Penulis: Iverdixon Tinungki
Di Tabukan, Sangihe, ia disebut sebagai bagian dari trah raja-raja negeri para kipung itu. Ia segaris dengan leluhur Prof Dr Makagiansar, MA, PhD, seorang tokoh Sangihe yang pernah menjadi pemimpin UNESCO, sebuah lembaga internasional di bawah PBB.
Ini sebabnya, menulis kisah kehidupan Dr. Hendrik Manossoh, SE., MSi., Ak tak lain adalah menulis jalinan dari berbagai kebetulan dan keberuntungan, serta produk dari beragam keadaan yang luar biasa, atau bahkan amat menakjubkan.
Baiklah saya mulai dari sebuah sajak;
“nihiking bahe
nihiking daki
daraselene selihe
tiu tutiu
sawĕnahe timuhe
mĕpĕderisi lua sukoto lanabe
kalang kukalang
wadang tawe sĕgane
bou maᶅambe dasi
seng nitĕde wahani
natĕde lai barau naung
sutatoghaseu gĕsi
nauwase apang duhi
ese kai ese
ese suᶅuᶅunge
ese lai suᶅaudĕ
toghase puᶅune
toghase lai horone
baneha!
mutaing doᶅong
tawe berane taimaᶅoᶅong
kĕmageng nikĕtau mohong
naung wadang kĕbi singkaᶅoᶅong”
Sajak “Sasasa Ese”, di atas adalah sebuah karya sastra bahari Nusa Utara. Sebuah gambaran dunia eksistensial manusia Sangihe-Talaud yang ribuan tahun menuntun dan membentuk jati pribadi orang-orang kepulauan itu.
Dalam role model tradisi masyarakatnya ini Dr. Hendrik Manossoh dikemudian waktu di kenal luas masyarakat. Karena menyebut Opo Manossoh konon setara dengan menyebut Sangihe. Mengapa? Karena ia memang sosok tokoh terkini dengan magnitude yang khas Sangihe atau Nusa Utara. Saking khas dan menariknya karakter ke-Sangir-an Dr. Hendrik Manossoh, SE., MSi., Ak, maka ia akrab dipanggil Opo.
Jangankan di Sulawesi Utara, bahkan seluruh sahabat dan mitra kerjanya dari Sabang sampai Merauke tetap memanggilnya “Opo”. Sebutan Opo yang nuansanya tradisional menjadi Opo bernuansa nasional, dan keren.
Ia putra Sangihe, kelahiran Kampung Naha, 13 Mei 1973. Dibesarkan dalam keluarga Kristen Protestan. Sejak remaja sudah mengharumkan nama Sangihe karena terpilih menjadi Duta Budaya dan Pariwisata di ajang pemilihan Nyong Sulut dan Paskibraka Nasional, serta menjadi Peserta Pertukaran Pemuda antar Negara Indonesia-Australia, juga peserta Latihan Keprotokolan Tingkat Nasional bertugas di Istana Negara.
Sikapnya yang teguh memelihara budaya hidup dalam semangat orang Sangihe yang “Mateleng”, “Matelang”, “Mateling” –yang popular dalam sebutan Sangihe “Rinda” atau rendah hati, arif dan bijaksana— menjadikan ia tokoh yang berkarakter khas Nusa Utara.
Menikah dengan putri Minahasa Joanne V Mangindaan, SE., M.Buss(Acc)., Ph.D dan dikaruniai dua orang anak.
Di jalur pendidikan, sebagai anak lepasan Sekolah Dasar Negeri Naha Tabukan Utara 1986, dan SMP Negeri Enemawira, Tabukan Utara 1989, ia terbilang cemerlang. Masih dalam usia muda, ia berhasil menyelesaikan pendidikan Program Doktor S3 Ilmu Ekonomi Akuntansi di Universitas Airlangga Surabaya.
Kecemerlangan di dunia pendidikan ini mengantar Opo Manossoh sebagai sosok intelektual terpandang di negeri ini. Pembicara dan narasumber di berbagai seminar skala nasional.
Ia bekerja sebagai Dosen pada Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sam Ratulangi Manado, dan memegang Jabatan Fungsional: Lektor Kepala. Selain di dunia kampus, ia juga juga aktif dalam riset berbagai bidang keilmuan, sehingga langkahnya menuju jenjang Guru Besar (professor) sangat terbuka meski usianya masih terbilang mudah.
