Oleh: Iverdixon Tinungki
SEJAK program pengembangan dan pembangunan wilayah pantai Manado sebagai Water Front City ditajah pada 1990-an, kesenjangan sosial pun mengangah. Kaum pemilik capital seakan diuntungkan, sedangkan puluhan ribu nelayan dibuntungkan.
“Tapi hidup harus dilajutkan,” ucap lirih Joni, lelaki 54 tahun yang tak pernah mengeluhkan nasibnya. Tak ada pilihan bagi Joni selain merayai hidup dan memaknainya.
Namun memandang Joni, setara dengan memandang pilu yang mencuat di atas garis-garis kelabu nasib puluhan ribu pemukim pesisisr Kota Manado yang terlontar keluar dari lingkungan dan tradisi hidup mereka.
Setiap kali pagi berdenyar, seperti hari sebelumnya, Joni segera pergi dari rumahnya di Kilo Lima—sebuah kawasan pinggiran Kota Manado–, berjalan kaki puluhan kilometer memutar pinggiran Kota menjajakan tali rafia (Tali Jepang) jualannya.
“Untung tak seberapa. Tapi inilah nasib kami kaum bawah,” keluhnya.
Dulu ia berprofesi sebagai “masanai”. Masanai adalah nelayan yang bekerja pada salah satu kelompok pengelola pukat dampar di pesisir kampung Karangria. Sejak terusir bersama 29.500 KK dari lokasi pemukiman di pesisir Manado –sebagaimana hasil penelitian Pusat Data dan Informasi Kiara (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) akhir Tahun 2016–, tak ada pilihan baginya selain melanjutkan hidup dengan mekais berkah dari pekerjaan menjual tali.
Bilamana hari ini kita menyaksikan keramaian dan pemandangan megah dari wujud “Water Front City” yang digemuruhi kilau bisnis di atas area reklamasi seluas 150 hektar itu, kita harusnya tahu ada banyak air mata dan kisah perih yang tertimbun di bawahnya.
Tinggal sedikit generasi penyaksi cerita duka para nelayan dan pelaku tradisi pukat dampar di pesisir Manado. Dan barangkali generasi setelah masa ini, tak lagi punya kenangan tentang itu.
Dari kurun 1970 hingga 1980, ada puluhan usaha pukat dampar milik keluarga juragan-juragan pribumi seperti Keluarga Heydemans, Podung, Manuahe, dan orang-orang keturunan Spanyol-Portugis yang sudah lama menetap dan membangun kampung-kampung Borgo di tepi pesisir Manado. Kampung-kampung itu diantaranya: Bitung Karangri, Bitung Kecil (Sindulang), Singkil, dan kampung Pondol.
Di era itu, pada malam hari kita akan memandang deretan lampu dari perahu nelayan mengapung indah di teluk Manado.
Di antara bau payou yang menguar, tampak nelayan penjaga lampu Kana (Lentera penanda tempat dampar pukat) duduk menanti datangnya waktu riuh teriakan; “Hela haluang kamudi’’ sebagai petanda pukat dampat sedang di daratkan. Inilah kultur menjaring ikan di tengah malam menjelang pagi.
Di hari lain, pukat itu bisa ditebar di sing hari, saat burung-burung laut riang berkicau memberi petanda ada gerombolan ikan palagis memasuki teluk ini.
Itulah masa, ketika nelayan pesisir Manado benar-benar menikmati kelimpahan berkah dari anugerah alam laut kepada mereka.
Pada saat purnama tiba, ketika nelayan pukat dampar intirah dari kegiatan mereka, selalu ada pesta syukuran atas kurnia dari laut laut tempat mereka melarungkan hidup.
Pesta itu akan diwarnai kegembiraan yang membuncah. Ada tari Katrili dan Volka peninggalan budaya Spanyol-Portugis bagi masyarakat Borgo di gelar di sana. Terkadang juga tari Cakalele yang rancak ditarikan para lelaki dengan pedang sambil melototkan matanya yang menakjubkan.
Sayang rasanya, di kurun 1990-an, sejak pembangunan jalan Boulevad dan reklamasi dimulai, tradisi pukat dampar pun punah bersama matinya kultur perikanan pesisir pantai Manado ini.
Membaun luka dari tradisi yang punah itu, saya merekamnya dalam puisi berikut ini:
SAHABATKU JONI
sabankali ia lewat, aku melihat kenangan ikan
di pundaknya. ikanikan yang melesat dari reruntuhan
laut di matanya. ikanikan yang berlindung di bawah
bayanganbayangan Tuhan. ada kilatan silau, dan
jeramjeram berkelok tajam. membentuk gambargambar
antara pilu dan kegembiraan.
sebagai anak pesisir yang ceraiberai. tak kutemukan
lagi harihari kami yang bergulir dalam kegembiraan itu.
di langit hanya pilu dan jeram lain diarungi jalak,
elangelang perantau, dan merpati yang binasa.
burungburung itu beranjak menghindar gaduh kota
yang kian melebar membentang genitnya
sedang pada suatu pagi kami samasama melihat
kupukupu menetas di tembok gedung. gedunggedung
angkuh itu bangkit mencibir sayapsayap kecil yang tumbuh
sebegitu rapuh . memang setinggi apa orangorang payah
bisa terbang. tapi yang berlindung dan tertawan di bawah
kemegahan memuaskan mata adalah mereka yang tak
berani mengarungi kehidupan. di pojokpojok itulah para
bandit merampas semua katakata manis dengan lidah
penuh darah
sabankali ia lewat, aku melihat kenangan kana yang
padam dari irama suaranya yang menipis. tak kutemukan
lagi kelimpahan laut utara yang dulu melepas jutaan ikan
dari cangkangnya. ia seperti mengajakku samasama
berenang dikencang arus yang baru saja tiba melintas
jeram curam di dadanya. ia seakan hanyut didera kebuntuan
dan harihari berlalu begitu saja di pundaknya
kadang ia datang ke rumahku, kadang sebagai Joni,
kadang sebagai satu dua kenangan ikan yang terjala oleh
waktu. kami bercakap sebagai dua piatu tentang empat
puluh tahun kami merayai laut yang hilang itu
Discussion about this post