Mata Nikolas Takuling (50 tahun) warga Desa Lelilef, Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara berkaca-kaca saat menceritakan kerasnya mencari uang setelah aktivitas tambang nikel beroperasi pada Senin 06 November 2023. Saban hari ia mengaku harus bangun setengah lima pagi untuk membantu istri membungkus nasi kuning yang rencananya dijual untuk pekerja tambang.
Nikolas adalah masyarakat adat Sawai yang tinggal di Desa Lelilef, Weda Tengah, Halmahera Tengah. Dalam keseharian ia bekerja sebagai pedagang makanan untuk pekerja tambang. Sebelumnya Iia merupakan petani yang banyak bergantung hidup dengan mengandalkan hasil perkebunan pala dan cengkeh.
Sebelum tambang Nikel di Weda Tengah, Halmahera Tengah beroperasi, Nikolas dan keluarganya menggarap lahan pertanian dan perkebunan pala tak jauh dari dDesa Lelilef. Jaraknya hanya tiga kilometer ke arah barat. Hasil dari berkebun cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga Nicholas sehari-hari.
“Sekarang sudah tidak lagi. Lahan perkebunan saya sudah jadi kawasan pabrik smelter,” kata Nikolas pada Barta1 Senin 06 November 2023.
Menurut Nikolas, sejak kehadiran tambang nikel di Weda Tengah, hidupnya kini semakin menjadi lebih susah dan keras. Ia harus bekerja mulai pukul lima pagi dini hari. Tak lagi bisa berkebun dan melaut. Untuk bekerja di tambang hanya bisa menjadi buruh kasar yang diupah mingguan. Batas usia pun harus 40 tahun. Karena tidak memiiki keahlian Nikolas gugur menjadi kariyawan.
“Terpaksa hanya jualan makanan kecil-kecilan saja. Apalagi kebutuhan makanan di sini mahal. Waktu belum ada tambang, Torang (kita) sesama tetangga bisa saling berbagi ikan dan rica. Sekarang tidak bisa,” kata Niko.
Tambang nikel di Halmahera Tengah menurut Niko, dianggap belum sepenuhnya berdampak positif pada masyarakat adat Sawai, terutama dalam mendorong tingkat ekonomi mereka. Banyak masyarakat Sawai yang belum sepenuhnya sejahtera dan bahkan cenderung masih miskin, kendati, operasi tambang nikel gencar dijalankan selama satu dasawarsa. Kesejahteraan masyarakat adat Sawai masih belum baik. Efek ganda operasi tambang dianggap masih belum optimal. Tambang bahkan diklaim mendorong kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok.
Yosmar Kaluki (53 tahun), masyarakat Sawai yang tinggal di Desa Gemaf, Weda Tengah mengatakan, dampak terbesar dari kehadiran tambang nikel di Halmahera Tengah adalah hilangnya ladang dan hutan. Kehadiran tambang bahkan membuat tatanan sosial ekonomi masyarakat Sawai berubah.
Arus migrasi tenaga kerja dari luar daerah yang cukup besar membuat masyarakat Sawai pada usia 40 tahun ke atas tidak dapat beradaptasi. Anak muda sawai saat ini bahkan lebih memilih bekerja menjadi buruh tambang ketimbang berprofesi sebagai petani dan nelayan seperti yang dilakukan orangtua terdahulu.
“Sekarang yang bertani orang tua-tua yang usianya di atas 50 tahun. Lahan juga sebatas di pekarangan rumah,” kata Yosmar mengungkapkan.
Rata-rata masyarakat adat Sawai yang bertahan adalah mereka yang memiliki usaha kos-kosan setelah menjual lahan perkebunan ke pihak perusahaan tambang. Mereka yang bekerja sebagai petani, nelayan dan berusia di atas 47 tahun terpaksa tak lagi bisa bekerja. Aktivitas kesehariannya memilih bekerja sebagai nelayan kecil lantaran pekerjaan tersebut tidak membutuh keahlian khusus apa pun. “Siapa saja bisa bekerja. Sementara untuk kerja jadi karyawan tambang harus ada keahlian,” ujar kata Yosmar menjelaskan.