Sebagai birokrat, ia Golongan IV/C. Tercatat sebagai Tim Quality Assurance (Keterjaminan Mutu) Fakultas Ekonomi Universitas Sam Ratulangi Manado, dan mendapat Sertifikat Pendidik (Serdos) dinyatakan sebagai Dosen Profesional pada program studi Akuntansi. Ia sempat menjabat sebagai salah seorang staf khusus Gubernur Sulawesi Utara bidang Ekonomi.
Ia memiliki kematangan yang teruji dalam dunia birokrasi pemerintahan karena keterlibatannya yang mendalam dalam berbagai aktivitas birokrasi pemerintahan dan organisasi kemasyarakatan.
Tak sedikit organisasi yang pernah dipimpinnya baik pada level daerah dan nasional. Semua itu memperkokoh jati diri dan ketokohannya. Ini sebabnya, figur Dr. Hendrik Manossoh, SE., MSi., Ak, sempat mendapat tempat tersendiri di rana politik Sulawesi Utara.
Ia dipandang sebagai figur potensial dan matang untuk masuk dalam area kepemimpinan daerah dan nasional suatu ketika nanti.
Dari Trah Raja-raja Sangihe
Ada benang merah yang menjadi ikhtiar imajiner antara Prof DR Max Makaminan Makagiansar dengan Dr Hendrik Manossoh, SE, MSi.Ak, CA, salah satu putra terbaik Nusa Utara yang saat ini tercatat sebagai pengajar utama di Fakultas Ekonomi dan Binsis Universitas Sam Ratulangi Manado.
Dalam silsilah struktur keluarga, Om Max (Prof Dr Makagiansar, MA, PhD) adalah Om dari Dr Hendrik Manossoh, SE, MSi.Ak, CA. Ikatan keluarga itu dari trah Kakombah; dimana Stans Israel Kakombah (alm) adalah ibunda dari Dr Hendrik Manossoh, SE, MSi.Ak, CA.
Struktur ikatan keluarga tersebut, dapat ditelisik dari Upung (leluhur), yaitu dari nenek Mandi Makaminan dan Lumandung Makaminan yang kakak-beradik. Lumandung Makaminan menikah dengan Manumpil, memperanakan Primus Makaminan –yang kemudian hari menjadi Jogugu Tabukan.
Selanjutnya Primus Makaminan menikah dengan Ussu, lahirlah Yohima Getruida Makaminan (yang biasa disapa Oma Yo’). Yohima menikah dengan Makagiansar, melahirkan Prof Dr Max Makaminan Makagiansar, MA, PhD.
Adapun nenek Mandi Makaminan menikah dengan Antameng Israel Kakombah dan melahirkan Nahor Israel Kakombah. Nahor yang kemudian hari menjadi Jogugu Tabukan menikah dengan Wihelmina Wowiling Sangian Sinsu, melahirkan Charles Presidenti Israel Kakombah.
Lalu Charles Presidenti Israel Kakombah kepincut dengan perempuan nan molek bernama Efelin Manabung, anak gadis dari Jogugu Kolongan. Dari pernikahan tersebut lahirlah Stans Israel Kakombah, ibunda dari Dr Hendrik Manossoh, SE, MSi.Ak, CA.
Dengan demikian, Nahor Israel Kakombah dan Primus Makaminan adalah sepupuh, keduanya Jogugu Tabukan. Nahor Israel Kakombah adalah kakek dari Stans Israel Kakombah –ibu dari Dr Hendrik Manossoh, SE, MSi.Ak, CA, sedangkan Primus Makaminan merupakan kakek dari Prof Dr Max Makaminan Makagiansar MA, PhD.
Hidup dalam Filosofi Masyarakatnya
“Su Peghigile Barang Tala Makoa Pia”, adalah bagian dari filosofi hidup Dr. Hendrik Manossoh. Ia mengatakan, falsafa manusia pulau Sangihe ini merupakan salah satu pucuk tertinggi pohon pengajaran tentang makna kebersamaan.
Falsafa ini telah menjadi magnitude yang merekatkan orang Sangihe di kurun ribuan tahun sejarah peradabannya. Dari falsafa ini pulalah lahir semboyan daerah Sangihe “Somahe Kai Kehage, Pantuhu Maka Salentiho”.
Nilai kearifan utama dari petuah (Sasasa) di atas menurutnya dalam konteks kekinian bermakna: BERSAMA KITA BISA!
Mengapa dengan bersama kita bisa? Karena dihadapan ombak dan arus kita tak mengenal juragan, kelasi atau jurumudi. Yang satu tidak bisa merasa lebih penting dibanding yang lain. Kita harus bersama “Su Peghigile”. Karena dengan semangat kebersamaan kita bisa menghadapi ombak, melewati arus kehidupan.
