Oleh: Dandhy Dwi Laksono
Negara mana yang paling banyak mengalami kecelakaan pesawat? Jangan berburuk sangka pada Bangladesh atau Sri Lanka. Menurut catatan Aviation Safety Network, jika dihitung sejak tahun 1945 hingga 2015, Amerika adalah negara paling banyak mengalami kecelakaan pesawat.
Dalam periode 70 tahun itu, di Amerika terjadi 788 kecelakaan dengan jumlah korban tewas mencapai 10 ribu jiwa lebih. Itu belum menghitung korban kecelakaan pesawat militer, jet pribadi, atau peristiwa 9 September 2001.
Indonesia sendiri berada di urutan ke-9 dengan 96 kali kecelakaan (kini setidaknya menjadi 97) dengan korban dua ribu jiwa lebih. India yang kerap mengalami kecelakaan kereta api, justru lebih baik posisinya dibanding Indonesia.
Lalu mengapa negara mapan teknologi seperti Amerika yang telah mendaratkan manusia di bulan sejak tahun 1969, justru lebih buruk dari Papua Nugini dalam statistik kecelakaan pesawat?
Jawabannya juga statistik. Karena frekuensi penerbangan di Amerika terpadat di dunia dengan 846 juta penumpang pada tahun 2017. Sementara meski terus tumbuh, proporsi jumlah penumpang pesawat di Indonesia baru seperdelapannya, atau sekitar 120 juta orang pada tahun yang sama.
Ini seperti lelucon menjelang ujian di sekolah: makin banyak belajar, makin banyak lupa. Tak pernah belajar, tak pernah lupa. Ini menjelaskan mengapa Bangladesh atau Sri Lanka tak ada dalam daftar 25 negara dengan jumlah kecelakaan pesawat terbanyak.
—
Gumam doa-doa berbahasa Arab masih terdengar, mengiringi Batik Air yang juga masih berguncang-guncang di langit Bekasi. Sudah 40 menit lebih pesawat jurusan Padang – Halim itu berputar-putar setelah dua kali usaha pendaratan yang gagal di akhir Desember 2017.
Kekhawatiran berkembang biak dalam benak saya yang duduk di bangku F. Apakah pesawat ini masih punya cukup bahan bakar? Setelah 40 menit berputar-putar, apakah pilot masih punya cukup avtur untuk memilih bandara alternatif?
Apakah tidak akan bertabrakan dengan pesawat lain, mengingat dalam 40 menit terakhir pasti terjadi antrean di langit yang sama? Maklum, ini bukan antrean kemacetan mobil. Ini antrean pesawat yang masing-masing berkecepatan setidaknya 300 kilometer per jam di bandara dengan kepadatan 108 pesawat per hari.
Karena tinggal di sekitar bandara Halim, saya menandai peningkatan kepadatan penerbangan komersial dari jam-jam terdengarnya suara mesin pesawat latih yang mengudara. Jika dulu rata-rata jam 11 malam, kini semakin mundur hingga jam 2 dini hari. Bahkan bandara itu kini sudah melayani penerbangan komersial sejak jam 4 subuh.
Semakin banyak tahu, semakin banyak gelisah. Ini bagian paling paradoks sepanjang 40 menit itu. Apalagi teringat dokumenter “Air Crash Investigation” episode tragedi Sukhoi Superjet-100 pada Mei 2012.
Di tengah kepungan awan, pilot senior Aleksandr Yablontsev yang hendak kembali ke Halim, dikepung awan pekat dan tak memiliki jarak pandang. Alarm peringatan “Terrain, terrain. Pull up, pull up” memang berbunyi. Tapi ia abaikan.
Alarm itu memberitahu bahwa ada permukaan tanah dan pilot diberi kesempatan 38 detik untuk naik. Permukaan tanah yang dimaksud tentu saja adalah Gunung Salak yang menjulang dengan ketinggian 1.800 mdpl.