Saat ini sebagian besar masyarakat yang sebelumnya sebagai petani lebih memilih bekerja di areal pertambangan. Mayoritas telah beralih pekerjaan dan meninggalkan profesi sebagai petani, “Apalagi lahannya saat ini sudah tidak ada lagi. Satu-satunya jalan, bekerja apa adanya,” katanya
Marlis Hermenus (33 tahun), pemuda adat Sawai, mengungkapkan, kemiskinan yang terjadi di wilayah tambang di Halmahera Tengah merupakan akibat dari tidak meratanya program pemberdayaan ekonomi masyarakat lingkar tambang yang digagas pemerintah dan perusahaan.
Orang miskin di wilayah tambang umumnya adalah mereka yang tidak bisa menyesuaikan atau beradaptasi dalam persaingan ekonomi lantaran tak memiliki keahlian.“Ini yang membuat masyarakat sSawai tak bisa beradaptasi. Akibatnya tak sedikit dari mereka yang masih terjerat dalam kemiskinan,” ujar Marlis.
Marlis mengaku heran, wilayah tambang di Halmahera Tengah masih ditemukan banyak orang miskin. Padahal tambang nikel tercatat menyumbangkan pendapatan untuk daerah cukup besar dan aktivitas eksploitasinya sudah sejak lama berjalan. “Inilah yang sampai saat ini saya tidak bisa berfikir bagaimana bisa tambang justru membuat masyarakat sekitar tambang menjadi miskin,” ujar Marlis.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Halmahera Tengah hingga Maret 2023 mencapai 6.739 jiwa dari sebelumnya 6.932 jiwa pada 2022. Angka ini turun dari 2021 yang mencapai 7.650 jiwa. Tingkat kemiskinan di Halmahera Tengah sendiri pada 2008 di angka 28,52 persen. Memasuki 2022 menjadi 12,00 persen atau turun sebesar 16,52 persen. Sementara persentase penduduk miskinnya 10,50 persen. Ketika masuk di 2022 angkanya menjadi 12,00 persen atau sudah jauh turun 16,52 persen. Kalau di 2010 di (Halmahera Tengah) tinggi, yaitu 24,56 persen,
Di Maluku Utara sendiri, jumlah penduduk miskin hingga Maret 2023 sebesar 83,80 ribu orang atau naik 1,66 ribu orang pada September 2022 dan naik 3,93 ribu orang pada Maret 2022. Persentase penduduk miskin di Maluku Utara pada Maret 2023 sebesar 6,46 persen, naik 0,09 persen terhadap September 2022.
Munadi Kilkoda, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Maluku Utara mengungkapkan kemiskinan yang terjadi di wilayah tambang umumnya disebabkan terputusnya akses terhadap sumber kehidupan untuk masyarakat setempat. Laut, hutan, lahan pertanian yang puluhan tahun diakses, kini tak lagi dimiliki. Akibatnya mereka tak bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. “iItu yang membuat orang di lingkar tambang jadi miskin," ujarnya.
Bila menggunakan data BPS, ada beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur atau menilai seseorang itu miskin seperti salah satunya adalah kemampuan dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Dengan kata lain ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan dan bukan makanan menjadi satu indikator kemiskinan.
“Orang miskin adalah yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Artinya apa, selama orang tidak bisa memenuhi kebutuhannya sehari-hari maka mereka dikatakan miskin. Itulah yang banyak terjadi di Halmahera Tengah,” ujar Munadi
Munadi menyebut, ada banyak upaya yang bisa dilakukan dalam pengentasan kemiskinan, terutama pada masyarakat adat Sawai di Halmahera Tengah seperti misalnya mendorong berbagai bantuan melalui dana corporate social responsibility (CSR) yang tidak dalam bentuk spesifik yaitu bantuan infrastruktur pendidikan, kesehatan dan bantuan ekonomi.
“iItu yang sampai sejauh ini saya belum lihat. Apakah dana CSR itu misalnya diberikan kepada si A yang dalam kategori miskin untuk yang bersangkutan tidak miskin, itu yang belum kelihatan," ujarnya.
Aziz Hasyim, staf pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Khairun Ternate mengungkapkan kemiskinan yang terjadi di Halmahera Tengah adalah efek dari tingkat pertumbuhan ekonomi yang belum berkualitas. Ekonomi tumbuh namun tidak memberikan efek bagi kesejahteraan masyarakat. Padahal secara teoritis, bila ekonomi tumbuh maka akan berdampak pada lapangan kerja yang ikut terbuka. Kondisi itu biasanya membuat angka pengangguran menurun. Semakin kecil pengangguran maka semakin baik tingkat ekonominya.
