Manado, Barta1.com – Persoalan administrasi izin reklamasi di Manado Utara diduga ada pembohongan. Hal itu, disampaikan langsung oleh salah satu nelayan Tumumpa, yakni Fenly Sigar di rapat lintas komisi DPRD Provinsi Sulut, Ruang Serba Guna DPRD Provinsi Sulut, senin (10/06/2024)
“Saya memiliki dokumen salah satu di dalamnya terkait dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sulut, nanti akan diprint kemudian akan ditunjukan ke Bapak-Ibu Dewan. Di dokumen ini katanya daerah Manado Utara tidak ada karangnya. Padahal itu ada, yang sampai saat ini menjadi tempat nelayan untuk mencari ikan. Ini terjadi pembohongan,” ungkap Fenly di depan ketua DPRD Provinsi Sulut, Fransiskus Andi Silangen.
Kemudian di Manado Utara itu juga ada napo, yang juga menjadi tempat penghidupan dari setiap nalayan. “Saya sudah bertahun-tahun menjadi nelayan di Tumumpa. Ketika melihat dokumen-dokuemn ini, rupanya ada pembohongan dari oknum akademisi UNSRAT, termasuk senior saya bergelar profesor dan sebagainya,” tegasnya.
“Dari dokumen-dokumen ini membuat mereka lolos di Kementerian yang nyatanya tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Dan di dalam dokumen itu, ada catatan bahwa ini dokumen rahasia, yang tidak bisa dipublikasi,” terangnya.
Dokumen itu, kata Fenly, ada pada dirinya, semua isinya pembohongan. Bahkan kemarin, ada yang menelfon dirinya bahwa AB (pengembang) ingin bertemu, namun secara tegas menolaknya.
“Dokumen ini nantinya akan saya print, kemudian akan saya bawah ke Prabowo. Dan kemarin saya sudah bertemu dengan Hashim Djojohadikusumo dengan mengatakan ada persoalan di Manado,” ucapnya.
Kepada 8 sampai 9 dosen yang mengaku pakar ilmu kelautan yang menyebut tidak ada karang. Terus napo, yang selama ini nelayan mencari ikan itu apa ? sekali lagi berhenti dengan pembohongan ini.
Setelah mendengar apa yang disampaikan oleh Fenly. Anggota DPRD Provinsi Sulut, Sandra Rondonuwu menyebut, beribu izin secara undang-undang silakan, tetapi dari sisi etika para pengembang berinvestasi di tanah Sulut, maka mereka wajib bertanggungjawab dengan poin 12, yakni pernyataan kesanggupan untuk menjaga dan menjamin keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat.
“Saya perna memimpin penolakan reklamasi di Pantai Malalayang tahun 2004, saat itu hamil anak pertama. Dan saat itu pula pihak pengembang membawa amplop ke rumah saya, secara terang-terangan saya menolaknya, tapi disayangkan pada bulan Desember masyarakat sudah tidak lagi menolak. Semoga perjuangan Bapak-Ibu hari ini, jangan terjadi sama seperti di Malalayang,’ pintanya.
Jika menolak, tambah Sandra, harus benar-benar menolak, jangan sampai berapi-api saat pertama kali, kemudian perjuangannya bisa dibeli. (*)
Peliput: Meikel Pontolondo
Discussion about this post