Oleh: Iverdixon Tinungki
Lapar, tema menarik sekaligus pelik. Lapar, persoalan asasi merubung umat manusia sepanjang saman. Lapar, pemicu tragedy paling melukai kemanusiaan dalam sejarah peradaban.
Saat ini, fenomena kemiskinan dan kelaparan hampir terjadi di seluruh pulau di Indonesia ungkap data Badan Pusat Statistik. Jumlah penduduk miskin hingga Maret 2018 ungkap data tersebut sebanyak 25,95 juta orang. Disparitas kemiskinan di pedesaan besarannya hampir dua kali lipatnya, yakni 13,20 persen dibanding di kota yang cuma 7,02 persen.
Jauh sebelum filsafat pengetahuan (epistemology) berkelindan di tangan para filsuf, kitab suci kaum semitik telah menyodorkan paradigma “kasih” antar umat manusia, yang salah satu fungsinya membentengi bahaya dan dampak krusial dari lapar.
Lapar seakan wabah menakutkan. Bencana yang sangat sulit dibayangkan daya rusaknya. Erich Fromm, filsuf penulis “The Sane Society” (Masyarakat Yang Sehat) barangkali merinding ketika berpikir dan membayangkan bagaimana seandainya 90 persen penduduk dunia yang merupakan kaum miskin itu bangkit merampas harta milik kaum kaya.
Gelombang besar amukan itu –sebagaimana disimpulkan Karl Marx dalam teori pertentangan kelasnya– segera melindas habis 10 persen kaum kaya. Bahkan negara bisa koyak bila rakyatnya lapar.
Saking aktualnya tema lapar ini, Knut Hamsun, termasuk manusia beruntung karena lapar-nya. Sastrawan miskin yang lahir di salah satu kampung miskin di Gudbransdat, Norwegia Tengah ini meraih Hadiah Nobel Kesusasteraan pada 1920 untuk karya berjudul: “Growth of the Soil”, lalu disusul karya spektakulernya yang berjudul “Sult” artinya Lapar.
Orang SaTaS—sebagaimana diakronimkan secara cermat Budayawan Pitres Sombowadile untuk Sangihe-Talaud-Sitaro—menyebut, lapar secara santun kai Nahutung, sedang penyebutan sarkastisnya Nalunuse.
Apa yang sublim dari novel “Sult” yang artinya Lapar itu? Sastrawan Marieanne Katoppo ketika memberi pengantar untuk edisi Indonesia, tersirat mengatakan Sult adalah otobiografi sang Knut Hamsun. Pengarang ini nyaris menjalani seluruh hidupnya dalam keadaan tersaruk-saruk oleh deraan kemiskinan.
“Knut Hamsun menahan laparnya sampai rambutnya rontok dan pusarnya berdarah,” tulis Katoppo. Ia mengelana ke berbagai negara mencoba meraih peruntungan hidup, tapi di tanahnya sendiri, Norwegia, ia tak pernah disanjung. Kecuali mengenang secara sublim lapar-nya di atas hari-hari kota Christiania—saat ini kota Oslo—yang warganya dirundung pemandangan kemiskinan di mana-mana.
Membaca Sult bagi saya sama dengan membaca SaTaS di kurun 73 tahun kemerdekaan Indonesia. Di masa lalu, SaTas ketika menjadi singgasana enam kerajaan samudera yang berturut-turut berdiri sejak paroh abad ke 15 adalah kawasan penuh cerita kesejahteraan. Cerita itu bahkan masih bertahan hingga era kolonial.
Dari era itu kita bisa membaca syair sastra: “Bageng nahutung su wanuang tau, ndai kapule su banuang batangeng” (Bila lapar di tanah orang, mari pulang ke tanah sendiri). Dari larik sastra ini, kita menangkap kesan bahwa “tanah sendiri” adalah sebuah firdaus eskatologis di mana semua makna kenyang berada.
Tapi di era kemerdekaan, kisah kesejahteraan itu berbalik arah. Sebagian besar rakyat tergelempang dalam kemiskinan materil dan spiritual. Deviasi sosial merebak membebat daya hidup menjadi sekadar bayang-bayang suram.
Di Sawangino, di gerbang pulau exotic Biaro, yang lautnya menjadi surga perkawinan berbagai jenis ikan, cerita kesejahteraan masa lalu itu tampak tak berbekas. Hanya ada dermaga kokoh, tapi di seberangnya bayang-bayang kemuraman bersarang. Jalan-jalan rakyat hanya dialas batu-batu karang yang kasar dan tajam.
Sekitar 1 kilo dari dermaga, ada kampung nelayan dengan pemandangan yang bertolak belakang dengan kenyataan sebegitu melimpahnya pontensi perikanannya di sana. Orang hidup jauh dari bayangan kesejahteraan. Bahkan di beberapa desa hingga kampung Buang, sedikit sekali terlihat kaum muda di sana.