Tapi analis menyimpulkan, pilot Yablontsev terlalu percaya diri bahwa ia berada di jalur yang tepat menuju Halim dan mengabaikan sistem peringatan dari sebuah pesawat yang justru sedang ia jajakan ke perusahaan penerbangan seperti Garuda Indonesia.
Kesimpulan kedua, pilot Yablontsev terlalu dibebani dengan pekerjaan marketing karena di dalam kokpitnya juga hadir pewakilan Garuda Indonesia sebagai calon pembeli yang ikut “test drive”.
Cerita Sukhoi ini ikut mempertebal rasa takut, ditambah reputasi Gunung Salak sebagai “kuburan pesawat”. Bagaimana jika Batik Air yang kami tumpangi mengalami nasib yang sama?
Atau bagaimana jika mesin Batik Air ini mati karena terlalu lama “direndam” di dalam awan Comulonimbus dengan kandungan uap air dan es yang tinggi? Bukankah mesin Garuda GA-421 yang mendarat darurat di Bengawan Solo mati karena sebab yang sama?
Ingatan dan informasi menjadi teror. Daratan mulai samar terlihat di balik tebalnya awan. Yang terus saya pandangi dari jendela adalah bagian flap di sayap pesawat. Selama flap terus diturunkan, artinya pesawat bersiap mendarat.
Doa-doa masih dipanjatkan. Pria di sebelah saya tak pernah melepas matanya dari Al Quran saku yang dibuka dan dibacanya sejak pendaratan pertama gagal. Kedua pasangan muda di bangku depan masih berpelukan, dan suara tangis remaja putri di bangku belakang masih berlanjut.
“Barangkali tak tahu apapun tentang dunia penerbangan, jauh lebih baik,” batin saya. Otak tidak sibuk berpikir, berfantasi, atau merangkai berbagai kemungkinan kejadian.
Sama dengan masa-masa sebelumnya yang mengira terbang di atas laut jauh lebih aman, karena jika terjadi kecelakaan, toh, jatuhnya ke air. Buktinya Garuda GA-421 yang dikemudikan pilot Rozaq mendarat selamat di Bengawan Solo dan US Airways 1549 yang dipiloti Chesley ‘Tom Hanks’ Sullenberger alias Sully juga berhasil di sungai Hudson pada Januari 2009.
Tapi setelah mengenal dan berbicara dengan beberapa pilot bagaimana risiko berbenturan dengan permukaan air dan kemungkinan selamat setelahnya, pandangan pun berubah.
Malaysia Airlines MH-370 di Laut Cina Selatan, Adam Air di perairan Majene, Air Asia di laut Pangkalan Bun, Air France di Atlantik Selatan, Silk Air di Sungai Musi, dan terakhir Lion Air di Laut Jawa, cukup membantah anggapan bahwa “terbang di atas laut lebih aman”. Entah Anda juara olimpiade renang atau bukan, tak ada hubungannya dalam kasus seperti ini.
Dengan ratusan penumpang yang masuk atau keluar dari pesawat dengan tertib saja, butuh setidaknya setengah jam. Bagaimana pula jika dalam kondsi panik dengan ketinggian air yang terus bertambah di dalam kabin seperti gambaran dalam film “Sully” di sungai Hudson.
Hal ini pula yang kerap membuat saya enggan menyimak lagi instruksi keselamatan penerbangan. Selain faktor sudah sering, bosan, atau diulang-ulang, instruksi itu tak memberi gambaran yang realistis.
Perhatikan video-video peragaan keselamatan. Kabin selalu digambarkan luas, tempat duduk hanya berdua seolah semua penumpangnya kelas bisnis, dan para peraga tetap senyam-senyum dan tenang meraih masker oksigen yang jatuh di depan mukanya.
Bahkan belakangan video-video peragaan makin mementingkan elemen hiburan daripada gambaran bagaimana seharusnya ratusan penumpang di ruang yang sempit dan panik, bertindak dalam kondisi darurat. Garuda Indonesia menampilkan animasi di mana tas dapat melayang sendiri dan sabuk pengaman mengunci sendiri. Kabinnya luas hanya berisi satu-dua kursi, dan seorang pria dengan senyum lebar melangkah ke arah jendela darurat seperti berjalan di atas “cat walk”.
