Manado, Barta1.com – Sofiana Kesya Ishak menyebut dirinya mendapatkan pengalaman dan tambahan pengetahuan tentang apa itu toleransi, setelah mengikuti study tour dengan tema keberagaman, Sabtu (1/02/2025).

“Saya seorang muslim bisa dibilang pertama kalinya mengunjungi Gereja Katolik Santo Ignatius dan GMIM Sentrum Manado, namun ketika memasuki ruangannya yang dirasakan itu adalah kekaguman, karena ternyata di dalamnya itu memiliki poin penting yang bisa dipelajari. Dan saya bahagia bisa mengenal ajaran agama lain sebagai nilai toleransi,” ungkap Kesya, salah satu anak binaan Komunitas Dinding Manado.

Bahkan Eca sapaan akrab baginya itu menambahkan, setiap agama rupanya memiliki ciri khasnya masing-masing, namun dari perbedaan agama ini tidak membuat masyarakat di sini saling menghakimi satu dengan yang lainnya, melainkan berjalan beriringan dan saling membantu.

Begitupun dengan Ketua Komunitas Dinding Manado, Rexy Lakat menyebut, kegiatan study tour kali ini tujuannya untuk memberikan pemahaman dan pengalaman secara langsung kepada anak-anak dengan maksud untuk mengembangkan pentingnya toleransi, dan saling menghormati
“Saya pun berharap dari study tour ini, tentunya bisa meningkatkan pemahaman tentang keberagaman yang ada di masyarakat sekitar, kemudian menumbuhkan toleransi sehingga anak-anak bisa lebih menghargai keberagaman, tidak melihat perbedaan sebagai hal negatif,” ujarnya.
Selanjutnya, diharapkan anak-anak bisa memahami bahwa perbedaan bukanlah hal yang memisahkan, melainkan saling melengkapi dan memperkaya kehidupan bermasyarakat. “Apa yang mereka dapatkan saat ini, sekiranya juga sebagai pengetahuan sosial yang mendorong mereka untuk bisa hidup secara harmonis dan damai.”
Mengunjungi Gereja Katolik Santo Ignatius Manado, Masjid Raya Ahmad Yani, dan GMIM Sentrum Manado.
Telda Ticoalu, salah satu juru bicara dari Gereja Katolik Santo Ignatius Manado menyebut tidak semua orang bisa memasuki ruangan dari Gereja ini, mengapa, karena Gereja Katolik itu ada kekhususannya sendiri.

“Di dalam Gereja Katolik tidak bisa ada kegiatan makan dan minum, jiKalau ada anak bayi masuk Gereja, kemudian ia minum susu itu tidak mengapa, yang terpenting duduk pada bagian belakang,” ungkap Telda sambil tersenyum.

Kemudian Telda menjelaskan, satu persatu pertanyaan anak-anak berkaitan dengan rentetan cerita yang yang tergambar di ruangan Gereja Katolik Santo Ignatius Manado itu,.
“Gambar yang ada ini bagian dari kisah – kisah yang ada di dalam kitab suci, dimulai dari perjanjian lama masa penciptaan di dalamnya ada Adam dan Hawa, kemudian ada cerita iman abraham diuji, 2 loh batu yang dipegang oleh nabi Musa. Di Al-Qur’an juga ada kisah nabi Musa kan,”tanya Telda.
Anak-anak secara serentak menjawab. “Iya.”
Berikutnya bagian keempat ada nabi Ilyas, seorang nabi yang naik ke surga. “Berikutnya juga ada cerita kelahiran Yesus, jadi semua cerita ini ada di kitab suci bagian perjanjian lama, kemudian di Perjanjian baru ada cerita Yesus sedang berdoa di taman Getsemani sampai pada cerita kebangkitannya. Gambar-gambar yang ditanyakan oleh adik-adik ini, semua menggambarkan isi dari kitab suci.”
“Buat adik-adik dan kakak-kakak jadikan ini sebagai ilmu pengetahuan yeah, sekalipun kita berbeda-beda, tapi kita tetap satu,” terang Telda sembari menutup pertemuan itu dengan nyanyian hidup rukun dan damai.
Diketahui, pembangunan Gereja Katolik Santo Ignatius Manado dimulai pada tahun 2005 dan diresmikan di tahun 2014.
Setelah dari Gereja Katolik Santo Ignatius Manado, kemudian beranjak ke Masjid Raya Ahmad Yani. Juru bicaranya adalah Bahrun Pano.”Ini Masjid Raya Ahmad Yani adalah Masjid paling besar di Provinsi Sulawesi Utara.”

