Oleh: Reiner Ointoe
Teringat era 70-an, Rendra mengajak para muridnya berpuisi dan berteater di alam ParangTritis. Gerakan ini didapuk oleh para kritikus sebagai gerakan budaya (seni) kaumurakan. Belum lama, Jamal Rahman Iroth mengajak warganya merayakan Hari Puisi Indonesia (HPI), jauh dari keramaian pergulatan kebudayaan, di Bolaang Timur.
Dari sana, saya menyebutnya gerakan budaya “kaumurukan”. Menguruk kebudayaan dalam alam. Sungguh menerobos dan asyik. Sayang ketika itu saya alpa karena sesuatu yang lebih riskan dari kebudayaan tubuh saya: penyakit.
(baca juga: Arsitektur Dalam Perspektif Susastra Karya Arsitek Muda Sangihe)
Tapi, mudah-mudahan gerak kaumurukan bisa menyehatkan saya secara telepatis dan afirmatif. Tampaknya, locus itu cuma medium. Yang penting “geist-nya” atau “nefesy”. Meski puisi tak selalu urgen dan penting “dirayakan”, pergerakan seni dan budaya pada galibnya tetap memerlukan lokus ekspresi di mana pun.
Bahkan jauh dari keriuhan dan pergulatan manusia dalam berperadaban. Jamal, seorang pemula di jagat sastra nasional—dengan ratusan puisinya yang sudah dituliskan dan terbitkan—tentu tampak sumir meletakkan karyanya sebagai puisi-puisi yang telah memengaruhi konstelasi ribuan puisi para penyair-penyair kita.
(baca juga: Ajari Aku Menari Zapim, dan Beberapa Sajak Jamal Rahman Iroth)
Apresiasi ini memang tidak terletak pada karya-karyanya sebagaimana Charil Anwar bahkan Sutardji yang bisa memberi “ruh” pada kredo perpuisian di jagat sastra nasional. Bukan ini bandingannya. Tapi, spirit Jamal menarik puisi-puisi dari penyair, penyuka, apresiator hingga kritikus dan sekedar penyahut sekalipun itu yang menjadikan “perayaan puisi” tampak menghipnotis dan menggerakkan tapak tilas kebudayaan kita yang terganggu, sakit dan menderita dimensia, aphasia dan “malamise” yang “tumpak pedat.”
Dari situ, posisi Jamal sebagai penyair pemula menjadi penting untuk ditunjang dan terus dititilarasi secara simultan. Karena, saya ingin merekam suasana di “perayaan puisi” itu sebatas merentang memori terhadap kala dan imajinasi yang tumbuh dari “fonosentrisme” dan semantikal bahasa-bahasa yang meluap dan menguap di “kebun puisi” d Buyat itu.
Seperti Homeruslimamilenium lampau di apron parthenon atau agora-agora Yunani menyimak ribuan kuplet-kuplet yang dilantunkan oleh Menon. Kelak, Plato merekamnya untuk mengulasnya. Dengan meminjam Homerus yang menuangkanya dalam Odessey dan Iliad, sastra atau puisi, akhirnya adalah kebudayaan yang mewariskan apa itu, utile utdulce, movereatauarspoeta dan “geist-nya” diteruskan menjadi “noetha”, sejenis pengetahuan yang menautkan pathos-corpus dan nous sebagai pengetahuan ruhani hingga dewasa ini.
Itu berlangsung lebih dari lima ribu tahun sebelum masehi. Jauh, sebelum Jesus lahir di 1 Masehi dan membacakan kuplet-kuplet Injil yang sebagiannya diteruskan oleh Saul dari Tarsus pada 90 M.
Boleh jadi, Buya tdan Jamal akan menjadi pemarkahatavismearspoetas dan noetha kelak kita semua sudah berkalang tanah. Dan Buyat adalah sebuah kerajaan mirip Efesus di tahun 300 M. (*)
Discussion about this post