Sebelum Simon Kos, seorang Belanda, pejabat VOC di Ternate memasuki Sulawesi Utara pada 1630, kopi telah lama tumbuh di Minahasa. Bahkan pada 1541, Nicolas Desliens mencatat Manado telah menjadikan kopi sebagai komoditi ekspor ke daratan Cina.
Dalam artikel berjudul “Bermulanya Minahasa dikenal di Peta Dunia” Harry Kawilarang menulis, kesuburan tanah di Minahasa digunakan Spanyol untuk memperluas penanaman kopi yang berasal dari Amerika-Selatan sejak 1532.
Ini sebabnya selain rempah, keberadaan kopi di Sulawesi Utara menjadi pemicu penting bagi Simon Kos melaporkan hasil perjalanannya ke Batavia yang waktu itu menjadi pusat pemerintahan dibawah kekuasaan persekutuan dagang Verenigde Oost-Indiesche Compagnie (VOC).
Kos melaporkan, Sulawesi Utara cukup potensial, baik lahan kopi maupun posisi letak strategisnya sebagai jalur lintas rempah-rempah dari perairan Maluku menuju Asia-Timur. Lagi pula jalur lintas niaga laut lebih tenang bagi pelayaran kapal-kapal kayu dibanding melalui Laut Cina Selatan.
Laporan Simon Kos tulis Kawilarang, mendapat perhatian dari Jan Pieter Zoon Coen, Gubernur-Jendral VOC di Batavia yang ingin mengusir Spanyol dari kepulauan Maluku Utara guna melakukan monopoli.
Usaha perluasan pengaruh di Laut Sulawesi pun merebak. VOC mendapatkan peluang disaat penduduk Minahasa berjuang menghadapi kolonialisme Spanyol yang diwarnai berbagai persoalan social terutama akibat perbuatan para musafir Spanyol yang sering melakukan rudapaksa terhadap wanita setempat.
Pengaruh VOC di Sulawesi Utara tidak disenangi Spanyol. Sebab Spanyol telah menanamkan modal dengan pengembangan berbagai komoditi pertanian ekspor seperti kopi, pisang dan kopra. Komoditi ini merupakan potensi niaga dengan Asia-Timur, terutama daratan Cina.
Untuk itu dikirim Bartholomeus de Soisa dari Filipina mempertahankan posisi Sulawesi Utara. Spanyol menduduki daerah Uwuran dan beberapa tempat di pesisir pantai pada 1651 dengan bantuan prajurit asal Makassar.
(baca juga:Loji Tondano dan Jejak Freemason di Sulawesi Utara)
Pendudukan ini menimbulkan reaksi Belanda di Ternate. Di bawah pimpinan Simon Kos, pada akhir 1655 kekuatan Belanda mendarat di muara sungai dan langsung membangun benteng.
Pembangunan Benteng ‘De Nederlandsche Vastigheit‚’ dari kayu-kayu balok sempat menjadi sengketa sengit antara Spanyol dengan Belanda. Kos berhasil meyakinkan pemerintahannya di Batavia bahwa pembangunan benteng sangat penting untuk mempertahankan posisi Belanda di Laut Sulawesi. Dengan menguasai Laut Sulawesi akan mengamankan posisi Belanda di Maluku dari Spanyol.
Setelah memperoleh dukungan sepenuhnya dari Batavia, Kos berlayar menuju Manado disertai dua kapal perang Belanda, Molucco dan Diamant pada awal 1661 dari Ternate. Kekuatan ini mengalahkan Spanyol dan Makassar hingga di Manado hingga Amurang pada bulan Februari 1661.
Belanda memapankan pengaruhnya di Sulawesi-Utara dan merubah benteng semula dengan bangunan permanen dari beton. Benteng ini memperoleh nama baru, ‘Ford Amsterdam‚’ dan diresmikan oleh Gubernur VOC dari Ternate, Cornelis Francx‚ pada 14 Juli 1673 (Benteng terletak di kota Manado dibongkar oleh Walikota Manado pada 1949 – 1950).
Sebagai akibatnya ungkap Kawilarang, kegiatan hubungan ekonomi di seputar Laut Sulawesi secara langsung dengan dunia luar praktis terlantar. Karena penyaluran semua komoditi diseluruh gugusan nusantara melulu diatur oleh Batavia yang mengendalikan semua jaringan tata-niaga dibawah kebijakan satu pintu. Penekanan ini membawa derita berkepanjangan bagi kegiatan usaha penduduk pedalaman Minahasa.