Dalam semangat kebersamaan, tak ada masalah yang tak bisa teratasi, terlampaui. Maka esensi utama semangat kita orang Sangihe hari ini adalah: Bersama Kita Bisa Bangun Daerah Tercinta Sangihe!
Falsafa “Su Peghigile Barang Tala Makoa Pia”, juga ungkapnya, merupakan sebuah kritik. Sebagai misal, di rana pembangunan daerah, sudakah pembangunan daerah kita hari ini mengafirmasi nilai kebersamaan?
Apakah kepentingan rakyat menjadi bagian dari kepentingan bersama kekuasaan dalam membangun daerah. Ataukah pembangunan hari ini lebih menitik beratkan pada kepentingan kelompok, atau kepentingan pribadi. Atau lebih dinikmati segelintir orang dibanding rakyat banyak. Bila kritik ini diarahkan kepada kenyataan Sangihe hari ini, sudah tentu rakyatlah yang lebih tahu jawabannya.
Bagi saya falsafa ini adalah “Sinasa” (bekal), karena hanya dengan semangat kebersamaan kita bisa membangun Sangihe yang lebih baik, mandiri, maju dan sejahtera.
Untuk itulah, sebagai putra daerah Sangihe, yang hidup dan mendetak di tengah kultur budaya luhur kebersamaan ini, saya terpanggil ikut dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe.
Semoga kehadiran saya mendapatkan Dukungan dan Doa Restu. “Su Sangihe Egegua, Leto Apang Kakapia”. Moga dengan semangat Besama Kita Bisa Mewujudkan Kebaikan!
Sangihe, Politik dan Hendrik Manossoh
Ada yang menarik dalam percakapan politik antara saya dengan Dr Hendrik Manossoh SE Msi., Ak. pada suatu hari di bulan April 2024. Menurutnya di Sangihe politik itu bukan tentang tebar pesona, baliho iklan, papan pengumuman dan spanduk yang memenuhi ruang publik, dan taktik yang dipaksakan. Lantas tentang apa?
Sebelum membincang pernyataan genial di atas, perlu disitir bahwa di Sangihe, apa yang disebut sebagai kecerdasan politik rakyat memiliki narasi sejarah yang panjang. Sejak era kerajaan abad ke 16, negeri itu telah dipimpin para raja lepasan Universitas Santo Thomas Manila-Filipina. Bahkan demokrasi telah jauh berakar dalam tradisi lokal pemilihan kapitalau.
Ini sebabnya bagi saya, menulis Hendrik Manossoh terkait kiprah dan pandangan politiknya jelang kontestasi politik 2024, tak bisa lepas dari sejarah kecerdasan politik masyarakat kepulauan itu.
Menyentil kecerdasan politik masyarakat kepulauan ini, setidaknya kita bisa bercermin pada 4 peristiwa penting dalam testimoni sejarah yaitu: Pertama, politik menolak tunduk pada penjajah Belanda yang dilancarkan rakyat Kerajaan Manganitu di bawah Raja Don Jogolov Sint Santiago (1670 – 1675). Perlawanan terhadap invasi brutal pihak asing ini telah meninggalkan sebuah frasa yang terkenal, “I kite mendiahi wuntuang ‘u seke, nusa kumbahang katumpaeng,”. Frasa ini dapat diterjemahkan secara bebas dan padat: “Jangan Jamah Sangihe”.
Kedua, sejarah pertarungan diplomasi Kerajaan Tabukan di bawah Raja Papoekoeļe Sarapil (1892-1922) yang berhasil membebaskan pulau Miangas dari klaim Amerika Serikat berdasarkan Treaty of Paris (Traktat Paris) tahun 1912. Kemenangan diplomasi ini didasarkan pada fakta-fakta sejarah dari masa 700 tahun lampau bahwa pulau tersebut adalah milik Kerajaan Tabukan.
Ketiga, Sangihe telah disemaraki sejarah literasi yang panjang sebelum era kemerdekaan yang ditandai terbitnya surat kabar “Tuwa Kona”. Di halaman surat-surat kabar itulah para pegiat literasi daerah itu memuat berbagai tulisan mereka hingga memicu lahirnya kaum pergerakan progresif baru. Dari generasi masa itu tercatat pada tahun 1947 J. E. Tetengkeng diangkat menjadi Menteri Muda Pengajaran Negara Indonesia Timur, lalu pada 1949 ia diangkat menjadi Menteri Pengajaran. Di tahun itu pula (1949) ia diangkat menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Pengajaran NIT hingga 1950.