Ke mana mereka? Ternyata pergi merantau, meraih peruntungan di tanah orang. Merantau sudah menjadi pilihan dari pada lapar di tanah sendiri. Bukankah ini suatu ironi menyakitkan.
Di pantai Buang, di kampung yang punya dermaga pendaratan armada kapal ikan, seorang nelayan tua menyanyikan lagu rakyat diiringi juk-nya: “Su hiwang gaghurang tangkongsangapa, marau gaghurang kasiang” (Di pangkuan orang tua tak ada yang menakutkan, jauh dari orang tua sungguh kasihan).
Lagu itu meski terdengar menentramkan, tapi sekaligus sarkasme yang menusuk kenyataan di Buang, bahkan untuk negeri kepulauan yang di atasnya berdiri 3 kabupaten (Sangihe-Talaud-Sitaro) yang saat ini diolok sebagai pemasok terbesar tenaga kerja Pembantu Rumah Tangga (PRT), pelayan-pelayan toko, buruh perkebunan, baik di Manado, Bitung, dan Minahasa.
Momo dan Ungke yang esensinya panggilan sayang buat anak dalam kultur luhur manusia SaTaS, di tanah rantau terperosok bermakna babu alias hamba sahaya.
Drs. Winsulangi Salindeho dan Pitres Sombowadile pernah menggambarkan negeri ini (SaTaS) sebagai kawasan perbatasan penuh keterbatasan dan pembatasan. Daerah pery-pery tingkat tiga dalam system pengisapan pusat terhadap daerah.
Negara (penguasa) seperti dikritik Marx telah berada dalam kelas atau pihak yang berdikotomi dengan kelas rakyat. Kekuasaan yang bersekutu cuma dengan kaum kaya dan kapitalis pemilik modal. Rakyat jadi obyek dagelan, lantas terlantar dalam lapar.
Ada yang mengatakan, di SaTaS hari ini barangkali tak lebih dari musim perayaan golongan kaya, para pemilik modal yang mampu membangun usaha perikanan dan menikmati kekayaan laut di sana. Menguasai perkebunan pala, kelapa, dan semua usaha sektor pertanian, dan perdagangan. Rakyat kecil adalah petani, buruh dan nelayan tradisional yang hanya bermodal perahu kecil tak bisa meraih lebih selain sekadar mengais hidup untuk sehari.
Di pulau Para pernah ada pemandangan lebih parah lagi. Di tengah terik yang hanya ditampik daun pohon-pohon Ketapang, orang-orang pulau itu memecahkan batu besar untuk diubah jadi kerikil.
Debu sontak naik membebat kulit setiap kali martil dihujamkan. Martil mendencing dan batu berderak pecah. Tapi bagaimana kita menggambarkan kisah keringat mereka? Mereka tak pernah menghitungnya! Seperti di Biaro, “mereka” jauh, dalam posisi bukan “kita” bagi penguasa. Seperti langit-bumi dimetaforkan dalam buah keterpisahan. Ketimpangan terjadi. Ketika bumi lebam, penguasa tak merasa ikut kesakitan. Lain merana, lain bergelimang kalam dan kesempatan.
Tak ada yang mengkaji proposisi elementer dari fenomena keringat itu, kendati filsuf seagung Ludwig Wittgenstein mengisyaratkan sebuah jalan pencarian kebenaran dengan bahasa.
Bagaimana berpikir dengan bahasaa ketika kata-kata sebagai alat dari bahasa telah mengendap di dasar laut dimana mereka tak lagi melihat pengharapan. Kecuali uap asin yang selalu panas terus merubung ke akar pori-pori hingga seluas kulit, seluas itu pula warna legam.
Kata-kata itu tenggelam bersama ratusan kali keringat basah dan mengering, dan basah lagi, lalu mengering lagi. Keseharian menjadi sekadar upaya menampik lapar. Kata-kata bukan lagi milik mereka. Kata-kata bukan milik orang-orang di pulau-pulau kecil yang luasnya bisa di ukur dengan depa. Lautnya dijejali rumpon dan armada-armada perikanan beroperasi secara canggih milik pengusaha besar dari luar daerah.
Ketika ikan tak lagi merapat ke pulau tertahan oleh system tangkap yang canggih itu, di mana pemerintah? Tentu tak mudah didapat jawaban mengingat perangai penguasa masa kini yang cenderung menutup telinga terhadap suara rakyatnya, kecuali politik penggeseran opini dalam bentuk penghiburan berupa pembangunan dermaga atau talut-talut penangkal ombak, dan rakyat pulau di sana jadi pemecah batu dalam perasaan pilu yang susungguhnya sulit disembuhkan hanya dengan cara itu.
