Oleh: Sovian Lawendatu
Unsur ironi galibnya hadir sebagai majas dalam konteks larik puisi dan dialog tertentu para tokoh dalam prosa (cerpen/novel) dan drama. Tapi dalam naskah drama “Tarman, Sang Perampok dan Muridnya” karya Iverdixon Tinungki unsure ironi hadir dalam konteks tema, dan, karenanya, lebih luas daripada sebuah majas, serta menyatu dengan anasirintrinsik cerita lainnya seperti alur dan karakter tokoh. Jelas, ini fenomena langka atau unik, sehingga karya Iverdixon ini menarik untuk diulas.
Diceritakan dalam naskah drama Iverdixon tadi seorang perampok yang bernama Tarman. Sebagai perampok, Tarman berwatak jahat. Demikian juga kedua muridnya, Tagor dan Salma.
Sepuluh tahun lalu – sesuai dengan alur kilas balik naskah ini — Tarman (bersama kedua muridnya?) merampok isi rumah tokoh Adel dan ibunya. Sepuluh tahun kemudian, Tarman bersama kedua muridnya datang lagi ke rumah Adel dan ibunya dengan niat merampok. Namun, kali ini niat Tarman bersama kedua muridnya itu gagal karena sikap Adel yang memperlakukan Tarman sebagai pamannya.
Pertanyaan sekarang, mengapa Adel memperlakukan Tarman sebagai pamannya? Bagaimana perkembangan atau dinamika karakter dalam perjalanan cerita?
Adel adalah seorang gadis buta. Adel mengetahui bahwa Tarman adalah pamannya ‘berkat’ cerita ibunya setelah Tarman merampok harta di rumah mereka pada sepuluh tahun lalu. Jelas, pengetahuan Adel itu salah, atau Adel telah “didustai” oleh ibunya.
Kalau begitu, mengapa ibu Adel harus mendustai anaknya? Tanyaan ini, buat saya, tidak usah dijawab dari sisi normaetika/moral. Tapi mesti dijawab dari dari motivasi atau tendensi pengarang mengusung unsure ironi dalam drama ini.
Ironi itu adalah bahwa kehadiran Tarman sebagai perampok yang hendak merampok kembali harta milik Adel dan ibunya justru disambut dengan penuh kasih sayang oleh Adel berhubung dengan pengetahuan Adel bahwa Tarman adalah pamannya.
Penyambutan atau perlakuan Adel yang demikian tak pelak membuat Tarman salah tingkah; karakternya yang jahat sebagai perampok lambat laun rontok, hingga akhirnya ia bertobat dari keperampokannya. Di sisi lain, sesuai dengan jalan cerita yang bergulir dalam konteks pengaluran drama ini, Tarman mendapat ledekan dari kedua muridnya berhubung dengan pertobatannya itu (baca: perubahan sikap dari perampok menjadi orang yang baik hati).
Ironisnya, ketika Tarman sudah mencapai titik klimaks pertobatannya, ia justru ditembak mati oleh muridnya, Salma. Maklum, Salma (juga Tagor) kecewa atas pertobatan Tarman.
Di akhir cerita, Salma dan Tagor meninggalkan Tarman terkapar berlumuran darah (baca juga: melarikan diri) setelah menembak Tarman. Sementara Adel, gadis buta itu, memeluk “paman”nya dengan rasa duka dan berderai air mata, hingga sang “paman” meregang nyawa.
Dari unsure ironi yang diusung oleh pengarang tersebut, dengan mudah kita dapat menyimpulkan tema dan amanat dari drama ini. Tema drama ini adalah bahwa kasih dapat mengalahkan kejahatan. Amanatnya jelas, bahwa manusia harus menghancurkan kejahatan dengan cara mengasihi (bukan menghabisi) penjahat.
***
Unsur tema dan amanat dalam drama karangan Iverdixon Tinungki itu dengan mudah dapat dikembalikan padakonteks ajaran (dogma) Kristiani yang bersumberkan Skriptura. Tema dan amanat begini memang ‘latah’. Namun tema dan amanat tersebut menjadi menarik karena digarap secara canggih oleh sang pengarang, yakni melalui unsur (bacajuga: teknik atau nada) ironi yang menyatu dengan karakterisasi dan pengaluran. Kecanggihan cara penggarapan tema dan amanat itulah yang menyebabkan Dewan Juri memvonis drama ini sebagai Naskah Terbaik dalam Festival Teater Pemuda se-Sinode GMIM yang digelar pekan lalu di Jemaat Golgota Tondangouw, Wilayah Motoling Empat.
Tentu saja, ada pertimbangan lain bagi Dewan Juri sehingga naskah itu divonis sebagai NaskahTerbaik. Pertimbangan lainnya ialah bahwa secara tematik, drama tersebut memenuhi kriteria “khotbah lakon”, sebagaimana yang diberlakukan dalam perhelatan teater pemuda GMIM berskala sinodal itu.
Discussion about this post