Oleh: Iverdixon Tinungki
Teater (drama) adalah sebuah seni kolektif yang melibatkan banyak unsur seni, selain seni acting, diantara seni music, seni rupa, tata busana, tata rias, tata cahaya. Ini sebabnya menilai sebuah festival teater atau drama bukan pekerjaan yang enteng apalagi sembarangan. Keberadaan personil Dewan Juri menjadi sangat vital dalam sebuah festival teater atau drama sehingga menelorkan hasil penilaian yang objektif dan valid.
Banyak ajang festival Teater atau Drama berakhir ricuh disebabkan keraguan para peserta atas hasil penilaian Dewan Juri yang dianggap tidak objektif dan valid bahkan diragukan.
Persoalan ini muncul biasanya dipicu oleh ketidak percayaan peserta terhadap kapasitas seseorang yang ditunjuk sebagai Dewan Juri sangat diragukan karena tidak punya cukup pengetahuan atau pengalaman teater atau drama. Keraguan lain disebabkan personil Dewan Juri punya kencenderungan memihak kelompok atau grup tertentu yang dekat dengan dirinya sehingga hasil penilaiannya lebih didorang oleh subyektifitas kedekatan itu. Ada juga keraguan yang dipicu sebuah prasangka dimana personil Dewan Juri suka menerima sogokan dari grup tertentu.
Menyangkut kapasitas seorang personil Dewan Juri memang menjadi sebuah patokan penting agar hasil penilaian tidak diragukan. Seorang Juri festival teater atau drama haruslah seorang yang punya pengetahuan yang cukup mendalam akan Teater atau Drama baik lewat study formal, dan atau lewat pengalaman yang matang dalam berteater.
Personil Dewan Juri yang tidak punya pengetahuan formal dan atau tidak punya pengalaman yang matang dalam berteater sudah pasti akan menghasilkan sebuah penilaian yang ngawur. Kengawuran itu disebabkan oleh ketidaktahuan si juri akan unsur kekolektifan seni teater atau drama itu sendiri, serta genre-genrenya.
Seorang lulusan sekolah film sebagai misal tidak serta merta bisa menjadi juri teater, karena prinsip, teknik dan proses pembuatan film berbeda dengan prinsip, teknik dan proses penyutradaraan teater. Dia harus juga punya pengalaman yang mendalam dalam berteater.
Dalam kasus festival teater atau drama gerejawi, seorang teolog tidak juga serta merta bisa menjadi juri. Dia harus juga punya pengalaman yang mendalam dalam berteater. Bila dipaksakan, maka penilaiannya akan lebih banyak menyorot aspek teologis dalam pertunjukan. Dan hal tersebut merupakan kesesatan dalam proses penjurian teater atau drama, sebab unsur teologis adalah unsur dalam sastra (teks).
Dalam sebuah festival teater atau drama gerejawi sekali pun, unsur teks haruslah dinilai tersendiri menurut kriteria penilaian sastra, tidak boleh dicampuradukan dengan unsur penilaian pertunjukan teater atau drama. Karena dalam sebuah proses penggarapan teater atau drama, teks telah mengalami interpretasi atau tafsir. Mempersoalkan nilai teologis dalam festival teater atau drama gerejawi adalah sebuah tindakan yang rancu dan distortif karena tidak ada unsur itu dalam pakem aspek-aspek penilaian sebuah teater atau drama.
Persoalan teologis (persoalan teks) dalam sebuah festival teater atau drama gerejawi haruslah sudah tuntas sebelum sebuah teater gerejawi dipanggungkan.
Seorang juri dalam festival teater atau drama haruslah juga seorang yang netral, tidak dipengaruhi unsur subyektif kelompok atau kedekatan, apalagi persoalan sogokan. Kejujuran seorang personil dewan juri sangat dibutuhkan agar terhindar dari persoalan subyektifitas tadi.
Seorang dewan juri harus lebih awal memahami dimana proses produksi sebuah pertunjukan adalah pekerjaan serius yang tidak main-main, maka harus diapresiasi secara adil.
Dalam proses menjuri, personil dewan juri juga harus memahami 3 (tiga) aspek penilaian yang jadi pedoman dalam penjurian yaitu: 1. Aspek Pemeranan. 2. Aspek Penataan. 3. Aspek Penyutradaraan. Ketiga aspek penilaian ini penting dipahami dewan juri karena setiap aspek memiliki bobot penilaian yang berbeda.
Ada segelintir juri –biasanya yang tidak punya pengetahuan atau pengalaman berteater yang matang— sering langsung membuat nilai akumulatif untuk sebuah pertunjukan. Cara-cara seperti itu akan menghasil sebuah penilaian yang tidak obyektif dan serba campur aduk. Sebagai contoh: kesalahan dalam aspek penyutradaraan yang merupakan wilayah kerja sutradara tidak boleh dibebankan menjadi kesalahan dalam aspek pemeranan yang merupakan wilayah kerja aktor dan aktris. Demikian sebaliknya.
Karena setiap aspek penilaian memiliki bobot nilai tersendiri, maka seorang juri harus jeli memilah-milah bagian demi bagian dari setiap aspek penilaian tersebut. Sebagai contoh dalam tata busana (kostum), pertunjukan yang menggunakan kostum yang sesuai tuntutan peran tentu nilainya lebih tinggi dalam aspek penataan dibanding pertunjukan yang tidak mengunakan kostum sesuai tuntutan peran. Dalam hal tata music, sebuah grup yang menggarap music sendiri (live) tentu nilainya lebih tinggi dalam aspek penataan dibanding grup yang hanya memutar music lewat kaset, CD atau laptop.
Seorang personil dewan juri juga tidak boleh menilai sebuah pertunjukan menggunakan interpretasi garapannya terhadap teks (naskah). Sebab tugas dewan juri adalah membandingkan hasil pertunjukan grup demi grup. Jika personil dewan juri membuat tafsir garapan terhadap sebuah teks yang dipanggungkan sebuah grup, maka anda telah meletakkan grup itu sebagai lawan anda, bukan lawan grup yang lain untuk diperbandingkan.
Kerumitan dalam kerja penjurian festival teater atau drama inilah sesunggunya yang menuntut kapasitas seorang personil dewan juri. Karena 3 aspek penilaian itu juga memiliki aturan (pakem) alias hukum panggung tersendiri dalam dramaturgi.
Jika anda tidak paham akan pakem-pakem dalam dramaturgi janganlah anda menjadi juri festival teater atau drama. Karena jika anda memaksakan diri itu sama dengan mempermalukan diri sendiri atau setara dengan orang buta yang menceritakan sebuah kronologi peristiwa tabrakan yang disaksikannya.
Berikut ini saya tampilkan aspek-aspek penilaian dan bobot nilai dalam sebuah proses penjurian festival teater atau drama moga berguna bagi kita semua yang mencintai dunia teater atau drama.
ASPEK PENILAIAN FESTIVAL TEATER ATAU LOMBA DRAMA
1. PEMERANAN (Total nilai tertinggi: 45)
– Wirasa (Penghayatan): 1-15
– Wiraga (Acting): 1-15
– Wirama (intensitas emosi): 1-15
2. PENYUTRADARAAN (Total nilai tertinggi: 20)
– Koordinasi (keselarasan garapan): 1-10
– Interpretasi (Konsep garapan): 1-10
3. PENATAAN (Total nilai tertinggi: 35)
– Tata lampu: 1-5
– Tata busana: 1-5
– Tata Rias: 1-5
– Tata Panggung: 1-5
– Tata Suara: 1-5
– Tata musik: 1-5
– Tata tertib: 1-5
Discussion about this post