Oleh : Denni Pinontoan
Mulanya ia benar-benar pohon. Pohon cemara atau pohon lain sejenis. Dibeberapa abad silam, di negeri yang mendatangkannya ke sini, ia telah dikreasikan menyatu dengan perayaan kelahiran Yesus Kristus. Ada nilai di sana.
Lalu, kini ia tidak lagi benar-benar pohon. Sebentuk hiasan yang menyerupai pohon yang masih tetap menjadi bagian perayaan Natal. Dihias dengan lampu warna-warna dan pernak-pernik yang semakin ramai.
Orang-orang Kristen kini membuatnya dari macam-macam bahan. Di Tomohon, ada hiasan pohon Natal berwarna emas dirangkai dari bahan-bahan bekas pakai. Sendal jepit, botol plastik air mineral hingga wajan aluminium. Pernah juga saya lihat di medsos foto hiasan pohon natal dari susunan ratusan buku.
Itu dua contoh dari banyak sekali kreasi pohon natal yang tidak lagi dari pohon sungguhan seperti asalnya di negeri dingin sana. Dari banyak sekali kreasi itu, bentuk khas pohon cemara tetap dipertahankan. Hal penting lainnya, tentu ia selalu terhubung dengan perayaan Natal.
Dari kreasi pohon natal yang tak ada habisnya ini sebenarnya menggambarkan juga tentang kekristenan itu sendiri. Maksudnya adalah paham atau dasar pemikiran Kristen yang terbuka dan kontekstual namun taat pada hakikat.
Hiasan pohon natal, juga perayaan Natal tanggal 25 Desember tidak disebutkan di dalam alkitab. Ia kreasi dan konstruksi oleh orang-orang yang mewarisi dan merasa penting untuk melanjutkan warisan itu. Warisan nilai tentang kelahiran Yesus. Inilah narasi penting di dalam kekristenan.
Natal adalah perayaan peristiwa kelahiran bayi Yesus. Secara teologis kemudian dikonstruksi menjadi pemahaman doktrinal, bahwa melalui peristiwa Natal tersebut Firman (Allah) telah menjadi manusia. Allah bersolider dengan dunia. Allah yang menyatakan kasih terhadap dunia. Allah telah memasuki sejarah dan kebudayaan manusia.
Pemahaman dasar ini memungkinkan kehadiran gereja atau Kristen terbuka pada budaya yang beragam. Injil adalah kabar baik. Dalam pekabarannya, agar pesan berita diterima dan teringrasi dalam kesadaran dan kehidupan, maka bahasa, cara dan bentuk penyampainnya seturut dengan budaya pendengarnya. Begitulah sehingga, antara lain alkitab telah diterjemahkan pada banyak bahasa nasional maupun bahasa etnis.
Hiasan Pohon Natal adalah kreasi budaya. Maksud awalnya, dan begitu hingga kini yang dipahami serta dipraktekkan bahwa ia adalah cara untuk menyampaikan pesan dan nilai Natal. Pola dasar pohon cemara tetap tak berubah. Namun bahan dasar untuk hiasan pohon natal mengikuti kreatifitas para pembuatnya. Mengapa bisa begitu? Rupanya, bukan soal ia dibuat dari apa, tapi yang dipentingkan bahwa hiasan pohon natal ini sebisa mungkin dapat membantu orang-orang mengimajinasikan secara kontekstual makna Natal tersebut.
Ada banyak versi kisah tentang awal mula pohon natal menjadi bagian dari perayaan Natal di Eropa. Dari beragam kisah itu semua terkait dengan arti pohon dalam kehidupan manusia. Pohon yang dapat bertahan hidup melewati pergantian berapa musim memiliki makna kehidupan. Dari keberadaan dan makna itu, hiasan pohon pada hari Natal telah membantu orang-orang Kristen sejak beberapa abad lampau dan di berbagai tempat dalam mengimajinasikan dan merefleksikan makna kelahiran Yesus.
Hiasa pohon Natal pada akhirnya telah menjadi ‘simbol global’ untuk membantu orang-orang Kristen menghayati Natal: kisah tentang Allah yang telah memasuki kehidupan manusia; narasi tentang Kasih dan Damai Allah yang telah hadir dalam kehidupan sekuler manusia.
Kreatifitas menghadirkan hiasan pohon Natal mengungkapkan keterbukaan dan keragaman dalam mengabarkan Injil atau kabar baik tentang kasih, damai dan keselamatan Allah melalui kelahiran dan kehidupan Yesus Kristus. Kontekstualisasi hiasan pohon Natal memungkinkan kita menghayati berita dan pesan Natal dengan cara dan budaya masing-masing.
Pada proses ini terjadi secara dialogis, kreatif dan kritis. Kreativitas beriman membutuhkan keterbukaan namun pemahaman yang mendalam mengenai substansi wacana atau teks yang hendak mau diungkap. Sekalipun menggunakan sarana atau perangkat budaya setempat namun itu berarti tidak berarti merelativisir substansi makna atau pesan Natal.
Makanya, hiasan pohon Natal yang dibuat dari sendal jepit, wakan bekas, botol bekas atau barang-barang rongsokan lainnya tidak dianggap telah menista keagungan peristiwa Natal Yesus Kristus. Malah, dalam semangat dan kesukacitaan merayakan Natal, kreativitas semacam ini tidak dianggap terpisah dari penghayatan terhadap sakralitas Natal.
Hiasan pohon Natal, yang identik dengan pola segitiga dengan ujungnya yang tegak menunjuk ke atas mengikuti pola pohon cemara, sepertinya juga menggambarka pola relasi Allah, manusia dan semesta. Bukankah makna Natal juga mengingatkan kita kembali tentang makna relasi-relasi tersebut yang mesti ‘baik adanya’.
Penulis adalah doktor di UKIT Tomohon dan pegiat di Gerakan Cinta Damai Sulut
Discussion about this post