“Saya mau menceritakan sejarah singkat dari Masjid ini dimulai dari tahun 1961. Jadi, pembangunan Masjid Raya Ahmad Yani ini merupakan gagasan dari anggota TNI AD. Masjid ini dibangun oleh TNI AD di bawah pengawasan Kodim XIII Merdeka,” ungkap Bahrun.

Pembangunan Masjid Raya Ahmad Yani awalnya itu dibangun satu area dengan Kodam XIII Merdeka, bukan di sini, karena satu dan lain hal rencana itu berubah dan akhirnya Masjid ini dibangun di sini, tepatnya di Jl. Wr. Supratman, Kecamatan Wenang, Kota Manado.

“Pada akhir tahun 1961, kurang lebih pada bulan Oktober dimulai dengan pembangunan pondasi sekaligus peletakan batu pertama oleh Mayor Jenderal Ahmad Yani, mungkin itu yang membuat Masjid Raya ini dikasih nama Ahmad Yani,” jelasnya.
Dalam membangun Masjid kala itu, terjadi kesulitan untuk mencari air, maka TNI mengali sumur disamping sebuah pohon besar, tepatnya di depan kantor MUI Sulawesi Utara saat ini.
“Dalam pengerjaan Masjid ini TNI tidak sendiri, tapi juga dibantu oleh masyarakat sipil, apalagi dalam proses pembuatan pondasi. Saat pembangunan dindingnya juga dibantu oleh keterwakilan Masjid yang ada di Kota Manado. Jadi bekerja secara gotong-royong,” ucapnya sampai pada cerita Masjid Raya Ahmad Yani berdiri seperti saat ini.
Setelah menjelaskan sedikit sejarah berdirinya Masjid Raya Ahmad Yani, kemudian Bahrun mengajak anak-anak beserta kakak-kakaknya yang ada untuk melihat ruangan-ruangan dan fasilitas yang ada.

Setelah berkunjung ke Masjid Raya Ahmad Yani, kemudian agenda study tournya itu mengarah ke Gereja GMIM Sentrum Manado dan disambut baik oleh Pdt. Florens Monigir Laoh M.Th, selaku ketua BPMJ.

“Sejarah berdirinya Gereja GMIM Sentrum ini di tahun 1977, berawal dari kedatangan orang Belanda yang awalnya mereka hanya ngumpul-ngumpul, kemudian menjadi satu komunitas. Dan oleh Pendeta dari Belanda, menjadikan tempat ini sebagai tempat mereka berdoa,” jelas Florens.
Dan selama keberadaan mereka di Kota Manado, kata Florens, tempat yang dibangun ini tidak dialihfungsikan, tetap menjadi tempat peribadatan buat umat kristen, yaitu GMIM.
“Dan akhirnya beberapa rumah ibadah di Kota Manado juga dibangun, seperti Gereja Katolik, GMIM, Masjid dan Pura,” jelasnya.

Dari berbagai sejarah yang ada, Gereja GMIM Sentrum Manado menjadi maskot dan tempat wisata yang sering dikunungi oleh turis mancanegara. “Karena bentuk dan sebagian isi dalam Gereja ini tidak berubah, dan sampai saat ini seperti yang dahulu.”
Di samping Gereja ini juga ada sebuah tugu, yaitu tugu peringatan. DI seluruh Indonesia, mungkin hanya ada satu monumen yang didirikan oleh kekuasaan sekutu untuk mengenang para korban Perang Dunia (PD) II semasa tahun 1941-1945.
Tugu peringatan yang dimaksud bukanlah untuk serdadu-serdadu yang gugur, melainkan untuk menghormati dan mengenang pengorbanan penduduk setempat yang telah dilibatkan dalam perang itu.
“Tugu ini banyak dikunjungi oleh wisatawan, jika di kita ada tugu ini, kalau di umat Muslim ada juga makam Pahlawan Tuanku Imam Bonjol yang ada di Lotta Pineleng,” pungkasnya sembari di tutup dengan foto bersama. (*)
Peliput: Meikel Pontolondo
Discussion about this post