Keempat, sejak era pemilihan langsung, kecerdasan politik rakyat dalam memilih pemimpin telah menempatkan Bupati 2 periode sebagai mitos yang hingga kini belum terpecahkan di Kabupaten Kepulauan itu.
Mencermati narasi sejarah perkembangan kecerdasan politik rakyat Sangihe sontak saya menjadi mafhum atas pernyataan Hendrik Manossoh terkait tingkat popularitas yang tak serta-merta dapat dikonversi menjadi elektabilitas.
Politik populis memang tidak laku di Sangihe. Sudah terbukti dalam beberapa periode Pilkada di sana bahkan pasangan incumbent gagal dalam pertarungan. Rakyat Sangihe cerdas dalam memilih, mereka tahu siapa yang layak, pantas dan patut dipilih dan masalah rekam jejak calon menjadi faktor penentu tingkat keterpilihan.
Terkait pandangan politiknya, Hendrik Manossoh mengatakan, baginya politik adalah mengurus urusan rakyat. Politisi haruslah menjadi pihak yang memiliki cara berpikir untuk mengurusi pemerintahan dan urusan rakyat, punya sikap jiwa yang baik. Punya keahlian dan kemampuan untuk menjalankan perkara kenegaraan dalam menyelesaikan problematika kerakyatan.
“Politik menjadi berbahaya dan merugikan rakyat, apabila politisi tampil sekadar berorientasi kekuasaan dan materi semata,” ungkapnya.
Politik, lanjutnya, adalah perjuangan ideologis! Karena keberadaan suatu daerah atau negara ditentukan oleh aktivitas para politisinya. Bila yang lebih nampak adalah politisi semu sekadar mengejar kekuasaan dan kemudahan mendapatkan akses bagi kepentingan hidupnya sendiri, maka kepentingan rakyat akan terpinggirkan.
“Seorang politisi harus punya konsep yang akan diperjuangkan dalam memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup masyarakat. Tanpa ideologi, kita tak lebih politisi semu yang sekedar mengejar kekuasaan untuk mendapatkan akses bagi kepentingan sendiri, sementara kepentingan rakyat akan terpinggirkan,” ujarnya.
Ia menyatakan, sikapnya untuk Kabupaten Kepulauan Sangihe ke depan, politik harus jadi instrumen pendorong, penyokong bahkan penggerak bagi terwujudnya kesejahteraan rakyat.
Selain itu, seorang politisi yang akan bertarung di Sangihe harus punya pemahaman yang kuat dan jernih terkait persoalan-persoalan pelik yang dihadapi daerah perbatasan yang hingga kini berkonotasi sebagai daerah tertinggal. Dan harus mampu merumuskan jalan keluarnya.
“Itu sejatinya yang diharapkan tingkat kerja-kerja politik di Kabupaten Kepulauan Sangihe. Karena itulah di negara-negara demokrasi, kultur politik bangsanya dibangun di atas pemahaman pemerintahan yang tunduk pada semangat dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat,” jelasnya.
Menyentil kian derasnya dukungan masyarakat Sangihe untuk langkahnya ke Pilkada 2024, ia menyatakan terima kasih atas kepercayaan itu. “Pada prinsipnya, saya siap bila rakyat Sangihe mempercayakan saya ke panggung politik 2024 nanti,” ungkap dia.
Hendrik Manossoh dan Konstelasi Politik Sangihe 2024
Dengan tagline “Opo Jo”, Dr Hendrik Manossoh SE Msi, Ak, menjadi salah satu kandidat dalam bursa calon Bupati Sangihe yang mendapat dukungan signifikan. Intelektual dan tokoh Nusa Utara ini menyatakan kesiapannya ke ajang Pilkada 2024.
“Pada prinsipnya saya siap ke Pilkada Sangihe 2024. Tapi semuanya berpulang kepada dukungan masyarakat,” ungkap Manossoh.
Hingga kini, kata dia, pihaknya masih melakukan pembacaan secara intens terkait peta politik di sana, seraya terus melakukan sosialisasi terkait kesiapan maju dalam Pilkada.
“Saya akui saat ini tidak sedikit dukungan kalangan Nusa Utara yang mensupport agar saya maju dalam Pilkada Sangihe 2024. Tapi semua tergantung pada tingkat elektabilitas yang akan terbaca pada hasil survei nantinya,” ungkapnya.
Dikatakannya, tingkat dukungan dan kepercayaan masyarakat yang terbaca dalam hasil survei itulah yang menjadi acuan partai politik dalam mengajukan calon. “Tapi pastinya, saya sudah siap jika dipercayakan untuk maju di ajang politik 5 tahunan itu,” ucapnya. (*)
Discussion about this post