Lalu –-masih dengan wajah sumringah dan tak sibuk membaca doa seperti amak-amak atau apak-apak di sekitar saya—pria itu tersenyum lebar sembari mengenakan jaket pelampung. Badannya tetap tegak seolah tinggi jendela darurat sama dengan tinggi rata-rata penumpang.
Omong kosong
Sama omong kosongnya dengan video peragaan Qatar Airways yang mengganti suasana kabin dengan lapangan sepak bola di mana para peraganya adalah bintang Barcelona. Atau video peragaan keselamatan penerbangan milik KLM yang menggunakan animasi di atas keramik.
Saya lebih menghargai peragaan yang nyata, oleh manusia yang terbang bersama kita, di dalam kepadatan kabin yang sama, meski juga bosan. Apalagi mereka yang memeragakan.
Itupun belum menggambarkan situasi yang sebenarnya. Jika pesawat mendarat darurat –entah di darat dan sedang terbakar atau di laut dan sedang tenggelam– apa yang sesungguhnya akan terjadi pada satu deretan bangku berisi tiga orang, dan berjarak lima atau enam baris dari jendela atau pintu darurat?
Bagaimana ketiganya secara bersamaan mencari jaket pelampungnya masing-masing di bawah kursi, yang entah ada atau tidak. Bagaimana ketiganya berebut mencapai jendela atau pintu keluar terdekat?
Lalu bayangkan semua itu terjadi di tengah hiruk pikuk teriakan penumpang yang panik, pramugari yang berteriak “Evacuate! Evacuate!”, bayi yang menangis, dan pria di sebelah saya yang mungkin semakin mengeraskan bacaan Al Qurannya.
Dan entah kapan terakhir kali ratusan pelampung itu dicek satu per satu apakah benar-benar bisa mengembang, meski kita telah sekuat tenaga dan tanpa senyum berusaha meniup “pipa karet dan lampu akan menyala jika sumbat baterai dilepas atau baterai terendam di dalam air”.
Apa yang sesungguhnya akan terjadi dalam situasi seperti itu? Apakah saya akan tampil menjadi pria sejati dengan mempersilahkan atau membantu kaum perempuan dan anak-anak mencapai jendela darurat terlebih dahulu, atau insting saya sebagai primata yang akan mencari selamat sendiri bahkan dengan melompat kursi dan menginjak kepala para perempuan dan anak-anak itu?
Pertanyaan-pernyataan yang tak pernah bisa saya jawab. Dan selalu terulang ketika melihat peragaan keselamatan oleh pramugari, apalagi video-video hiburan omong kosong itu.
—-
Awan tebal berarak di atas kepala. Pertanda pesawat telah terbang di bawah “cuaca”. Ruas tol Cikampek makin jelas terlihat. Flap Boeing 737-800 itu tak pernah dilipat lagi. Ia mendarat di runway Halim Perdanakusuma sekitar jam 3 sore, diiringi teriakan takbir dan gumaman “Alhamduillah”.
Tak ada tepuk tangan untuk pilot atau petugas ATC yang telah cekatan membawa kami melalui cuaca buruk. Semua apresiasi hanya untuk Tuhan.
Pria bangku E di samping saya, menutup Al Quran sakunya. “Surat apa yang dibaca, Bang?” tanya saya.
Dia tak menjawab. Hanya menunjukkan halaman-halaman pertama kitab suci yang tampaknya di bagian Al Baqarah.
Pasangan muda di bangku depan tetap berpelukan. Yang perempuan menangis haru. Gadis remaja di bangku belakang sesenggukan dan dipeluk perempuan yang lebih tua, yang juga berkaca-kaca.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika melaporkan angin kencang dan hujan deras melanda Jakarta siang itu setelah fenomena “break monsson”. Media memberitakan pohon tumbang di sejumlah ruas jalan. Untuk pertama kalinya saya merasa takut terbang.
Dandhy Dwi Laksono, jurnalis yang tinggal di Jakarta
Discussion about this post