"Tapi faktanya ini justru berbeda. Ekonomi tumbuh tapi tingkat pengangguran terbuka kita juga masih tinggi, persentase kemiskinan juga masih tinggi. Pada titik ada yang salah," katanya.
Menurut Aziz, biasanya terdapat dua faktor yang melestarikan kemiskinan, yakni akses ekonomi dan keterampilan. Dari sisi ekonomi, aspek akses terhadap sumber ekonomi yang rendah membuat orang akan terjebak pada kemiskinan. Apalagi bila tidak tidak didukung dengan keterampilan, akan semakin sulit beradaptasi terhadap perkembangan.
Di Halmahera Tengah, akses terhadap sumber ekonomi seperti pada sektor pertanian dan perikanan yang dominan dalam puluhan tahun, kini terlihat semakin melemah. Luas lahan pertanian kian menurun. Akses laut makin jauh dan perkebunan tak lagi ada. Belum lagi kebijakan yang disusun tidak maksimal.
Hadirnya industri pertambangan membuat laju migrasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke tambang semakin tinggi dan membuat tenaga kerja di sektor pertanian mengalami penurunan. Akibatnya penurunan tenaga kerja di sektor pertanian secara otomatis mendorong biaya produksi di sektor ini akan menjadi tinggi, sebab sumber daya yang tersedia mengalami kelangkaan.
“Sehingga tak mengherankan masyarakat di lingkar tambang tidak bisa mengoptimalkan pendapatannya dan berujung pada kondisi miskin,”kata Aziz.
Data Bank Indonesia memperlihatkan, aktivitas ekonomi masyarakat di lingkar tambang di Halmahera Tengah yang bekerja menggarap lahan-lahan pertanian dan perkebunan setiap tahunnya terus semakin berkurang. Pada sektor ini, aktivitas ekonomi pertanian, kehutanan dan perikanan mengalami kontraksi pertumbuhan atau penurunan aktivitas ekonomi dari sebelumnya pada triwulan I 2023 mengalami akselerasi atau peningkatan aktivitas ekonomi sebesar 3,04 persen.
Berdasarkan analisis data tersebut, Bank Indonesia mencatat ada sejumlah faktor yang berpengaruh penurunan aktivitas ekonomi di sektor tersebut, seperti berkurangnya tenaga kerja di sektor pertanian dan perikanan. Angkatan kerja muda di Halmahera Tengah terlihat memilih tak lagi menjadi petani dan nelayan.
Soraya Diana Uli, Penanggung Jawab Fungsi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik Badan Pusat Statistik Maluku Utara, menyebut bila melihat data per 2022, angkatan kerja di Halmahera Tengah mencapai 29 ribu jiwa dengan tingkat partisipasi mencapai 70 persen. Dengan data ini maka partisipasi orang bekerja di Halmahera Tengah tergolong tinggi.
Sementara hasil sensus pertanian 2022, jumlah orang bekerja di sektor pertanian di Halmahera Tengah hanya mencapai 5.691 kepala keluarga. Dari jumlah itu mayoritas mereka adalah yang berusia 45-64 tahun.
“Kondisi tersebut memperlihatkan orang yang bekerja sebagai petani di Halmahera Tengah memiliki usia yang sudah cukup tua. Ini salah satu yang bisa mendorong kemiskinan,’” ujar Soraya.
"Namun Kita termasuk yang bagus di Sulampua (Sulawesi, Maluku dan Papua), kita yang hitungannya kecil. Bahkan untuk wilayah Maluku, tetangga kita, berada di angka 16,42 persen. Artinya kita sudah baik gitu ketika (Maluku Utara) di angka 6,46 persen,” katanya.
Ikram Sangaji, Pejabat Bupati Halmahera Tengah mengatakan, kemiskinan di kantong wilayah pertambangan saat ini menjadi perhatian serius Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah. Pihaknya menargetkan pengurangan angka kemiskinan sebesar 6 hingga 8 persen pada tahun 2024. Langkahnya adalah dengan membentuk tim lintas sektor yang terdiri dari berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
“Staf pemerintah juga sudah diarahkan untuk melakukan pendataan langsung di desa-desa. Termasuk mendata kemiskinan pada kelompok masyarakat adat, dan saat ini sudah berjalan,” kata Ikram.
BUDI NURGIANTO I NURCHOLIS
Artikel ini diproduksi atas dukungan Internews dan Earth Journalism Network
Discussion about this post