Pada zaman dahulu sekali Nusa Tabukan merupakan tempat para pemberani Sangihe. Wilayah ini seringkali menjadi medan pertempuran untuk menghalau musuh dari Mindanau Filipina atau dalam bahasa lokal disebut Mangindano. Karena memang, di waktu demikian kerajaan-kerajaan di Sangihe, seringkali berseteru dengan perompak Mangindano.
Wawehesolang termasuk salah satu pemberani di dalamnya. Ia merupakan ksatria yang berasal dari Pulau Nusa. Orang menyebut tempat itu dulu dengan sebutan Dalaweng atau secara keseluruhan jejeran pulau pulau tersebut dikenal dengan nama Nusa Kaderotang.
Kisah Wawehesolang dikenal oleh masyarakat berdasarkan tuturan lisan secara turun temurun. Wawehesolang merupakan manusia tangguh, ia mempunyai kekuatan yang luar biasa dalam hal berperahu. Dituturkan bahwa kehebatannya dalam hal mendayung perahu, dalam dua kali hentakkan dayungnya dari pulau Nusa, bisa seketika membuat perahunya sampai di tepi pantai Sangihe Besar.
Namun ada cerita yang hingga hari ini menjadi sebuah dendam dan pantangan bagi orang-orang yang berasal dari Manganitu untuk tidak diperbolehkan mengunjungi situs Tengkorak Wawehesolang. Hal ini dikarenakan kisah tragis terbunuhnya Ayah dari Wawehesolang yang berdasarkan tuturan dibunuh oleh orang Manganitu di zaman itu.
Pada peristiwa pembunuhan itu, mereka membawa kepala ayahnya menuju ke Sangihe Besar. Namun demikian upaya itu digagalkan Wawehesolang. Dia mengejar orang-orang yang membawa kepala ayahnya dan mendapati mereka di tempat yang dinamakan “Belae”.
Tak menunggu lama, Wawehesolang memegang perahu para pembunuh ayahnya dan memutarnya hingga perahu tersebut terbelah dua. Kemudian ia membunuh orang-orang tersebut. Dia pun menyisahkan satu orang untuk pulang ke Manganitu, agar dapat menyampaikan bahwa para pemberani Manganitu itu telah dibunuh olehnya.
Semenjak kisah itu, lahirlah berbagai macam carita tentang Tengkorak Wawehesolang yang tak boleh dikunjungi oleh orang dari Manganitu. Tempat itu bernama Batu Rahuluhe.
Untuk menuju ke Batu Raluhe pengunjung akan melewati batu-batu besar dan perkebunan warga Pulau Nusa. Kurang lebih ada lima Tengkorak Kepala, sisah tulang belulang lainnya dan bekas perahu, serta perlengkapan milik Wawehesolang yang menurut penuturan warga jika dihitung dari kisah peristiwa tersebut, tengkorak itu sudah berumur sekitar 700 tahun.
Masyarakat Nusa Tabukan punya sebutan lain terhadap Wawehesolang, Yaitu “Duhi Pihu” atau tulang putar. Hal tersebut menjadi tanda tulang tangan Wawehengsolang. Hingga hari ini orang-orang masih percaya tentang hal-hal magis di tempat tersebut. Menurut penuturan warga, sebagian dari mereka di tempat tersebut, jikalau hendak merantau mereka akan ke tempat itu dan bermalam di sana. Hal tersebut dilakukan karena mereka mempercayai leluhur akan menyertai sepanjang perjalanan.
Cerita Wawehesolang tetap menjadi misteri dan kepercayaan bahwa di tempat tersebut tak boleh menyebut nama Manganitu. Apabila mengucap nama manganitu sambil menunjuk ke arah seseorang, maka orang tersebut akan ditimpa penyakit atau hal-hal magis yang membahayakan dirinya. (*)
Penulis : Rendy Saselah
Discussion about this post