Dari pesisir hingga laut lepas, warga kota berbondong melempar kail. Tak sekadar mengejar ikan tapi mencari sunyi, dan pelarian dari riuh hidup urban.
Matahari belum tenggelam sepenuhnya ketika suara tawa pecah di kawasan pelabuhan Manado, Sabtu (12/04/2025) sore di akhir pekan. Di antara deretan joran yang tertancap rapi, seperti pasukan diam yang menghadap ke laut, duduklah Maykel Tondondame dengan senter di kepalanya.
“Kalau ada lomba duduk paling lama di tempat ini, saya pasti juaranya,” katanya sambil tertawa renyah.
Joran di sampingnya bergoyang pelan, bukan disentak ikan tapi karena gelombang kecil dampak sentrifugal setelah menabrak pemecah ombak.
Maykel bukan nelayan. Ia pegawai swasta di sebuah toko. Tapi setiap akhir pekan, atau ketika waktu memungkinkan, ia menjadikan kawasan pelabuhan sebagai tempat ‘berkantor’. Kadang sendiri, kadang bersama teman-teman komunitasnya Pirates Fishing Manado (PFM).
“Torang (kami) ini bukan cari tuna, tapi cari tenang,” katanya sambil menghisap sebatang rokok yang diselipkan di ujung bibirnya
Fenomena memancing di Manado beberapa tahun terakhir berkembang seperti gelombang pasang. Ia datang diam-diam, tapi meninggalkan jejak. Dulu, hanya segelintir orang yang menenteng joran di pinggir laut kota ini. Sekarang dari Malalayang hingga Tongkaina, dari Megamas sampai kawasan pesisir Tumumpa, joran bermunculan di banyak bibir pantai. Di pagi yang dingin, siang terik, hingga malam buta yang berangin.
Bagi sebagian warga kota, memancing telah menjadi gaya hidup. Tapi tidak seperti tren konsumtif lain yang bising dan terang, hobi ini cenderung diam. Tak banyak gaya, minim sorotan. Orang datang membawa umpan. Duduk berjam-jam dalam diam, hanya ditemani desir ombak dan secangkir kopi. Tapi dari sana, kisah-kisah kecil tumbuh: persahabatan, candaan, kelegaan, dan refleksi.
Marsel, salah satu angler Manado mengaku pernah begadang semalaman di dermaga hanya demi satu tarikan kecil.
“Kami pernah (memancing) dari jam 8 malam sampai 7 pagi, tidak dapat ikan besar. Tapi kami bawa pulang tawa, cerita lucu, dan angin malam yang bikin hati tenang” ujarnya sambil menunjukkan tangkapan terakhirnya di layar ponsel.
Di tepi laut itu, sesuatu yang tak terlihat terjadi. Komunitas-komunitas bermunculan tanpa seremoni. Mereka bukan profesional. Mereka hanya warga biasa yang menemukan semacam ketenangan dalam gerak yang sederhana. Lempar, tunggu, tarik.
Di sela-sela waktu menunggu, orang bisa bicara apa saja. Tentang politik, tentang pekerjaan, tentang anak yang sulit bangun pagi, tentang harga cabe, bahkan tentang mantan yang kini suka naik gunung.
Dan semua itu dibicarakan dengan ritme yang lambat karena mancing adalah persoalan menunggu dengan sabar; memang tak mengenal buru-buru. Di sinilah letak daya tarik utamanya. Laut tidak peduli status sosial.
“Di laut, semua orang itu sama,” tambah Marsel.
Bagi banyak orang Manado hari-hari ini, mancing bukan sekadar aktivitas akhir pekan. Ia sudah menjadi semacam terapi. Saat joran dilempar ke laut, yang tercebur bukan hanya umpan, tapi juga keresahan. Dan ketika senar ditarik pelan, yang diangkat bukan hanya ikan, tapi juga semangat hidup yang sempat tenggelam.
Apalagi di tengah tekanan ekonomi, konflik sosial, dan kebisingan digital yang memadat di layar ponsel, duduk berjam-jam di tepi laut terasa seperti bentuk perlawanan.
Dan begitulah. Di Manado, mancing sedang demam. Tapi ini bukan demam yang perlu obat. Ini demam yang menyembuhkan. Karena di ujung joran itu, selalu ada cerita. Kadang cerita lucu, kadang cerita kehilangan, kadang hanya percakapan biasa yang hangat.
Tapi semua itu ditarik pulang oleh satu gerak sederhana: sabar. Dan bagi kota yang semakin sibuk, itu yang paling dibutuhkan. (*)
Peliput:
Rolandy Dilo
Discussion about this post