mematuhi kesepakatan dengan narasumber tentang informasi berstatus on the record, embargo, background, atau off the record. Pada saat yang sama, UndangUndang Pers mengamanatkan pembentukan Dewan Pers yang independen sebagai sarana bagi masyarakat untuk memastikan pelaksanaan kemerdekaan pers yang sehat dan profesional. Undang-Undang Pers pun mencantumkan pidana berupa denda bagi perusahaan pers yang melanggar ketentuan undang-undang.
Kini, Undang-Undang Pers 1999 telah berlaku selama 17 tahun. Selama itu pula, sebagai sebuah mahakarya atau masterpiece, Undang-Undang Pers telah menunjukkan manfaatnya bagi perlindungan kemerdekaan pers di Indonesia. Memang, dengan kehadiran Undang-Undang Pers, kehidupan pers di Indonesia belum sepenuhnya bebas dari ancaman.
Jurnalis di banyak tempat masih kerap mengalami kekerasan dari berbagai pihak, baik dari anggota masyarakat maupun dari aparat negara. Sejumlah jurnalis diseret ke pengadilan pidana karena karya jurnalistiknya. Ada pula perusahaan media digugat secara perdata oleh pihak yang merasa terganggu dengan kebebasan pers. Pada saat yang sama, pengaduan tentang kurang profesionalnya wartawan juga masih mengalir ke Dewan Pers.
Tapi, semua masalah tersebut bukan bersumber pada kelemahan Undang-Undang Pers. Semua itu lebih berkaitan dengan masalah penerapan kebebasan pers dalam tataran praktis. Pada banyak kasus, Undang-Undang Pers lebih sering menunjukkan manfaat dalam melindungi kebebasan pers serta memastikan hak publik untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi.
Mempertimbangkan proses pembahasan Undang-Undang Pers yang sangat demokratis; substansi Undang-Undang Pers yang selaras dengan konstitusi negara dan standar internasional; serta manfaat Undang-Undang Pers dalam menjamin kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi, maka kami mengajukan momentum pemberlakuan Undang-Undang Pers tanggal 23 September 1999 sebagai pengganti HPN 9 Februari.
Catatan kaki oleh pemilik blog:
- Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) lahir di Solo, 9 Februari 1946. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) lahir di Bogor, 7 Agustus 1994. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) lahir di Jakarta, 20 Agustus 1998.
- Jauh sebelum Menteri Penerangan Harmoko menerbitkan dan menandatangani Peraturan Menteri Penerangan Nomor 2 Tahun 1984 yang menyatakan PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang diakui pemerintah, Menteri Penerangan Mashuri menerbitkan dan menandatangani Surat Keputusan Menteri Penerangan Nomor 47/Kep/Menpen/1975 tentang Pengukuhan PWI dan Serikat Penerbit Surat Kabar pada 20 Mei 1975.
(Data itu bersumber dari buku Sistem Pers Indonesia karya T. Atmadi, Penerbit PT Gunung Agung, Jakarta, 1985, serta catatan kaki halaman 64 buku Semangat Sirnagalih: 20 Tahun Aliansi Jurnalis Independen yang diterbitkan AJI pada 2014).
Keistimewaan PWI sebagai organisasi tunggal profesi wartawan berakhir setelah Menteri Penerangan Muhammad Yunus Yosfiah mencabut Keputusan Menteri Penerangan bertanggal 20 Mei 1975 itu.
- Sesuai urutan sejarah lahir dan perubahannya, maka seharusnya penulisan UU pers sebagai salah dasar penetapan Hari Pers Nasional sebagaimana tertera dalam naskah di atas adalah Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (Lembaran Negara tahun 1966 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 2815), yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967 tentang Penambahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 2822), dan kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967 (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3235).
- Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) ditentukan dalam Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01/Kep/Menpen/1984 tanggal 31 Oktober 1984. Dengan peraturan Menteri Penerangan Harmoko mencabut Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01/Per/Menpen/1966 tentang Ketentuan-ketentuan Perusahaan Pers, serta Peraturan Menteri Penerangan Nomor 03/Per/Menpen/1969 tentang Lembaga Surat Izin Terbit dalam Masa Peralihan bagi Penerbitan Pers yang Bersifat Umum—SIT dicabut dan diganti SIUPP.
Sebulan kemudian, pada 30 November 1984, Menteri Penerangan Harmoko menandatangani Surat Keputusan Nomor 214A/Kep/Menpen/1984 tentang Prosedur dan Persyaratan untuk mendapatkan SIUPP.
- Kewajiban memiliki Surat Izin Terbit (SIT) ditentukan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 (UU pers pertama). Ketentuan mengenai SIT dalam UU Pokok Pers diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Penerangan Nomor 03/Per/Menpen/1969, tanggal 27 Mei 1969.
Selain SIT, diberlakukan Surat Izin Cetak (SIC) sejak pecahnya Gerakan 30 September 1965. SIC dikeluarkan oleh Pelaksana Khusus (Laksus) Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah (Kopkamtibda). Namun SIC dihapus sejak 3 Mei 1977.
Berbekal SIC Pelaksana Khusus Kopkamtibda berhak penuh memanggil wartawan yang dinilai bersalah atau yang dianggap perlu dimintai keterangan. Nomor Izin Cetak harus dicantumkan pada setiap penerbitan pers seperti halnya Nomor Izin Terbit yang dikeluarkan Menteri Penerangan.
Ketika SIC masih berlaku, penindakan terhadap pers pada tahap pertama dilakukan dengan mencabut SIC-nya. Tahap berikutnya, baru SIT-lah yang dicabut.
Untuk keterangan lebih lengkap bisa dibaca sub-bab “Garis Besar Kebijaksanaan Pemerintahan terhadap Pers”, halaman 185-187, dalam buku Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Januari 2002. (*)
Abdi Purmono, Majelis Pertimbangan Organisasi AJI Indonesia, jurnalis yang tinggal di Malang, Jawa Timur
Discussion about this post