Pergeseran pengaruh kekuasaan dari Spanyol kepada Belanda telah mengubah sistem tata-niaga dimana komoditi Kopi dan rempah Sulawesi-Utara tidak dapat berhubungan langsung dengan berbagai pasaran di paparan Pasifik. Jaringan niaga Laut Sulawesi di Asia-Timur dan rintisan jalur niaga Pasifik yang menghubungkan kawasan ini dengan daratan benua Amerika oleh Spanyol praktis tertutup.
Semua komiditi ekspor ekonomi penduduk Sulawesi-Utara dikendalikan melulu dari Batavia diciptakan sejak zaman VOC dilanjutkan oleh pemerintahan Hindia-Belanda sebagai penguasa tunggal terhadap imperium kolonial terbesarnya di Asia-Tenggara.
Di lain sisi, sejak masa Spanyol di Sulawesi Utara, Manado menjadi pusat niaga bagi pedagang Cina yang memasarkan kopi kedaratan Cina. Nama Manado bahkan dicantumkan dalam peta dunia oleh ahli peta dunia, Nicolas Desliens.
Para pedagang Cina, sebut beberapa sumber, merintis pengembangan gudang kopi di Manado (kini seputar Pasar 45) yang kemudian menjadi daerah pecinan dan pemukiman. Para pendatang dari daratan Cina itu kemudian berbaur dan berasimilasi dengan masyarakat pedalaman hingga terbentuk masyarakat pluralistik di Minahasa bersama turunan Spanyol, Portugis dan Belanda.
Perkembangan Komoditas Kopi di Sulut
Kopi asal Sulawesi Utara termasuk jenis robusta, saat ini memiliki peminat tersendiri di Eropa, Amerika, dan Asia. Ada lima daerah penghasil kopi terbesar, yaitu Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Kota Kotamobagu, Kabupaten Minahasa Selatan, dan Kabupaten Minahasa Tenggara
Menurut data yang diungkap Bank Indonesia (BI) Perwakilan Sulawesi Utara pada 2017, luas areal tanaman kopi di Sulawesi Utara, tercatat mencapai 7.714 ha dengan total produksi sebesar 2.992 ton.
Sementara komoditas kopi Sulut ternyata diperhatikan pasar domestik maupun internasional. Dengan potensi yang ada, Sulut bisa mengekspor kopi ke Asia, Eropa, Amerika, maupun Afrika.
“Komoditas kopi Sulut termasuk jenis robusta memiliki peminat tersendiri di Eropa, Amerika, dan Asia,” kata Soekowardojo dari BI.
Dikatakannya, permintaan mulai berdatangan dari Tiongkok, Belanda, Ukraina, dan beberapa negara lain yang sedang melirik produksi kopi asal Sulut.
“Ini menjadi tugas kita bersama untuk mengangkat komoditas unggulan Sulut sampai pasar internasional,” jelasnya.
Sementara itu ungkap data tersebut, Pulau Sulawesi juga memiliki potensi yang cukup besar untuk komoditas kopi. Meski dari sisi luas areal tanaman terbilang masih kecil dibanding pulau-pulau lainnya di Indonesia, mencapai 115.696 ha, namun volume produksinya cukup besar yaitu sebesar 46.908 ton, urutan ketiga setelah Sumatera dan Jawa.
Berdasarkan data Statistik Perkebunan Indonesia dan International Coffee Organization, secara keseluruhan, luas areal tanaman kopi di Indonesia mencapai 1.233.000 ha dengan total produksi sebesar 664.000 ton. Hasil produksi kopi tersebut tentunya tidak hanya menjadi konsumsi dalam negeri. Sebagian besar produksi kopi Indonesia diekspor ke mancanegara.
Tercatat pada 2015 total ekspor kopi Indonesia sebesar 458.694 ton dengan nilai produksi sebesar 28.234 dolar AS atau setara Rp367,04 triliun. Adapun beberapa negara tujuan utama ekspor kopi Indonesia yaitu Amerika Serikat, Malaysia, Jepang, Jerman, dan Italia. Indonesia berhasil menempati negara keempat pengekspor kopi terbesar di dunia setelah Brazil, Vietnam, dan Kolombia. (*/dari berbagai sumber)
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post