Oleh: Iverdixon Tinungki
Menonton lebih dari 3 jam debat publik terbuka pertama Pilkada Sangihe 2024, Sabtu (19/10/2024) lewat Streaming, bagi saya bukan menonton siapa yang unggul, namun siapa yang memahami esensi dari sebuah perdebatan sebagai proses rekonstruksi kebenaran.
Tampil pada kesempatan itu 4 Paslon yaitu nomor urut 1 pasangan Jabes Ezar Gaghana,SE,ME, -Pdt. Patras Madonsa. Paslon nomor urut 2, Michael Thungari, SE, MM-Tendris Bulahari. Paslon nomor urut 3 dr. Rinny Tamuntuan-Mario Seliang, SE. Paslon nomor urut 4 Dr. Hendrik Manossoh, SE,M.SI,AK,CA-Remran Sinadia.
Dan saya harus menyebut lebih awal Mario Seliang, SE sebagai figur dari pasangan calon Tamang (Tamuntuan-Seliang) yang paling menarik di dengar bahkan ditonton.
Ia tampil tenang dengan pemahaman paling benar tentang inti dari sebuah debat yaitu pertarungan ide dalam mencari jalan paling efisien dan efektif dalam menyelesaikan masalah di Sangihe.
Ia mendekati ideal debat sebagaimana dianjurkan Socrates dalam taknik eclenchus yaitu sebuah cara debat yang tidak menyerang atau membantah dengan maksud mengalahkan lawan debat hingga takluk.
Mario sebagaimana juga calon Bupati pasangannya dr. Rinny Tamuntuan, tampil sebegitu santun menggugah orang untuk berpikir, menilik hidup, terutama bahkan hidupnya, dan menjadi lebih bijaksana dalam merancang jalannya roda pemerintahan dan pembangunan bila terpilih nanti lewat ikut mengasup pendapat lawan debat.
Mereka mendengar setiap tanggapan atas uraian dari topik yang mereka paparkan, dan tak segan-segan mengapresiasi setiap masukan yang memperkaya visi mereka.
Selebihnya, di panggung debat Pilkada Sangihe hari Sabtu itu, yang saya tonton tak semua Paslon seperti Socrates. Mereka lebih gesit mempertontonkan sebuah debat yang bertujuan menjatuhkan lawannya, hingga esensi filosofis dari debat menjadi musnah.
Sekadar menyentil contoh kasus sebagai misal, yaitu semua orang tahu, dalam renstra pembangunan Sangihe ada banyak poin program yang tidak terlaksana.
Namun teknik mengkonstruksi persoalan itu sebagai alat menyerang lawan sebagai poin kegagalan terutama bagi Paslon incumbent atau yang pernah menjabat Bupati adalah cara paling tidak etis dan tidak rasional, apalagi bila yang menyerang adalah pribadi dengan latar anggota legislatif.
Seorang legislator pasti tahu, bahwa banyak persoalan yang melatari gagalnya sebuah program pembangunan, di antara soalnya menimnya ketersediaan biaya pembangunan, dan lain-lain.
Nah! Bila poin itu digunakan sebagai sebagai contoh kasus kegagalan, maka teknik serang itu tak lebih dari retorika busuk yang segaja dipancarkan mengotori esensi suci sebuah debat. Dan debat kehilangan tujuannya.
Ada paslon juga yang tampil dengan mengeksplorasi pesona seakan-akan serba tahu segala hal menyangkut regulasi pemerintahan dan pembangunan Sangihe.
Pengetahuan itu digunakan untuk membantah, mengingkari, bahkan melakukan pembenaran atas kegagalan kinerja semasa menjabat sebagai kepala daerah.
Teknik-teknik mempengaruhi opini public semacam ini tak lebih dari sebuah tontonan murah dan dusta –yang dalam frasa Sangihe disebut konti– yang tak menghargai esensi pemikiran orang lain. Dan publik seakan-akan dianggap wilayah masyarakat bodoh.
Padahal tujuang debat pada hakekatnya adalah menyelesaikan masalah secara bersama.
Debat adalah dialektika kritis dalam penyelesaian masalah. Penonton ingin mendengar manfaat debat yang berdampak pada pemberdayaan pemerintahan dan pembangunan yang bertujuan mensejahterakan kehidupan masyarakat.
Bukankah juga debat punya kode etik?
Orang cerdas berdebat adalah orang memiliki motivasi tidak hanya sekadar ingin membuat atau mendapatkan kontroversial, popularitas,dan penghargaan. Bila tampil berdebat sekadar ingin mempertontonkan kontroversi, maka manfaat debat bagi kemanusian akan sirna.
Namun selebihnya bagi saya keempat pasangan calon yan tampil di Sangihe adalah pribadi yang cerdas. Saya cukup mengenal mereka baik secara pribadi dan lewat beragam referensi.
Saya pun tak ragu dengan pemahaman mendalam mereka terhadap tema debat pertama ini yang meliputi : Aspek Pelayanan Publik dan Infrustruktur.
Mereka sama-sama punya penguasaan yang cukup dalam memahami dan menjabarkan lewat visi misi masing-masing terkait sub tema Pendidikan, Kesehatan, Perlindungan Perempuan dan Anak, Ketahanan Pangan, Penangunggalan Kemiskinan, Transportasi Publik, Pengelolaan Perbatasan, dan Kelautan.
Tema dan sub tema ini bahkan sangat dipahami masyarakat umum dari yang berpendidikan tinggi hingga masyarakat awam.
Hanya saja yang menjadi sayup bahkan nyaris hilang dalam debat pertama ini yaitu esensi dan etika debat yang sebenarnya yaitu sebuah proses rekonstruksi kebenaran. (*)
Discussion about this post