Sebab, kalaupun ada keberanian berbicara, lantas siapa yang mau mendengar. Toh, sudah jadi cerita nyinyir ketika wakil rakyat sekadar wakil diri dan keluarganya, plus wakil kroni politiknya. Pemimpin eksekutif di daerah apalagi. Bukan saja sulit digugah, barangkali mulai terbiasa mengubah salah jadi benar adanya.
Jangan berpikir ini bukan realitas kita hari ini. Bahkan ini pemandang nyata di SaTaS. Di kawasan tepi Nusantara. Kepulaun yang terdiri dari 112 pulau dengan luas wilayah 95 persen laut, 5 persen darat. Di negeri yang potensi lestari perikanannya mencapi 100.000 ton pertahun. Di negeri yang dijuliki para eskader kapal pemburu rempah era kolonial sebagai negeri ringgit kaya rempah, dengan kebun pala setiap periode panennya bisa meraup Rp. 110 miliar.
Di kawasan paling utara di Timur Indonesia yang langsung berbetasan dengan Negara Filipina yang harusnya bisa memetik peruntungan dari letak strategisnya bila kawasan terluar (baca: terdepan) benar-benar dijadikan beranda depan dalam politik ekonomi nasional.
Tapi di Para, di suatu waktu, bahkan di beberapa pulau lainnya. Ketika laut tak lagi menjanjikan hidup, ketika ikan tak lagi melintas mengikuti batang-batang arus, keluarga-keluarga nelayan pergi mengangkut batu dan memecahkannya, lalu dijual ke proyek pembangunan sebuah dermaga. Dan tidak sedikit terpaksa keluar merantau meski sekadar menjadi babu dengan gaji rendah.
Pertanyaannya, ada apa dengan laut kita? Ada apa dengan kebijakan-kebijakan pembangunan negeri kita? Mengapa ada pemandangan semelarat ini di negeri ladang ikan, dan laut ternyata tinggalkan.
Tiga kabupaten di SaTaS membanggakan diri sebagai kabupaten bahari. Itu visi dijual para Bupati saat Pilkada. Dengan visi itu rakyat percaya, dan kini mereka berkuasa di sana. Ternyata, kata dan fakta sejauh api dari panggang. Keadaan tetap saja sama seperti sediakala. Sektor perikanan tak jua terangkat jadi andalan.
“Mengkete keree amang,” ujar seorang nelayan tua dengan nyinyir dan gamang.
Harusnya kita tak boleh lupa dengan kejadian ini. Seorang pemimpin pemerintahan di era ketika persoalan kemiskinan berada pada titik paling krusial harusnya menjadi sosok pertama mengulurkan tangan kebaikan menolong mereka yang lapar.
Lapar bukan sekadar metafora dalam pidato atau khotbah banyak pemimpin yang coba menginterpretasi kondisi sosial masyarakat, baik dari aspek material dan psykologi. Lapar adalah suatu kenyataan ril hari ini yang sedang menimpa rakyat kita. Kurangnya lapangan kerja, peminggiran terhadap usaha ekonomi kreatif masyarakat, dunia pendidikan yang mahal, tak ada support terhadap dunia intelektual dan seni budaya, semua itu menjadi pemicunya.
Pemerintah harus melayani rakyat dengan pendekatan yang utuh masuk ke dalam inti persoalan dasarnya. Bukan sekadar bermain-main dengan kebijakan di permukaan saja, sementara esensi masalah sama sekali tidak tersentuh.
Banyak pakar filsafat mencoba menyusun struktur logika persoalan lapar ini agar segera didapatkan pemecahannya. Tapi teori sehebat apapun tidak akan ada kemaslahatannya bila pemimpin pemerintahan hanya sibuk dengan urusan kekuasaan tanpa turun menolong kaum miskin dengan kebijakan-kebijakan yang mendorong semangat meraih hidup layak.
Di Tagulandang, di suatu kampung paling ujung, di sebuah prasasti desa, ada falsafah tua terpahat; “Dalai Abe Karoro, Mapia Kadeho” (Keburukan jangan hinggap, Kebaikan didapat). Tapi di pusat-pusat kekuasaan, di tiga kabupaten di kepulauan SaTaS itu segalanya seakan terbalik derajatnya; “Mapia Abe Karoro, Dalai Kadeho”.
Dan barangkali bila Knut Hamsun sempat menyisir kepulauan ini akan membuka bab pertama novelnya: “Semua ini terjadi ketika aku sedang menyisir pesisir SaTaS (buka kota Christiania), negeri pulau yang tak meluputkan seorang pun tanpa meninggalkan bekas mendalam pada dirinya.”
Akhirnya: Nahutung su tonggeng Bira, kumang su Manaro, apa kai iwera, kebi daleng seng napoto.(Lapar di tanjung Bira, makan di Manado, apa mesti di kata, semua jalan telah putus). ***
Discussion about this post